Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 18 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Kerugian Negara di Lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika

menimbang

  1. bahwa setiap kerugian negara yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;

  2. bahwa Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor : 21/P/M.KOMINFO/8/2006 Tentang Penyelesaian Kerugian Negara di Lingkungan Departemen Komunikasi dan Informatika sudah tidak sesuai dengan perkembangan sehingga perlu diganti;

  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Tata Cara Penyelesaian Kerugian Negara di Lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika;

mengingat

  1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

  3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);

  4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4609), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4855);

  5. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4892);

  6. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2010 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);

  7. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;

  8. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;

  9. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

  10. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara terhadap Bendahara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 147);

  11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara;

  12. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 17/P/M/KOMINFO/10/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Komunikasi dan Informatika;

menetapkan

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG TATACARA PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :

  1. Kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

  2. Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak orang lain atau berlawanan dengan kewajiban hukum dari orang yang berbuat.

  3. Kelalaian adalah tidak melakukan sesuatu sesuai dengan surat perintah atau dengan suatu akte sejenis (kontrak, SPK, dsb) telah dinyatakan lalai/ingkar (wanprestasi) atau jika pernyataannya sendiri menetapkan bahwa pihak yang berkewajiban itu harus dianggap lalai/ingkar dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

  4. Tuntutan Kerugian Negara selanjutnya disingkat TKN adalah suatu proses yang dilakukan terhadap Bendahara, Pegawai Negeri bukan Bendahara dan Calon Pegawai Negeri, Pejabat lain di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Pihak Ketiga dengan tujuan untuk menuntut penggantian atas suatu kerugian yang diderita oleh negara.

  5. Tuntutan Perbendaharaan adalah suatu tata cara perhitungan dan atau pertanggungjawaban terhadap bendahara jika dalam pengurusannya terjadi/terdapat kekurangan perbendaharaan dengan cara biasa atau cara khusus.

  6. Tuntutan Ganti Rugi adalah suatu proses yang dilakukan terhadap pegawai negeri bukan Bendahara, pegawai bukan PNS, pihak ketiga dengan tujuan untuk menuntut penggantian atas suatu kerugian yang diderita oleh negara.

  7. Bendahara adalah setiap orang atau badan yang diberi tugas untuk dan atas nama negara/daerah, menerima, menyimpan, dan membayar/menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang negara/daerah.

  8. Pegawai Negeri Sipil adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  9. Calon Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat CPNS adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan untuk dipertimbangkan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil.

  10. Satuan Kerja adalah instansi vertikal dan/atau unit pelaksana teknis dari suatu kementerian/kementerian negara/lembaga/badan dan/atau satuan kerja perangkat daerah.

  11. Kepala Satuan Kerja adalah pimpinan satuan kerja yang diberi kuasa oleh Menteri Komunikasi dan Informatika untuk melaksanakan pengelolaan anggaran dalam DIPA yang dikuasakan kepadanya.

  12. Pimpinan Unit Eselon I adalah Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, Direktur Jenderal, dan Kepala Badan di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

  13. Kepala Unit Kerja adalah Kepala Biro, Sekretaris Ditjen/Itjen/Badan, Direktur, Kepala Pusat, dan Kepala UPT di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

  14. Atasan Langsung Bendahara adalah pejabat struktural yang diangkat Menteri Komunikasi dan Informatika sebagai Kuasa Pengguna Anggaran.

  15. Atasan Langsung Pegawai Negeri bukan Bendahara adalah pimpinan unit eselon I/Kepala Unit Kerja.

  16. Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

  17. Pembebanan Kerugian Negara adalah tindakan administrasi dari yang berwenang untuk menjamin kepentingan negara dari yang bersangkutan berdasarkan ketentuan dan dapat dilakukan penagihan untuk menutup atau menyelesaikan kerugian yang diderita oleh negara.

  18. Kekurangan Perbendaharaan adalah selisih kurang antara saldo buku dengan saldo uang kas yang sesungguhnya atau selisih kurang antara buku persediaan barang dangan saldo barang yang sesungguhnya terdapat di dalam gudang, dan berada dalam pengurusan Bendahara.

  19. Pihak Ketiga adalah orang atau badan hukum yang bukan Bendahara dan bukan Pegawai Negeri serta Pegawai Negeri di instansi lain yang mempunyai ikatan kerja dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

  20. Pembebanan Sementara adalah tindakan administrasi oleh yang menjabat atau yang berwenang demi kepentingan negara sebagai dasar pemotongan gaji, penyitaan penjagaan atas harta kekayaan si pelaku tetapi terhadap barang-barang yang disita belum dapat dilakukan penjualan.

  21. Pembebanan Tetap adalah tindakan administrasi oleh yang menjabat atau yang berwenang termasuk penjualan barang-barang jaminan.

  22. Upaya damai adalah penyelesaian secara menyeluruh yang dilakukan sebelum proses TKN atau melalui proses tuntutan perbendaharaan atau tuntutan ganti rugi atau pengadilan yang dilakukan berdasarkan laporan awal atau laporan hasil awal atau laporan hasil penyelesaian pemeriksaan.

  23. Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak yang selanjutnya disebut SKTJM adalah surat keterangan yang menyatakan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa yang bersangkutan bertanggung jawab atas kerugian negara yang terjadi dan bersedia mengganti kerugian negara dimaksud.

  24. Surat Keputusan Penetapan Batas Waktu yang selanjutnya disebut SKPBW adalah Surat Keputusan yang diterbitkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan tentang pemberian kesempatan kepada Bendahara untuk mengajukan keberatan atau pembelaan diri atas tuntutan penggantian kerugian negara.

  25. Surat Keputusan Pencatatan adalah Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan tentang proses penuntutan kasus kerugian negara untuk sementara tidak dapat dilanjutkan.

  26. Tanggung Jawab Renteng adalah kewajiban bertanggung jawab terhadap kerugian negara yang dibebankan kepada dua orang atau lebih.

  27. Penghapusan Kekurangan Perbendaharaan adalah penghapusan suatu kekurangan perbendaharaan dari perhitungan Bendahara, bilamana kekurangan itu terjadi di luar kesalahan, kelalaian ataupun kealpaan Bendahara yang bersangkutan.

  28. Peniadaan Selisih Antara Saldo Buku dan Saldo Kas adalah rangkaian kegiatan dan usaha untuk meniadakan selisih antara saldo buku dan saldo kas yang tidak segera dapat ditutup pada Bendahara Penerimaan/Pengeluaran dari administrasi Bendahara bersangkutan.

  29. Penghapusan Kekurangan Uang atau Surat Berharga atau Barang Negara adalah rangkaian kegiatan dan usaha untuk menghapuskan dari perhitungan Bendahara Penerimaan/Pengeluaran uang atau surat berharga atau barang Negara yang dicuri, digelapkan atau hilang di luar kesalahan/kelalaian Bendahara bersangkutan.

  30. Penghapusan Piutang/Tagihan Negara adalah penghapusan suatu piutang/ tagihan negara dari administrasi piutang dan dilakukan karena piutang/tagihan negara itu berdasarkan alasan tertentu tidak dapat ditagih, namun dengan dilakukannya penghapusan itu, hak tagih negara masih tetap ada.

  31. Pembebasan Piutang/Tagihan Negara adalah meniadakan kewajiban seseorang untuk membayar utang kepada negara yang menurut hukum menjadi tanggungannya, tetapi atas dasar pertimbangan keadilan atau alasan penting tidak layak ditagih dari padanya.

  32. Menteri adalah menteri yang menjalankan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.

  33. Menteri Keuangan adalah menteri yang menjalankan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

Pasal 2

  1. Penyelesaian Tuntutan Kerugian Negara harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  2. Ruang lingkup pengaturan penyelesaian kerugian negara meliputi:

    1. Tuntutan Perbendaharaan; dan

    2. Tuntutan Ganti Rugi.

  3. Tuntutan Perbendaharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berlaku bagi Bendahara.

  4. Tuntutan Ganti Rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berlaku bagi:

    1. Pegawai Negeri Sipil bukan Bendahara dan CPNS;

    2. Pegawai bukan Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika termasuk di Badan Layanan Umum; dan

    3. pihak ketiga.

Pasal 3

  1. Pengenaan ganti kerugian negara terhadap Bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

  2. Pengenaan ganti kerugian negara terhadap Pegawai Negeri Sipil bukan Bendahara, Calon Pegawai Negeri, pegawai bukan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Pihak Ketiga ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 4

  1. Untuk menyelesaikan Tuntutan Kerugian Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Menteri membentuk Tim Penyelesaian Kerugian Negara.

  2. Tim Penyelesaian Kerugian Negara sebagaimana dimaksud Pada ayat (1) mempunyai tugas, sebagai berikut:

    1. meminta informasi, data, saran dan pertimbangan serta melakukan koordinasi dengan satuan kerja dan instansi terkait;

    2. melakukan penelitian, verifikasi dan memproses kasus kerugian negara di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika;

    3. memberikan masukan, saran, dan pertimbangan kepada Menteri dalam pengambilan keputusan penyelesaian kerugian negara; dan

    4. membuat laporan mengenai penyelesaian kerugian negara kepada Menteri.

Pasal 5

  1. Informasi tentang Kerugian Negara dapat diketahui dari:

    1. pengawasan yang dilaksanakan oleh atasan langsung;

    2. hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan;

    3. hasil pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;

    4. hasil pemeriksaan oleh Inspektorat Jenderal;

    5. media massa dan media elektronik;

    6. pengaduan masyarakat;

    7. perhitungan ex officio;

    8. hasil verifikasi; dan

    9. sumber informasi lainnya.

  2. Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan sebagai dasar bagi Kepala Satuan Kerja dalam melakukan tindak lanjut penyelesaian kerugian negara.

Pasal 6

  1. Setiap pegawai yang karena jabatan atau tugas dan fungsinya memakai/menggunakan Barang Milik Negara, wajib memelihara dan mengamankan Barang Milik Negara yang menjadi tanggung jawabnya.

  2. Setiap pegawai yang memakai/menggunakan Barang Milik Negara yang karena sesuatu hal menyebabkan kerugian negara, wajib segera melaporkan kerugian negara tersebut kepada atasannya dan secara hierarkhis melaporkan kejadian tersebut sampai kepada pimpinan Eselon I yang terkait.

  3. Barang siapa yang memakai/meminjam/menggunakan Barang Milik Negara karena sesuatu hal menyebabkan hilangnya Barang Milik Negara dan mengakibatkan kerugian negara baik disebabkan oleh karena adanya unsur kelalaian maupun tidak, wajib melaporkan kepada :(a) Kepolisian setempat dan dilengkapi dengan Berita Acara Olah Tempat Kejadian Peristiwa hilangnya Barang Milik Negara dimaksud; dan(b) Atasan langsungnya dan/atau Kepala Satuan Kerjanya secara tertulis.

Pasal 7

  1. Atasan langsung atau Kepala Satuan Kerja setelah mengetahui dan/atau memperoleh informasi laporan dimaksud dalam Pasal 6 wajib melakukan penelitian/pemeriksaan/pembuktian terhadap kebenaran laporan dan melakukan tindakan untuk memastikan:

    1. peristiwa terjadinya kerugian negara;

    2. jumlah kerugian negara;

    3. siapa saja yang tersangkut (Pegawai Negeri Sipil, CPNS, Pegawai Bukan PNS, Pejabat Lainnya atau pihak ketiga);

    4. unsur salah (besar/kecilnya kesalahan) dari masing-masing pihak; dan

    5. keterangan lain yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan.

  2. Apabila informasi tersebut terkait dengan kerugian negara yang menjadi tanggung jawabnya, maka Kepala Satuan Kerja wajib meneliti kembali apakah hal tersebut telah memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti dalam rangka proses penyelesaian TKN.

Pasal 8

  1. Dalam hal diketahui dan ditemukan adanya kejadian yang mengakibatkan kerugian negara, maka atasan langsung/kepala unit kerja yang mengetahui dan menemukan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah kejadian itu diketahui tanpa menunggu kelengkapan datanya, wajib menyampaikan laporan awal kepada Menteri melalui Pejabat Eselon I yang membawahi Unit Kerja tempat terjadinya kerugian negara dengan tembusan kepada:

    1. Sekretaris Jenderal;

    2. Inspektur Jenderal;

    3. Kuasa Pengguna Anggaran selaku Atasan Langsung Bendahara dalam hal kerugian negara dilakukan oleh Bendahara dan atau pegawai yang bersangkutan.

  2. Atasan Langsung/Kepala Unit Kerja yang mengetahui/menemukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu:

    1. atasan langsung/Kepala Unit Kerja;

    2. pejabat dan atau petugas yang melaksanakan tugas verifikasi; dan

    3. pejabat yang melakukan pemeriksaan.

  3. Laporan awal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:

    1. waktu kejadian;

    2. lokasi kejadian;

    3. perkiraan jumlah kerugian negara;

    4. pihak yang bertanggung jawab;

    5. hal-hal yang mendasari diketahuinya kejadian; dan

    6. Surat Tanda Lapor dari Kepolisian.

Pasal 9

  1. Pimpinan Unit Eselon I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), setelah menerima laporan, harus segera melakukan tindakan dalam rangka pengamanan maupun upaya pengembalian kerugian negara sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.

  2. Setiap tindakan yang diambil oleh Pimpinan Unit Eselon I sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Menteri.

Pasal 10

  1. Menteri setelah menerima laporan awal sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 menugaskan Tim Penyelesaian Kerugian Negara melalui Sekretaris Jenderal untuk melakukan penelitian dan verifikasi.

  2. Apabila hasil penelitian dan verifikasi oleh Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memerlukan pemeriksaan lebih lanjut di lokasi kejadian, penugasan dan pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Inspektur Jenderal.

Pasal 11

  1. Tim Penyelesaian Kerugian Negara menyampaikan hasil penelitian disertai usul atau rekomendasi penyelesaiannya kepada Menteri dengan tembusan kepada Pimpinan Unit Eselon I terkait, paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak menerima penugasan.

  2. Khusus hasil penelitian, verifikasi dan pemeriksaan tim penyelesaian kerugian negara yang menyangkut bendahara, Menteri menyampaikan hasil penelitiannya kepada BPK untuk mendapatkan penetapan pembebanan.

  3. Segera setelah kerugian negara tersebut diketahui, kepada bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang nyata-nyata melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya untuk segera dimintakan surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian tersebut menjadi tanggung jawabnya dan bersedia mengganti kerugian negara dimaksud.

  4. Hasil penelitian dan pemeriksaan Tim Penyelesaian Kerugian Negara yang menyangkut tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (4) dapat diselesaikan melalui upaya damai yang dituangkan dalam bentuk SKTJM.

  5. Jika SKTJM tidak mungkin diperoleh atau tidak dapat menjamin pengembalian kerugian negara, menteri segera mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara kepada yang bersangkutan.

Pasal 12

  1. Apabila dalam informasi awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diduga terdapat unsur:

    1. tindak pidana khusus, Menteri melaporkan kepada Kejaksaan Agung;

    2. tindak pidana umum yang disebabkan pencurian/perampokan/penodongan atau sejenisnya, Atasan Langsung atau Kepala Unit Kerja yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah kejadian segera melaporkan kepada Kepolisian setempat dan meminta surat keterangan penyidikan di Tempat Kejadian Perkara (TKP).

  2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai penjelasan mengenai upaya pengembalian kerugian negara sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 13

  1. Dalam penelitian atau pemeriksaan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 harus diupayakan kelengkapan data dan barang bukti guna penyelesaian kerugian negara.

  2. Kelengkapan data dan barang bukti guna penyelesaian kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan bahan pertimbangan dalam penyelesaian kasus meliputi :

    1. sebab-sebab terjadinya kerugian negara;

    2. jumlah kerugian negara yang pasti;

    3. nama yang diduga terlibat;

    4. tingkat kesalahan, kelalaian atau kealpaan dari masing-masing yang diduga terlibat;

    5. bukti penyelesaian yang sudah dilakukan; dan

    6. keterangan lain yang dapat dipergunakan.

Pasal 14

  1. Dalam penelitian, verifikasi dan pemeriksaan, pegawai yang patut diduga menyebabkan kerugian negara dapat mengajukan bukti bahwa ia bebas dari kesalahan, kelalaian dan kealpaan atas kekurangan perbendaharaan dan atau kerugian negara tersebut.

  2. Apabila dalam penelitian, verifikasi dan pemeriksaan terbukti kerugian negara dilakukan oleh beberapa pegawai secara langsung atau tidak langsung, maka kepada yang bersangkutan dikenakan tanggung jawab renteng sesuai dengan bobot keterlibatan dan tanggung jawabnya, urutan inisiatif dan kelalaian atau kesalahannya.

  3. Apabila pegawai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan bebas dari kesalahan, kelalaian, dan atau kealpaan atas kekurangan perbendaharaan dan atau kerugian negara, Menteri melakukan penghapusan berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Pasal 15

  1. Kepala Satuan Kerja/Kepala Unit Kerja wajib mengintensifkan penagihan dan pemungutan piutang Negara yang terjadi di lingkungan Unit Kerjanya baik melalui pemotongan gaji maupun setoran langsung dari para pelaku dan atau penanggung jawab kerugian negara tersebut, serta hasilnya disetorkan ke rekening Kas Negara.

  2. Pelaporan realisasi pengembalian kerugian negara dilakukan oleh:

    1. Kepala Satuan Kerja kepada Ketua Badan Pemeriksa Keuangan dengan tembusan Pimpinan Unit Eselon I terkait, dalam hal TP.

    2. Kepala Unit Kerja kepada Pimpinan Unit Eselon I terkait, atau Pimpinan Unit Eselon I kepada Menteri Komunikasi dan Informatika.

Pasal 16

Laporan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 disampaikan selambatlambatnya tanggal 15 bulan berikutnya, disertai bukti setor dan data dukung lainnya.

Pasal 17

  1. Dalam hal kerugian negara menyangkut perbendaharaan, maka Kuasa Pengguna Anggaran pada satuan kerja terkait segera melaporkan kepada Menteri.

  2. Setelah menerima laporan awal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri memberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari.

Pasal 18

Tuntutan Perbendaharaan dilakukan terhadap Bendahara yang:

  1. melakukan perbuatan melawan hukum atau karena kelalaian atau kealpaannya tidak melaksanakan kewajiban, sehingga mengakibatkan kerugian negara;

  2. karena kesalahannya mengakibatkan kerugian negara; dan

  3. telah melalaikan kewajibannya dalam membuat perhitungan pertanggungjawaban yang mengakibatkan kerugian negara.

Pasal 19

Tuntutan Perbendaharaan dapat dilakukan apabila memenuhi semua persyaratan sebagai berikut:

  1. negara telah dirugikan atau terdapat kekurangan perbendaharaan;

  2. jumlah Kerugian negara harus sudah pasti;

  3. kerugian negara terjadi dalam pengurusan Bendahara;

  4. kerugian negara terjadi sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau karena kelalaiannya atau kesalahan Bendahara; dan

  5. tidak dapat diselesaikan melalui upaya damai.

Pasal 20

Dalam hal Bendahara dibebaskan dari kewajiban menyampaikan perhitungan pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku, tuntutan perbendaharaan dilakukan berdasarkan berita acara pemeriksaan atau berdasarkan laporan hasil pemeriksaan yang menyatakan adanya kekurangan perbendaharaan.

Pasal 21

  1. Dalam hal untuk memperoleh penggantian kekurangan perbendaharaan tidak dapat diselesaikan secara damai, kepada Bendahara yang bersangkutan dapat dilakukan penyelesaian secara paksa melalui pembebanan penggantian kerugian sementara oleh Menteri, sebagaimana dalam contoh pada Lampiran II Peraturan Menteri ini.

  2. Keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan dasar untuk dilakukan pemotongan atas gaji dan atau penghasilan lain dari Bendahara yang bersangkutan.

  3. Untuk dapat dilaksanakan pemotongan gaji dan atau penghasilan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diperlukan surat perintah pemotongan gaji berdasarkan perintah Kepala Satuan Kerja yang bersangkutan.

Pasal 22

  1. Langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Menteri berdasarkan ketentuan dalam Peraturan ini disampaikan dengan data dukung lengkap, Sekretaris Jenderal melalui Kepala Biro Keuangan menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia untuk mendapat ketetapan.

  2. Atas pertimbangan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia terhadap pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Mentesari dapat melakukan tindakan administratif di bidang kepegawaian sesuai dengan tugas dan wewenangnya.

Pasal 23

  1. Berdasarkan pertimbangan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap pemberitahuan tentang terdapatnya kekurangan perbendaharaan dalam pengurusan Bendahara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dapat dilakukan tuntutan perbendaharaan kepada Bendahara yang bersangkutan.

  2. Tuntutan perbendaharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dan disertai dengan penerbitan surat keputusan penetapan batas waktu melalui Menteri dengan tanda terima dari Bendahara yang bersangkutan.

  3. Bendahara yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan dengan mengajukan bukti-bukti bahwa ia bebas dari kesalahan, kelalaian dan atas kekurangan perbendaharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima keputusan penetapan batas waktu.

Pasal 24

  1. Dalam hal batas waktu yang telah ditetapkan dalam surat keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) Bendahara yang bersangkutan tidak mengajukan keberatan atau pembelaan atau tidak dapat membuktikan bahwa ia bebas sama sekali dari kesalahan, kelalaian, Badan Pemeriksa Keuangan menetapkan suatu Surat Keputusan Pembebanan.

  2. Dalam hal pembelaan dari Bendahara yang bersangkutan diterima oleh Badan Pemeriksa Keuangan, maka Keputusan Pembebanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan kepada Menteri sebagai dasar melakukan penghapusan sebagaimana dalam contoh pada Lampiran I Peraturan Menteri ini.

  3. Pimpinan instansi memerintahkan Tim Penyelesaian Kerugian Negara mengupayakan agar bendahara bersedia membuat dan menandatangani SKTJM paling lambat 7 (tujuh) hari setelah menerima surat Keputusan Pembebanan dari Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3).

Pasal 25

  1. Berdasarkan keputusan pembebanan dari Badan Pemeriksa Keuangan, Bendahara wajib mengganti kerugian negara dengan cara menyetorkan secara tunai ke kas negara/daerah dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah menerima surat keputusan pembebanan.

  2. Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Bendahara tidak mengganti kerugian negara secara tunai, instansi yang bersangkutan mengajukan permintaan kepada instansi yang berwenang untuk melakukan penyitaan dan penjualan lelang atas harta kekayaan Bendahara.

  3. Pelaksanaan keputusan pembebanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Kantor/UPT/Satuan Kerja yang bersangkutan dan apabila terjadi kemacetan kecuali ditetapkan lain oleh Menteri, pelaksanaan selanjutnya dapat dilaksanakan oleh Kepala Kantor/UPT/Satuan Kerja dengan perantaraan Pengadilan Negeri atau Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

Pasal 26

  1. Dalam hal Bendahara diketahui melarikan diri atau berada di bawah pengampuan atau meninggal dunia dan tidak dapat segera dilakukan pengujian dan atau pemeriksaan kas atau persediaan barang-barang di gudang, maka untuk menjamin kepentingan negara, Atasan Langsung Bendahara yang bersangkutan segera melakukan tindakan sebagai berikut :

    1. buku-buku yang berkaitan dengan pengurusan uang dan barang diberi garis penutup;

    2. semua buku, uang, surat-surat dan barang-barang berharga serta bukti-bukti dimasukkan ke dalam lemari besi atau lemari lainnya dan disegel; dan

    3. gudang tempat penyimpanan barang-barang disegel.

  2. Tindakan-tindakan untuk menjamin kepentingan negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan Berita Acara Penyegelan yang ditandatangani oleh Atasan Langsung Bendahara yang bersangkutan dan 2 (dua) orang saksi.

Pasal 27

  1. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penyegelan, Atasan Langsung Bendahara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), menunjuk pegawai yang ditugaskan membuat perhitungan ex-officio untuk melakukan pengujian kas dan persediaan barang-barang di gudang dengan membuka segel dan membuat Berita Acara Pembukaan Segel.

  2. Dalam melakukan pengujian dan atau pemeriksaan kas atau persediaan barang-barang di gudang, semua uang atau barang-barang berharga dan barang-barang di gudang dihitung dan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Kas dan Persediaan Barang.

  3. Berita Acara Pemeriksaan Kas dan Berita Acara Pemeriksaan Persediaan Barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus disampaikan kepada Menteri melalui Pimpinan Unit Kerja.

  4. Dalam hal dari perhitungan ex-offisio ternyata terdapat kekurangan perbendaharaan dan atau kerugian negara, maka terhadap Bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan tuntutan perbendaharaan.

Pasal 28

Penutupan buku, penyegelan, pembukaan segel serta pengujian dan atau pemeriksaan kas dan atau persediaan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27 disaksikan oleh keluarga terdekat, pengampu atau ahli waris dari Bendahara yang melarikan diri atau yang berada di bawah pengampuan, atau meninggal dunia atau sekurang-kurangnya 2 (dua) orang pejabat setempat atas permintaan Atasan Langsung Bendahara yang bersangkutan.

Pasal 29

  1. Jika Bendahara terlambat atau lalai membuat dan menyampaikan perhitungan pertanggungjawaban sesuai ketentuan, kepada Bendahara yang bersangkutan diberikan surat peringatan oleh pejabat yang ditunjuk dengan menetapkan batas waktu untuk segera memenuhi kewajibannya kepada instansi yang bersangkutan.

  2. Jika batas waktu yang telah ditetapkan Bendahara yang bersangkutan masih juga melalaikan kewajibannya, maka Menteri atau pejabat yang ditunjuk menunjuk seorang atau beberapa pejabat untuk membuat perhitungan ex-officio.

  3. Kelalaian Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) diberitahukan oleh Menteri kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk mendapat Keputusan.

Pasal 30

  1. Pelaksanaan dan pembuatan serta penyelesaian pertanggungjawaban atau perhitungan ex-offisio terhadap Bendahara yang lalai atau melarikan diri atau di bawah pengampuan atau meninggal dunia dilakukan oleh Kepala Kantor/UPT/Satuan Kerja yang bersangkutan atas nama Menteri.

  2. Dalam penyusunan pertanggungjawaban atau perhitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperiksa bukti-bukti dan buku-buku atau jika dipandang perlu dilengkapi dan atau dibetulkan sehingga dapat ditetapkan saldo buku yang sesungguhnya.

  3. Keluarga terdekat atau pengampu atau ahli waris dari Bendahara yang melarikan diri atau berada di bawah pengampuan atau meninggal dunia atau mereka yang memperoleh hak, diberi kesempatan untuk melihat atau memeriksa buku-buku dan bukti-bukti dalam pelaksanaan penyusunan pertanggungjawaban atau perhitungan ex-offisio sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

  4. Dalam hal terdapat kerugian negara kepada keluarga terdekat atau pengampu atau ahli waris sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan salinan pertanggungjawaban perhitungan ex-offisio, disertai tanda bukti penerimaan dan batas waktu untuk mengajukan keberatan atau sanggahan.

  5. Diterima atau tidaknya surat keberatan atau sanggahan, dan telah lewat dari batas waktu yang telah ditetapkan, maka dengan atau tanpa surat keberatan atau sanggahan dari yang bersangkutan, pertanggungjawaban atau perhitungan ex-offisio disampaikan oleh Menteri kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk mendapat keputusan.

  6. Terhadap Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan, pihak yang bersangkutan tidak dapat mengajukan permohonan naik banding.

Pasal 31

  1. Bendahara yang berdasarkan surat keputusan batas waktu tidak menggunakan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau sanggahan tidak dapat mengajukan permohonan naik banding.

  2. Dalam hal Bendahara yang bersangkutan telah mengajukan keberatan atau sanggahan dan Badan Pemeriksa Keuangan tetap berpendapat bahwa Bendahara yang bersangkutan salah, lalai, dan atau alpa, dengan demikian telah dibebankan penggantian kekurangan, maka yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali atau banding kepada Badan Pemeriksa Keuangan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah menerima Surat Keputusan Pembebanan.

Pasal 32

  1. Dalam hal Badan Pemeriksa Keuangan telah memutuskan bahwa kekurangan perbendaharaan harus diganti oleh Bendahara yang bersangkutan, pelaksanaan Keputusan Pembebanan dilakukan oleh Menteri.

  2. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Bendahara yang bersangkutan melalui pejabat yang ditunjuk.

  3. Pelaksanaan keputusan pembebanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Satuan Kerja/Kepala Unit Kerja yang bersangkutan dan apabila terjadi kemacetan kecuali ditetapkan lain oleh Menteri, pelaksanaan selanjutnya dapat dilaksanakan oleh Kepala Satuan Kerja/Kepala Unit Kerja dengan perantara Pengadilan Negeri atau Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara di wilayah yang bersangkutan.

Pasal 33

Tanggung jawab ahli waris atas kekurangan perbendaharaan yang terdapat dalam pengurusan Bendahara yang melarikan diri atau berada di bawah pengampuan atau meninggal dunia dianggap gugur apabila :

  1. 3 (tiga) tahun telah lewat sejak Bendahara yang bersangkutan melarikan diri, atau berada di bawah pengampuan atau meninggal dunia, kepada keluarga terdekat, pengampu atau ahli waris Bendahara yang bersangkutan atau mereka yang memperoleh hak dari padanya, tidak diberitahukan tentang perhitungan yang dibuat secara ex-offisio; atau

  2. 3 (tiga) tahun sejak batas waktu untuk mengajukan pembelaan telah lewat dan BPK tidak mengambil suatu keputusan.

Pasal 34

Jumlah kerugian negara yang dibebankan kepada keluarga terdekat, pengampu atau ahli waris atau mereka yang memperoleh hak dari Bendahara yang melarikan diri atau berada di bawah pengampuan, atau meninggal dunia, tidak diberlakukan Undang-Undang Perbendaharaan Negara, dan untuk itu diberlakukan ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Hukum Perdata Adat atau Hukum Islam.

Pasal 35

  1. Jika Bendahara yang bersangkutan melarikan diri dan alamatnya tidak diketahui atau telah meninggal dunia tanpa ada ahli waris atau ahli warisnya tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya, demikian pula polisi atau Kejaksaan telah menyita barang-barang dari bendahara yang bersangkutan dan oleh Hakim telah diputuskan bahwa hasil penjualan barang-barang tersebut untuk negara, maka kekurangan perbendaharaan dimaksud pada hakekatnya telah diganti.

  2. Jika masih terdapat kerugian negara, maka sisa tersebut oleh Menteri Keuangan dilakukan penghapusan sesuai ketentuan yang berlaku.

  3. Penyelesaian kekurangan perbendaharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diusulkan oleh Menteri kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk penerbitan Surat Keputusan Pencatatan.

Pasal 36

Jika Bendahara setelah membuat pertanggungjawaban melarikan diri atau meninggal dunia dan ternyata setelah diperiksa terdapat kekurangan perbendaharaan, maka Menteri menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk mendapatkan keputusan.

Pasal 37

  1. Uang, surat berharga, barang negara dicuri, digelapkan, atau hilang dapat dihapuskan dari perhitungan Bendahara bersangkutan, jika pencurian, penggelapan, atau kehilangan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan/kelalaian Bendahara berdasarkan pada pembuktian atau Berita Acara yang memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  2. Penghapusan kekurangan uang, surat berharga, barang negara dari perhitungan Bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan.

  3. Kepala unit Kerja/Kepala Satuan Kerja mengajukan usul penghapusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Sekretaris Jenderal selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja setelah terjadinya kerugian negara, disertai Surat Keterangan Penyidikan Polisi di Tempat Kejadian Perkara (TKP), Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) oleh Inspektorat Jenderal atau pejabat yang ditunjuk untuk itu, surat keterangan dari unit-unit penyaluran dana atau surat keterangan dari Atasan Langsung Bendahara Penerimaan.

  4. Setelah diterima usulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Sekretaris Jenderal memberi penilaian dan atau pendapat untuk diajukan penghapusan kepada Kementerian Keuangan.

Pasal 38

  1. Selisih kurang antara saldo buku dengan saldo kas yang disebabkan oleh kesalahan/kelalaian Bendahara dan atau tidak segera dapat ditutup, dapat ditiadakan dari administrasi Bendahara.

  2. Peniadaan selisih dari administrasi Bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.

  3. Kepala Satuan Kerja/Kepala Unit Kerja mengajukan usul peniadaan selisih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Sekjen selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja setelah terjadi kerugian negara disertai Berita Acara Pemeriksaan Kas dan rekaman (foto kopi) BKU bulan yang bersangkutan yang memuat adanya kekurangan kas, SKTJM atau Surat Keputusan Pembebanan Sementara, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal atau pejabat yang ditunjuk untuk itu, surat keterangan dari unit pemberi dana atau surat keterangan dari Atasan Langsung Bendahara Penerimaan.

  4. Setelah diterima usulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Sekretaris Jenderal memberi penilaian dan atau pendapat untuk diajukan usul peniadaan selisih kurang kepada Kementerian Keuangan.

Pasal 39

Salinan dari semua keputusan penghapusan dan atau peniadaan selisih kurang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38 diampaikan kepada :

  1. Badan Pemeriksa Keuangan;

  2. Menteri Keuangan;

  3. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;

  4. Sekretaris Jenderal

  5. Inspektur Jenderal;

  6. Pimpinan Unit Eselon I yang bersangkutan; dan

  7. Kepala Satuan Kerja/Kepala Unit Kerja dan atau yang bersangkutan.

Pasal 40

  1. Tuntutan Ganti Rugi dilakukan terhadap Pegawai Negeri Sipil bukan Bendahara dan Calon Pegawai Negeri Sipil yang pada waktu menjalankan tugas jabatannya telah melakukan perbuatan langsung atau tidak langsung yang mengakibatkan kerugian negara.

  2. Perbuatan Pegawai Negeri Sipil bukan Bendahara dan Calon Pegawai Negeri Sipil yang mengakibatkan kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:

    1. penyalahgunaan wewenang;

    2. korupsi;

    3. pencurian;

    4. penggelapan;

    5. penipuan;

    6. menaikkan harga;

    7. merubah kualitas atau mutu;

    8. uang untuk dipertanggungjawabkan yang tidak dipertanggungjawabkan pada waktunya;

    9. merusak barang milik negara;

    10. menghilangkan uang atau barang milik negara; dan

    11. kelalaian.

  3. Tuntutan Ganti Rugi dilakukan setelah upaya damai tidak berhasil.

Pasal 41

Tuntutan Ganti Rugi dapat dilakukan apabila dipenuhi semua persyaratan sebagaimana berikut:

  1. negara telah dirugikan atau telah terdapat kekurangan perbendaharaan;

  2. kerugian negara sudah pasti;

  3. kerugian negara sebagai akibat tindakan langsung atau tidak langsung dari Pegawai Negeri Sipil bukan Bendahara, Calon Pegawai Negeri Sipil;

  4. perbuatan dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil bukan Bendahara, Calon Pegawai Negeri Sipil karena tugas jabatannya;

  5. tidak dapat diselesaikan secara damai.

Pasal 42

Tuntutan Ganti Rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) lebih dahulu diperlukan adanya laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.

Pasal 43

  1. Apabila upaya damai untuk memperolah penggantian kerugian negara tidak dapat terlaksana secara damai, kepada Pegawai Negeri Sipil bukan Bendahara, Calon Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dikenakan pembebanan penggantian sementara.

  2. Keputusan pembebanan penggantian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan dasar untuk dilakukannya pemotongan gaji dan atau penghasilan lain dari Pegawai Negeri bukan Bendahara yang bersangkutan.

  3. Untuk dapat dilaksanakan pemotongan gaji dan atau penghasilan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diperlukan surat perintah pemotongan gaji berdasarkan perintah Kepala Unit Kerja/Kepala Satuan Kerja yang bersangkutan.

Pasal 44

  1. Kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan Pegawai Negeri Sipil bukan Bendahara, penuntutan ganti rugi dan besarnya potongan dilakukan oleh Menteri.

  2. Keputusan pembebanan penggantian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Pimpinan Unit Eselon I atau Kepala Unit Kerja.

Pasal 45

Jika dari hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diperoleh bukti-bukti yang kuat untuk melaksanakan Tuntutan Ganti Rugi dan tidak dapat diselesaikan dengan upaya damai, maka Menteri memberitahukan kepada pegawai yang bersangkutan atau ahli waris atau mereka yang memperoleh hak dari padanya tentang :

  1. jumlah kerugian yang diderita oleh negara yang harus diganti;

  2. sebab dan alasan ia dibebani ganti rugi; dan

  3. tenggang waktu untuk mengajukan keberatan atau pembelaan diri yaitu 14 (empat belas) hari setelah menerima surat pemberitahuan.

Pasal 46

Pegawai Negeri Sipil bukan Bendahara setelah menerima pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dapat:

  1. menyatakan bersedia mengganti kerugian secara damai dengan pembayaran sekaligus atau dengan jalan mengangsur selambat-lambatnya 2 (dua) tahun, dan untuk itu yang bersangkutan menyerahkan SKTJM.

  2. mengajukan keberatan atau pembelaan diri atas pembebanan ganti rugi yang akan dikenakan kepadanya; atau

  3. tidak memberikan jawaban sama sekali.

Pasal 47

Jika pembayaran ganti rugi yang dijanjikan itu cukup terjamin dan akan lunas dalam batas waktu paling lama 2 (dua) tahun, maka tidak perlu dilakukan proses Tuntutan Ganti Rugi.

Pasal 48

Jika pembayaran ganti rugi yang dijanjikan itu tidak terjamin pelaksanaannya dan akan melebihi waktu 2 (dua) tahun, maka proses Tuntutan Ganti Rugi dimaksud harus dilaksanakan.

Pasal 49

SKTJM berlaku juga terhadap Tuntutan Ganti Rugi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) dan (5).

Pasal 50

  1. Apabila tenggang waktu telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 sudah dilampaui tetapi Pegawai Negeri bukan bendahara, ahli waris atau mereka yang memperoleh hak dari padanya tidak mengajukan keberatan atau pembelaannya, maka Menteri Komunikasi dan Informatika memutuskan untuk membebankan penggantian kerugian kepada yang bersangkutan dengan menetapkan jumlah yang harus diganti dalam surat keputusan pembebanan.

  2. Keputusan pembebanan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat ditetapkan dalam tenggang waktu terbatas 5 (lima) tahun setelah tahun di mana kerugian negara tersebut diketahui atau 8 (delapan) tahun setelah terjadinya perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dilakukan.

Pasal 51

  1. Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah menerima keputusan, Pegawai Negeri bukan Bendahara, ahli waris atau mereka yang memperoleh hak dari padanya dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Presiden dalam hal ini Menteri Keuangan.

  2. Presiden dalam hal ini Menteri Keuangan dapat meninjau kembali dan memutuskan dalam tingkat banding Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

  3. Apabila permohonan peninjauan kembali diterima Presiden dalam hal ini Menteri Keuangan, maka oleh Menteri Komunikasi dan Informatika dilakukan penghapusan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini.

Pasal 52

  1. Keputusan pembebanan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) baru dapat dilaksanakan setelah tenggang waktu dilampaui tanpa ada permohonan peninjauan kembali dari yang bersangkutan kepada Presiden dalam hal ini Menteri Keuangan atau permohonan peninjauan kembali ditolak, kecuali dalam keputusan dimaksud ditetapkan bahwa pembebanan harus segera dijalankan untuk sementara.

  2. Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika sebagaimana dalam Pasal 46 ayat (1) dilaksanakan sebagaimana keputusan Hakim dalam perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

  3. Pelaksanaan Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Unit Kerja/Kepala Satuan Kerja yang bersangkutan dan apabila terjadi kemacetan kecuali ditetapkan lain oleh Menteri, pelaksanaan selanjutnya dilaksanakan oleh Kepala Unit Kerja/Kepala Satuan Kerja dengan perantara Pengadilan Negeri atau Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara di wilayah yang bersangkutan.

Pasal 53

  1. Dalam hal kerugian negara merupakan tanggungjawab lebih dari 1 (satu) orang, maka kepada mereka yang telah menyebabkan kerugian negara dibebankan ganti rugi secara tanggung jawab renteng sebesar kerugian negara yang ditimbulkan dengan ketentuan tidak dibagi-bagi.

  2. Apabila negara telah menerima ganti rugi sejumlah besarnya kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka pelaksanaan penuntutan ganti rugi telah selesai. Kepala Satuan Kerja segera mengusulkan kepada Sekretaris Jenderal untuk proses penghapusannya.

Pasal 54

Dalam hal yang bersangkutan karena perbuatannya berkaitan dengan tindak pidana uang sedang diproses atau telah diputuskan oleh pengadilan dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka proses penyelesaian atau putusan tindak pidana tersebut tidak menghentikan proses tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi.

Pasal 55

  1. Pihak ketiga yang langsung atau tidak langsung telah merugikan negara wajib mengganti kerugian negara.

  2. Perbuatan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:

    1. menaikkan harga terlalu tinggi atas dasar permufakatan dengan pejabat yang bersangkutan;

    2. tidak menepati perjanjian (wanprestasi);

    3. pengiriman yang mengalami kerusakan karena kesalahannya; dan

    4. lain-lain yang mengakibatkan kerugian negara.

  3. Untuk penggantian kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih dahulu diselesaikan dengan upaya damai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.

  4. Apabila upaya damai sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat dilaksanakan, maka penyelesaiannya dilimpahkan kepada Kepala Kantor atau Satuan Kerja dengan perantara Pengadilan Negeri atau kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara di wilayah yang bersangkutan.

Pasal 56

  1. Apabila gugatan dikabulkan dan keputusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka pelaksanaan keputusan dimaksud dapat dijalankan dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. jika pengganti kerugian negara tersebut berupa uang, maka uang tersebut harus disetor ke rekening Kas Negara dengan copy bukti setor dikirim ke Sekretaris Jenderal dan Inspektur Jenderal; atau

    2. jika penggantian kerugian negara tersebut berupa barang, perbaikan barang atau barang pengganti maka instansi pemakai barang harus mencatat sebagai inventaris negara berdasarkan berita acara penerimaan atau pemeriksaan barang menggunakan sistem SA-BMN, dan dilaporkan ke Sekretaris Jenderal dan Inspektur Jenderal.

  2. Apabila gugatan tidak dikabulkan dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka kerugian negara menjadi beban negara sepenuhnya.

Pasal 57

Jika kerugian negara merupakan tanggung jawab lebih dari 1 (satu) penanggung jawab berlaku juga sebagaimana dimaksud dalam pasal 54.

Pasal 58

  1. Pegawai bukan Pegawai Negeri Sipil yang langsung atau tidak langsung telah merugikan negara wajib mengganti kerugian negara.

  2. Perbuatan pegawai bukan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :

    1. tidak menepati perjanjian (wanprestasi); dan

    2. lain-lain yang mengakibatkan kerugian negara.

  3. Untuk penggantian kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih dahulu diselesaikan dengan upaya damai sebagaimana dimaksud dalam pasal 12.

  4. Apabila upaya damai sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat dilaksanakan, maka penyelesaiannvya dilimpahkan kepada Kepala Kantor atau Satuan Kerja dengan perantara Pengadilan Negeri atau kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara di wilayah yang bersangkutan.

Pasal 59

  1. Apabila gugatan dikabulkan dan keputusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka pelaksanaan keputusan dimaksud dapat dijalankan dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. jika pengganti kerugian negara tersebut berupa uang, maka uang tersebut harus disetor ke rekening Kas Negara dengan copy bukti setor dikirim ke Sekretaris Jenderal dan Inspektur Jenderal; atau

    2. jika penggantian kerugian negara tersebut berupa barang, perbaikan barang atau barang pengganti maka instansi pemakai barang harus mencatat sebagai inventaris negara berdasarkan berita acara penerimaan atau pemeriksaan barang menggunakan sistem SA-BMN, dan dilaporkan ke Sekretaris Jenderal dan Inspektur Jenderal.

  2. Apabila gugatan tidak dikabulkan dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka kerugian negara menjadi beban negara sepenuhnya.

Pasal 60

Jika kerugian negara merupakan tanggung jawab lebih dari 1 (satu) penanggung jawab berlaku juga sebagaimana dimaksud dalam pasal 54.

Pasal 61

Pembebasan tagihan Negara ditetapkan oleh Menteri atas dasar permohonan pihak yang bersangkutan setelah mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.

Pasal 62

  1. Piutang-piutang Negara yang tidak dapat ditagih dihapuskan dengan pembukuan tersendiri.

  2. Penghapusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihapuskan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan Menteri Keuangan dan dilaksanakan apabila:

    1. tagihan telah lewat 5 (lima) tahun sejak dari tahun piutang tersebut dapat ditagih;

    2. yang berhutang meninggal dunia tanpa meninggalkan harta benda atau ahli waris dan tidak ada penjamin atau kawan berhutang (debitur);

    3. yang berhutang tidak mampu dan tidak ada kemungkinan dilakukan pemotongan-pemotongan berupa uang yang akan dibayar kepada negara serta penagihan dengan jalan damai tidak dapat dilakukan; atau

    4. mempunyai tagihan uang pajak yang telah diterima oleh penagih pajak tetapi tidak dipertanggungjawabkan oleh mereka.

Pasal 63

Piutang-piutang Negara yang telah dihapuskan dapat ditagih kembali apabila yang berhutang masih ada dan telah mampu serta tagihan tidak kadaluwarsa.

Pasal 64

  1. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 dapat berupa penyelesaian melalui upaya damai yang dilakukan apabila kekurangan perbendaharaan dan atau kerugian negara telah ditetapkan jumlahnya dan pegawai yang diduga menyebabkan kerugian negara tidak dapat membuktikan bahwa ia bebas dari kesalahan, kelalaian dan atau kealpaan sehingga harus mengganti kekurangan perbendaharaan dan atau kerugian negara tersebut, maka harus membuat SKTJM dengan jaminan yang kuat disertai Surat Kuasa Khusus Pengalihan Hak.

  2. SKTJM dengan jaminan yang kuat disertai Surat Kuasa Khusus Pengalihan Hak sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat diterima apabila pembayaran angsuran selama 2 (dua) tahun cukup terjamin dan mempunyai benda/barang jaminan yang cukup sekurang-kurangnya nilainya sama dengan kerugian negara.

  3. Penggantian kekurangan perbendaharaan dan atau kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan secara tunai sekaligus atau secara angsuran hingga lunas dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun.

  4. Pelaksanaan penyelesaian secara damai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Kepala Unit Kerja/Kepala Satuan Kerja pada tempat terjadinya kekurangan perbendaharaan dan atau kerugian negara tersebut dan atau dilakukan oleh Tim Penyelesaian Kerugian Negara.

  5. Pejabat yang mengetahui sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan ayat (5) sekaligus bertindak sebagai penerima kuasa dari pegawai yang menyebabkan kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

  6. SKTJM ditandatangani oleh yang bersangkutan di atas materai yang cukup, diketahui sekurang-kurangnya dua orang saksi dan dibuat dalam rangkap 4 (empat) masing-masing untuk :

    1. Menteri;

    2. Pimpinan Unit Eselon I/Kepala Satuan Kerja/Kepala Unit Kerja yang bersangkutan;

    3. Bendahara yang ditunjuk untuk melaksanakan SKTJM; dan

    4. pegawai yang bersangkutan.

  7. SKTJM sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) oleh Kepala Unit Kerja/Kepala Satuan Kerja disampaikan kepada :

    1. Badan Pemeriksa Keuangan;

    2. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;

    3. Inspektur Jenderal;

    4. Sekretaris Jenderal; dan

    5. Kuasa Pengguna Anggaran.

  8. Apabila penggantian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan dengan cara angsuran melalui pemotongan gaji dan atau penghasilan lainnya dari yang bersangkutan, maka besarnya potongan gaji atau penghasilan lainnya yang dapat dilakukan yaitu sebesar :

    1. maksimal 30% (tiga puluh persen) dari gaji pokok ditambah tunjangan-tunjangan (dari penghasilan kotor) untuk yang tidak atau yang belum kawin;

    2. maksimal 25% (dua puluh lima persen) dari gaji pokok ditambah tunjangan-tunjangan (dari penghasilan kotor) untuk yang telah berkeluarga;

    3. minimal 1/24 (satu per dua puluh empat) dari kerugian negara yang ditimbulkan, pada pembebanan pertama sisanya dijadwalkan selama 24 bulan yang disepakati oleh pegawai yang bersangkutan, dan apabila penyelesaian upaya damai dilakukan berupa pembayaran uang tunai, maka uang tersebut harus disetorkan oleh Bendahara atau pejabat penerima ke rekening Kas Negara dengan disertai bukti penyetoran; atau

    4. dalam hal tidak memungkinkan untuk dilakukan pemotongan gaji sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, maka diperlukan adanya jaminan sebagaimana dimaksud Pasal 62 ayat (1).

Pasal 65

  1. Terhadap jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dibuat daftar barang-barang yang dijaminkan di atas Surat Kuasa bematerai cukup dengan mencakup semua jenis, lokasi dan surat-surat pemilikan atau surat bukti hak atas barang tersebut dapat berupa pendapatan yang sudah pasti akan diterima oleh yang bersangkutan.

  2. Dalam hal jaminan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) tidak cukup, maka dapat ditutup dengan jaminan harta kekayaan orang lain yang dinyatakan dengan surat kesanggupan dari orang yang mempunyai harta kekayaan tersebut sehingga nilai kerugian negara dapat dipenuhi.

  3. Surat kesanggupan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus disertai pemberian kuasa kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (4) atau barang-barang dijaminkan dalam pernyataan kesanggupan.

Pasal 66

  1. Pelaksanaan penyerahan benda/barang jaminan dapat dilakukan dengan cara:

    1. penyerahan penuh yaitu penyerahan benda/barang lengkap dengan surat-surat bukti hak kepemilikannya; atau

    2. penyerahan surat-surat bukti hak kepemilikannya, sedangkan bendanya masih dikuasai oleh pemiliknya dan untuk itu perlu diikuti dengan Surat Kuasa Penyerahan Hak sebagai jaminan.

  2. Dalam hal benda jaminan berupa surat berharga atau benda berharga yang dapat disimpan dalam brankas, maka penyimpanannya diserahkan kepada Bendahara yang telah ditunjuk untuk dapat dilakukan pemotongan gaji yang bersangkutan.

  3. Dalam hal benda/barang jaminan berupa benda bergerak lainnya, penyimpanannya diserahkan kepada Bendahara yang telah ditunjuk.

  4. Bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) bertanggung jawab atas penyimpanan benda-benda/barang-barang jaminan untuk menjaga nilai benda/barang tersebut tidak berkurang.

Pasal 67

1

Terhadap penyimpanan benda-benda/barang-barang atau uang tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan Pasal 64 Bendahara atau Pejabat Penerima wajib menyelenggarakan administrasi dengan cara antara lain :

  1. membuat Berita Acara Penerimaan;

  2. membukukan penyimpanan; dan

  3. melaporkan penyimpanan dan penerimaan serta keadaan benda-benda jaminan tersebut kepada Atasan Langsungnya dengan dilampiri Berita Acara.

Pasal 68

  1. Bendahara yang telah ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (6) huruf c wajib melakukan tagihan-tagihan sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam SKTJM serta harus malaporkannya kepada Menteri Komunikasi dan Informatika melalui Pimpinan Unit Eselon I/Kepala Satuan Kerja/Kepala Unit Kerja.

  2. Dalam hal pegawai yang menandatangani SKTJM tidak memenuhi kesanggupan, maka Bendahara melaporkan secara tertulis tentang tidak terpenuhinya kesanggupan tersebut disertai dengan sebab dan alasannya kepada Menteri melalui Pimpinan Unit Eselon I/Kepala Satuan Kerja/Kepala Unit Kerja dengan tembusannya disampaikan kepada :

    1. Sekretaris Jenderal;

    2. Inspektur Jenderal;

    3. atasan langsung pegawai yang bersangkutan;

Pasal 69

Dalam hal ternyata bahwa kesanggupan yang telah dinyatakan dalam SKTJM tidak dipenuhi dalam waktu sebagaimana telah ditentukan, maka penjualan benda/barang jaminan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 70

Apabila pegawai yang menyebabkan kerugian negara sampai tiga kali penagihan belum memenuhi kewajibannya, maka pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (4) dan ayat (5) membatalkan SKTJM yang telah dibuat dan terhadap pegawai yang bersangkutan dilakukan proses TKN.

Pasal 71

  1. Dalam hal kerugian negara yang dibebankan kepada pegawai yang menandatangani SKTJM belum lunas, sedangkan yang bersangkutan akan menjalani pensiun, maka Bendahara memberitahukan kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara dan Perum Taspen agar dapat dilakukan penagihan/pemotongan atas sisa hutang tersebut.

  2. Dalam hal kerugian negara yang dibebankan kepada pegawai yang menyebabkan kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum lunas, sedangkan yang bersangkutan meninggal dunia, maka pejabat yang menandatangani SKTJM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (4) dan ayat (5) segera memberitahukan kepada ahli waris tentang masih adanya sisa hutang tersebut berikut persyaratannya.

Pasal 72

Kewajiban Bendahara, Pegawai Negeri Sipil bukan Bendahara, atau pejabat lain untuk membayar ganti rugi, menjadi kadaluwarsa jika dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut atau dalam waktu 8 (delapan) tahun sejak terjadinya kerugian tidak dilakukan penuntutan ganti rugi terhadap yang bersangkutan.

Pasal 73

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor : 21/P/M.KOMINFO/8/2006 Tentang Penyelesaian Kerugian Negara di Lingkungan Departemen Komunikasi dan Informatika dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 74

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.


PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
NOMOR 18 TAHUN 2013
TENTANG
TATA CARA PENYELESAIAN KERUGIAN NEGRA DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

menimbang

  1. bahwa setiap kerugian negara yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;

  2. bahwa Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor : 21/P/M.KOMINFO/8/2006 Tentang Penyelesaian Kerugian Negara di Lingkungan Departemen Komunikasi dan Informatika sudah tidak sesuai dengan perkembangan sehingga perlu diganti;

  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Tata Cara Penyelesaian Kerugian Negara di Lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika;

mengingat

  1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

  3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);

  4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4609), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4855);

  5. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4892);

  6. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2010 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);

  7. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;

  8. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;

  9. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

  10. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara terhadap Bendahara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 147);

  11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara;

  12. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 17/P/M/KOMINFO/10/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Komunikasi dan Informatika;



memperhatikan

memutuskan

menetapkan

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG TATACARA PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :

  1. Kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

  2. Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak orang lain atau berlawanan dengan kewajiban hukum dari orang yang berbuat.

  3. Kelalaian adalah tidak melakukan sesuatu sesuai dengan surat perintah atau dengan suatu akte sejenis (kontrak, SPK, dsb) telah dinyatakan lalai/ingkar (wanprestasi) atau jika pernyataannya sendiri menetapkan bahwa pihak yang berkewajiban itu harus dianggap lalai/ingkar dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

  4. Tuntutan Kerugian Negara selanjutnya disingkat TKN adalah suatu proses yang dilakukan terhadap Bendahara, Pegawai Negeri bukan Bendahara dan Calon Pegawai Negeri, Pejabat lain di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Pihak Ketiga dengan tujuan untuk menuntut penggantian atas suatu kerugian yang diderita oleh negara.

  5. Tuntutan Perbendaharaan adalah suatu tata cara perhitungan dan atau pertanggungjawaban terhadap bendahara jika dalam pengurusannya terjadi/terdapat kekurangan perbendaharaan dengan cara biasa atau cara khusus.

  6. Tuntutan Ganti Rugi adalah suatu proses yang dilakukan terhadap pegawai negeri bukan Bendahara, pegawai bukan PNS, pihak ketiga dengan tujuan untuk menuntut penggantian atas suatu kerugian yang diderita oleh negara.

  7. Bendahara adalah setiap orang atau badan yang diberi tugas untuk dan atas nama negara/daerah, menerima, menyimpan, dan membayar/menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang negara/daerah.

  8. Pegawai Negeri Sipil adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  9. Calon Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat CPNS adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan untuk dipertimbangkan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil.

  10. Satuan Kerja adalah instansi vertikal dan/atau unit pelaksana teknis dari suatu kementerian/kementerian negara/lembaga/badan dan/atau satuan kerja perangkat daerah.

  11. Kepala Satuan Kerja adalah pimpinan satuan kerja yang diberi kuasa oleh Menteri Komunikasi dan Informatika untuk melaksanakan pengelolaan anggaran dalam DIPA yang dikuasakan kepadanya.

  12. Pimpinan Unit Eselon I adalah Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, Direktur Jenderal, dan Kepala Badan di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

  13. Kepala Unit Kerja adalah Kepala Biro, Sekretaris Ditjen/Itjen/Badan, Direktur, Kepala Pusat, dan Kepala UPT di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

  14. Atasan Langsung Bendahara adalah pejabat struktural yang diangkat Menteri Komunikasi dan Informatika sebagai Kuasa Pengguna Anggaran.

  15. Atasan Langsung Pegawai Negeri bukan Bendahara adalah pimpinan unit eselon I/Kepala Unit Kerja.

  16. Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

  17. Pembebanan Kerugian Negara adalah tindakan administrasi dari yang berwenang untuk menjamin kepentingan negara dari yang bersangkutan berdasarkan ketentuan dan dapat dilakukan penagihan untuk menutup atau menyelesaikan kerugian yang diderita oleh negara.

  18. Kekurangan Perbendaharaan adalah selisih kurang antara saldo buku dengan saldo uang kas yang sesungguhnya atau selisih kurang antara buku persediaan barang dangan saldo barang yang sesungguhnya terdapat di dalam gudang, dan berada dalam pengurusan Bendahara.

  19. Pihak Ketiga adalah orang atau badan hukum yang bukan Bendahara dan bukan Pegawai Negeri serta Pegawai Negeri di instansi lain yang mempunyai ikatan kerja dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

  20. Pembebanan Sementara adalah tindakan administrasi oleh yang menjabat atau yang berwenang demi kepentingan negara sebagai dasar pemotongan gaji, penyitaan penjagaan atas harta kekayaan si pelaku tetapi terhadap barang-barang yang disita belum dapat dilakukan penjualan.

  21. Pembebanan Tetap adalah tindakan administrasi oleh yang menjabat atau yang berwenang termasuk penjualan barang-barang jaminan.

  22. Upaya damai adalah penyelesaian secara menyeluruh yang dilakukan sebelum proses TKN atau melalui proses tuntutan perbendaharaan atau tuntutan ganti rugi atau pengadilan yang dilakukan berdasarkan laporan awal atau laporan hasil awal atau laporan hasil penyelesaian pemeriksaan.

  23. Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak yang selanjutnya disebut SKTJM adalah surat keterangan yang menyatakan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa yang bersangkutan bertanggung jawab atas kerugian negara yang terjadi dan bersedia mengganti kerugian negara dimaksud.

  24. Surat Keputusan Penetapan Batas Waktu yang selanjutnya disebut SKPBW adalah Surat Keputusan yang diterbitkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan tentang pemberian kesempatan kepada Bendahara untuk mengajukan keberatan atau pembelaan diri atas tuntutan penggantian kerugian negara.

  25. Surat Keputusan Pencatatan adalah Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan tentang proses penuntutan kasus kerugian negara untuk sementara tidak dapat dilanjutkan.

  26. Tanggung Jawab Renteng adalah kewajiban bertanggung jawab terhadap kerugian negara yang dibebankan kepada dua orang atau lebih.

  27. Penghapusan Kekurangan Perbendaharaan adalah penghapusan suatu kekurangan perbendaharaan dari perhitungan Bendahara, bilamana kekurangan itu terjadi di luar kesalahan, kelalaian ataupun kealpaan Bendahara yang bersangkutan.

  28. Peniadaan Selisih Antara Saldo Buku dan Saldo Kas adalah rangkaian kegiatan dan usaha untuk meniadakan selisih antara saldo buku dan saldo kas yang tidak segera dapat ditutup pada Bendahara Penerimaan/Pengeluaran dari administrasi Bendahara bersangkutan.

  29. Penghapusan Kekurangan Uang atau Surat Berharga atau Barang Negara adalah rangkaian kegiatan dan usaha untuk menghapuskan dari perhitungan Bendahara Penerimaan/Pengeluaran uang atau surat berharga atau barang Negara yang dicuri, digelapkan atau hilang di luar kesalahan/kelalaian Bendahara bersangkutan.

  30. Penghapusan Piutang/Tagihan Negara adalah penghapusan suatu piutang/ tagihan negara dari administrasi piutang dan dilakukan karena piutang/tagihan negara itu berdasarkan alasan tertentu tidak dapat ditagih, namun dengan dilakukannya penghapusan itu, hak tagih negara masih tetap ada.

  31. Pembebasan Piutang/Tagihan Negara adalah meniadakan kewajiban seseorang untuk membayar utang kepada negara yang menurut hukum menjadi tanggungannya, tetapi atas dasar pertimbangan keadilan atau alasan penting tidak layak ditagih dari padanya.

  32. Menteri adalah menteri yang menjalankan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.

  33. Menteri Keuangan adalah menteri yang menjalankan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

BAB II

RUANG LINGKUP KERUGIAN NEGARA

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 2

  1. Penyelesaian Tuntutan Kerugian Negara harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  2. Ruang lingkup pengaturan penyelesaian kerugian negara meliputi:

    1. Tuntutan Perbendaharaan; dan

    2. Tuntutan Ganti Rugi.

  3. Tuntutan Perbendaharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berlaku bagi Bendahara.

  4. Tuntutan Ganti Rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berlaku bagi:

    1. Pegawai Negeri Sipil bukan Bendahara dan CPNS;

    2. Pegawai bukan Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika termasuk di Badan Layanan Umum; dan

    3. pihak ketiga.

Bagian Kedua

Wewenang Penyelesaian Kerugian Negara

Pasal 3

  1. Pengenaan ganti kerugian negara terhadap Bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

  2. Pengenaan ganti kerugian negara terhadap Pegawai Negeri Sipil bukan Bendahara, Calon Pegawai Negeri, pegawai bukan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Pihak Ketiga ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 4

  1. Untuk menyelesaikan Tuntutan Kerugian Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Menteri membentuk Tim Penyelesaian Kerugian Negara.

  2. Tim Penyelesaian Kerugian Negara sebagaimana dimaksud Pada ayat (1) mempunyai tugas, sebagai berikut:

    1. meminta informasi, data, saran dan pertimbangan serta melakukan koordinasi dengan satuan kerja dan instansi terkait;

    2. melakukan penelitian, verifikasi dan memproses kasus kerugian negara di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika;

    3. memberikan masukan, saran, dan pertimbangan kepada Menteri dalam pengambilan keputusan penyelesaian kerugian negara; dan

    4. membuat laporan mengenai penyelesaian kerugian negara kepada Menteri.

Bagian Ketiga

Informasi Kerugian Negara

Pasal 5

  1. Informasi tentang Kerugian Negara dapat diketahui dari:

    1. pengawasan yang dilaksanakan oleh atasan langsung;

    2. hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan;

    3. hasil pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;

    4. hasil pemeriksaan oleh Inspektorat Jenderal;

    5. media massa dan media elektronik;

    6. pengaduan masyarakat;

    7. perhitungan ex officio;

    8. hasil verifikasi; dan

    9. sumber informasi lainnya.

  2. Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan sebagai dasar bagi Kepala Satuan Kerja dalam melakukan tindak lanjut penyelesaian kerugian negara.

Pasal 6

  1. Setiap pegawai yang karena jabatan atau tugas dan fungsinya memakai/menggunakan Barang Milik Negara, wajib memelihara dan mengamankan Barang Milik Negara yang menjadi tanggung jawabnya.

  2. Setiap pegawai yang memakai/menggunakan Barang Milik Negara yang karena sesuatu hal menyebabkan kerugian negara, wajib segera melaporkan kerugian negara tersebut kepada atasannya dan secara hierarkhis melaporkan kejadian tersebut sampai kepada pimpinan Eselon I yang terkait.

  3. Barang siapa yang memakai/meminjam/menggunakan Barang Milik Negara karena sesuatu hal menyebabkan hilangnya Barang Milik Negara dan mengakibatkan kerugian negara baik disebabkan oleh karena adanya unsur kelalaian maupun tidak, wajib melaporkan kepada :
    (a) Kepolisian setempat dan dilengkapi dengan Berita Acara Olah Tempat Kejadian Peristiwa hilangnya Barang Milik Negara dimaksud; dan
    (b) Atasan langsungnya dan/atau Kepala Satuan Kerjanya secara tertulis.

Pasal 7

  1. Atasan langsung atau Kepala Satuan Kerja setelah mengetahui dan/atau memperoleh informasi laporan dimaksud dalam Pasal 6 wajib melakukan penelitian/pemeriksaan/pembuktian terhadap kebenaran laporan dan melakukan tindakan untuk memastikan:

    1. peristiwa terjadinya kerugian negara;

    2. jumlah kerugian negara;

    3. siapa saja yang tersangkut (Pegawai Negeri Sipil, CPNS, Pegawai Bukan PNS, Pejabat Lainnya atau pihak ketiga);

    4. unsur salah (besar/kecilnya kesalahan) dari masing-masing pihak; dan

    5. keterangan lain yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan.

  2. Apabila informasi tersebut terkait dengan kerugian negara yang menjadi tanggung jawabnya, maka Kepala Satuan Kerja wajib meneliti kembali apakah hal tersebut telah memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti dalam rangka proses penyelesaian TKN.

BAB III

PELAPORAN PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA

Bagian Kesatu

Mekanisme Pelaporan dan Pemeriksaan Penyelesaian Kerugian Negara

Pasal 8

  1. Dalam hal diketahui dan ditemukan adanya kejadian yang mengakibatkan kerugian negara, maka atasan langsung/kepala unit kerja yang mengetahui dan menemukan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah kejadian itu diketahui tanpa menunggu kelengkapan datanya, wajib menyampaikan laporan awal kepada Menteri melalui Pejabat Eselon I yang membawahi Unit Kerja tempat terjadinya kerugian negara dengan tembusan kepada:

    1. Sekretaris Jenderal;

    2. Inspektur Jenderal;

    3. Kuasa Pengguna Anggaran selaku Atasan Langsung Bendahara dalam hal kerugian negara dilakukan oleh Bendahara dan atau pegawai yang bersangkutan.

  2. Atasan Langsung/Kepala Unit Kerja yang mengetahui/menemukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu:

    1. atasan langsung/Kepala Unit Kerja;

    2. pejabat dan atau petugas yang melaksanakan tugas verifikasi; dan

    3. pejabat yang melakukan pemeriksaan.

  3. Laporan awal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:

    1. waktu kejadian;

    2. lokasi kejadian;

    3. perkiraan jumlah kerugian negara;

    4. pihak yang bertanggung jawab;

    5. hal-hal yang mendasari diketahuinya kejadian; dan

    6. Surat Tanda Lapor dari Kepolisian.

Pasal 9

  1. Pimpinan Unit Eselon I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), setelah menerima laporan, harus segera melakukan tindakan dalam rangka pengamanan maupun upaya pengembalian kerugian negara sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.

  2. Setiap tindakan yang diambil oleh Pimpinan Unit Eselon I sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Menteri.

Pasal 10

  1. Menteri setelah menerima laporan awal sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 menugaskan Tim Penyelesaian Kerugian Negara melalui Sekretaris Jenderal untuk melakukan penelitian dan verifikasi.

  2. Apabila hasil penelitian dan verifikasi oleh Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memerlukan pemeriksaan lebih lanjut di lokasi kejadian, penugasan dan pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Inspektur Jenderal.

Pasal 11

  1. Tim Penyelesaian Kerugian Negara menyampaikan hasil penelitian disertai usul atau rekomendasi penyelesaiannya kepada Menteri dengan tembusan kepada Pimpinan Unit Eselon I terkait, paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak menerima penugasan.

  2. Khusus hasil penelitian, verifikasi dan pemeriksaan tim penyelesaian kerugian negara yang menyangkut bendahara, Menteri menyampaikan hasil penelitiannya kepada BPK untuk mendapatkan penetapan pembebanan.

  3. Segera setelah kerugian negara tersebut diketahui, kepada bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang nyata-nyata melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya untuk segera dimintakan surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian tersebut menjadi tanggung jawabnya dan bersedia mengganti kerugian negara dimaksud.

  4. Hasil penelitian dan pemeriksaan Tim Penyelesaian Kerugian Negara yang menyangkut tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (4) dapat diselesaikan melalui upaya damai yang dituangkan dalam bentuk SKTJM.

  5. Jika SKTJM tidak mungkin diperoleh atau tidak dapat menjamin pengembalian kerugian negara, menteri segera mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara kepada yang bersangkutan.

Pasal 12

  1. Apabila dalam informasi awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diduga terdapat unsur:

    1. tindak pidana khusus, Menteri melaporkan kepada Kejaksaan Agung;

    2. tindak pidana umum yang disebabkan pencurian/perampokan/penodongan atau sejenisnya, Atasan Langsung atau Kepala Unit Kerja yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah kejadian segera melaporkan kepada Kepolisian setempat dan meminta surat keterangan penyidikan di Tempat Kejadian Perkara (TKP).

  2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai penjelasan mengenai upaya pengembalian kerugian negara sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 13

  1. Dalam penelitian atau pemeriksaan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 harus diupayakan kelengkapan data dan barang bukti guna penyelesaian kerugian negara.

  2. Kelengkapan data dan barang bukti guna penyelesaian kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan bahan pertimbangan dalam penyelesaian kasus meliputi :

    1. sebab-sebab terjadinya kerugian negara;

    2. jumlah kerugian negara yang pasti;

    3. nama yang diduga terlibat;

    4. tingkat kesalahan, kelalaian atau kealpaan dari masing-masing yang diduga terlibat;

    5. bukti penyelesaian yang sudah dilakukan; dan

    6. keterangan lain yang dapat dipergunakan.

Pasal 14

  1. Dalam penelitian, verifikasi dan pemeriksaan, pegawai yang patut diduga menyebabkan kerugian negara dapat mengajukan bukti bahwa ia bebas dari kesalahan, kelalaian dan kealpaan atas kekurangan perbendaharaan dan atau kerugian negara tersebut.

  2. Apabila dalam penelitian, verifikasi dan pemeriksaan terbukti kerugian negara dilakukan oleh beberapa pegawai secara langsung atau tidak langsung, maka kepada yang bersangkutan dikenakan tanggung jawab renteng sesuai dengan bobot keterlibatan dan tanggung jawabnya, urutan inisiatif dan kelalaian atau kesalahannya.

  3. Apabila pegawai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan bebas dari kesalahan, kelalaian, dan atau kealpaan atas kekurangan perbendaharaan dan atau kerugian negara, Menteri melakukan penghapusan berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Bagian Kedua

Pelaporan Realisasi Pengembalian Kerugian Negara

Pasal 15

  1. Kepala Satuan Kerja/Kepala Unit Kerja wajib mengintensifkan penagihan dan pemungutan piutang Negara yang terjadi di lingkungan Unit Kerjanya baik melalui pemotongan gaji maupun setoran langsung dari para pelaku dan atau penanggung jawab kerugian negara tersebut, serta hasilnya disetorkan ke rekening Kas Negara.

  2. Pelaporan realisasi pengembalian kerugian negara dilakukan oleh:

    1. Kepala Satuan Kerja kepada Ketua Badan Pemeriksa Keuangan dengan tembusan Pimpinan Unit Eselon I terkait, dalam hal TP.

    2. Kepala Unit Kerja kepada Pimpinan Unit Eselon I terkait, atau Pimpinan Unit Eselon I kepada Menteri Komunikasi dan Informatika.

Pasal 16

Laporan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 disampaikan selambatlambatnya tanggal 15 bulan berikutnya, disertai bukti setor dan data dukung lainnya.

BAB IV

PROSES PENYELESAIAN TUNTUTAN PERBENDAHARAAN DAN PENGHAPUSAN KEKURANGAN UANG SURAT BERHARGA BARANG NEGARA DAN PENIADAAN SELISIH DARI PERHITUNGAN BENDAHARA

Bagian Kesatu

Tuntutan Perbendaharaan

Pasal 17

  1. Dalam hal kerugian negara menyangkut perbendaharaan, maka Kuasa Pengguna Anggaran pada satuan kerja terkait segera melaporkan kepada Menteri.

  2. Setelah menerima laporan awal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri memberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari.

Pasal 18

Tuntutan Perbendaharaan dilakukan terhadap Bendahara yang:

  1. melakukan perbuatan melawan hukum atau karena kelalaian atau kealpaannya tidak melaksanakan kewajiban, sehingga mengakibatkan kerugian negara;

  2. karena kesalahannya mengakibatkan kerugian negara; dan

  3. telah melalaikan kewajibannya dalam membuat perhitungan pertanggungjawaban yang mengakibatkan kerugian negara.

Pasal 19

Tuntutan Perbendaharaan dapat dilakukan apabila memenuhi semua persyaratan sebagai berikut:

  1. negara telah dirugikan atau terdapat kekurangan perbendaharaan;

  2. jumlah Kerugian negara harus sudah pasti;

  3. kerugian negara terjadi dalam pengurusan Bendahara;

  4. kerugian negara terjadi sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau karena kelalaiannya atau kesalahan Bendahara; dan

  5. tidak dapat diselesaikan melalui upaya damai.

Pasal 20

Dalam hal Bendahara dibebaskan dari kewajiban menyampaikan perhitungan pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku, tuntutan perbendaharaan dilakukan berdasarkan berita acara pemeriksaan atau berdasarkan laporan hasil pemeriksaan yang menyatakan adanya kekurangan perbendaharaan.

Pasal 21

  1. Dalam hal untuk memperoleh penggantian kekurangan perbendaharaan tidak dapat diselesaikan secara damai, kepada Bendahara yang bersangkutan dapat dilakukan penyelesaian secara paksa melalui pembebanan penggantian kerugian sementara oleh Menteri, sebagaimana dalam contoh pada Lampiran II Peraturan Menteri ini.

  2. Keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan dasar untuk dilakukan pemotongan atas gaji dan atau penghasilan lain dari Bendahara yang bersangkutan.

  3. Untuk dapat dilaksanakan pemotongan gaji dan atau penghasilan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diperlukan surat perintah pemotongan gaji berdasarkan perintah Kepala Satuan Kerja yang bersangkutan.

Pasal 22

  1. Langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Menteri berdasarkan ketentuan dalam Peraturan ini disampaikan dengan data dukung lengkap, Sekretaris Jenderal melalui Kepala Biro Keuangan menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia untuk mendapat ketetapan.

  2. Atas pertimbangan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia terhadap pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Mentesari dapat melakukan tindakan administratif di bidang kepegawaian sesuai dengan tugas dan wewenangnya.

Pasal 23

  1. Berdasarkan pertimbangan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap pemberitahuan tentang terdapatnya kekurangan perbendaharaan dalam pengurusan Bendahara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dapat dilakukan tuntutan perbendaharaan kepada Bendahara yang bersangkutan.

  2. Tuntutan perbendaharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dan disertai dengan penerbitan surat keputusan penetapan batas waktu melalui Menteri dengan tanda terima dari Bendahara yang bersangkutan.

  3. Bendahara yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan dengan mengajukan bukti-bukti bahwa ia bebas dari kesalahan, kelalaian dan atas kekurangan perbendaharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima keputusan penetapan batas waktu.

Pasal 24

  1. Dalam hal batas waktu yang telah ditetapkan dalam surat keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) Bendahara yang bersangkutan tidak mengajukan keberatan atau pembelaan atau tidak dapat membuktikan bahwa ia bebas sama sekali dari kesalahan, kelalaian, Badan Pemeriksa Keuangan menetapkan suatu Surat Keputusan Pembebanan.

  2. Dalam hal pembelaan dari Bendahara yang bersangkutan diterima oleh Badan Pemeriksa Keuangan, maka Keputusan Pembebanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan kepada Menteri sebagai dasar melakukan penghapusan sebagaimana dalam contoh pada Lampiran I Peraturan Menteri ini.

  3. Pimpinan instansi memerintahkan Tim Penyelesaian Kerugian Negara mengupayakan agar bendahara bersedia membuat dan menandatangani SKTJM paling lambat 7 (tujuh) hari setelah menerima surat Keputusan Pembebanan dari Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3).

Pasal 25

  1. Berdasarkan keputusan pembebanan dari Badan Pemeriksa Keuangan, Bendahara wajib mengganti kerugian negara dengan cara menyetorkan secara tunai ke kas negara/daerah dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah menerima surat keputusan pembebanan.

  2. Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Bendahara tidak mengganti kerugian negara secara tunai, instansi yang bersangkutan mengajukan permintaan kepada instansi yang berwenang untuk melakukan penyitaan dan penjualan lelang atas harta kekayaan Bendahara.

  3. Pelaksanaan keputusan pembebanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Kantor/UPT/Satuan Kerja yang bersangkutan dan apabila terjadi kemacetan kecuali ditetapkan lain oleh Menteri, pelaksanaan selanjutnya dapat dilaksanakan oleh Kepala Kantor/UPT/Satuan Kerja dengan perantaraan Pengadilan Negeri atau Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

Pasal 26

  1. Dalam hal Bendahara diketahui melarikan diri atau berada di bawah pengampuan atau meninggal dunia dan tidak dapat segera dilakukan pengujian dan atau pemeriksaan kas atau persediaan barang-barang di gudang, maka untuk menjamin kepentingan negara, Atasan Langsung Bendahara yang bersangkutan segera melakukan tindakan sebagai berikut :

    1. buku-buku yang berkaitan dengan pengurusan uang dan barang diberi garis penutup;

    2. semua buku, uang, surat-surat dan barang-barang berharga serta bukti-bukti dimasukkan ke dalam lemari besi atau lemari lainnya dan disegel; dan

    3. gudang tempat penyimpanan barang-barang disegel.

  2. Tindakan-tindakan untuk menjamin kepentingan negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan Berita Acara Penyegelan yang ditandatangani oleh Atasan Langsung Bendahara yang bersangkutan dan 2 (dua) orang saksi.

Pasal 27

  1. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penyegelan, Atasan Langsung Bendahara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), menunjuk pegawai yang ditugaskan membuat perhitungan ex-officio untuk melakukan pengujian kas dan persediaan barang-barang di gudang dengan membuka segel dan membuat Berita Acara Pembukaan Segel.

  2. Dalam melakukan pengujian dan atau pemeriksaan kas atau persediaan barang-barang di gudang, semua uang atau barang-barang berharga dan barang-barang di gudang dihitung dan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Kas dan Persediaan Barang.

  3. Berita Acara Pemeriksaan Kas dan Berita Acara Pemeriksaan Persediaan Barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus disampaikan kepada Menteri melalui Pimpinan Unit Kerja.

  4. Dalam hal dari perhitungan ex-offisio ternyata terdapat kekurangan perbendaharaan dan atau kerugian negara, maka terhadap Bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan tuntutan perbendaharaan.

Pasal 28

Penutupan buku, penyegelan, pembukaan segel serta pengujian dan atau pemeriksaan kas dan atau persediaan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27 disaksikan oleh keluarga terdekat, pengampu atau ahli waris dari Bendahara yang melarikan diri atau yang berada di bawah pengampuan, atau meninggal dunia atau sekurang-kurangnya 2 (dua) orang pejabat setempat atas permintaan Atasan Langsung Bendahara yang bersangkutan.

Pasal 29

  1. Jika Bendahara terlambat atau lalai membuat dan menyampaikan perhitungan pertanggungjawaban sesuai ketentuan, kepada Bendahara yang bersangkutan diberikan surat peringatan oleh pejabat yang ditunjuk dengan menetapkan batas waktu untuk segera memenuhi kewajibannya kepada instansi yang bersangkutan.

  2. Jika batas waktu yang telah ditetapkan Bendahara yang bersangkutan masih juga melalaikan kewajibannya, maka Menteri atau pejabat yang ditunjuk menunjuk seorang atau beberapa pejabat untuk membuat perhitungan ex-officio.

  3. Kelalaian Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) diberitahukan oleh Menteri kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk mendapat Keputusan.

Pasal 30

  1. Pelaksanaan dan pembuatan serta penyelesaian pertanggungjawaban atau perhitungan ex-offisio terhadap Bendahara yang lalai atau melarikan diri atau di bawah pengampuan atau meninggal dunia dilakukan oleh Kepala Kantor/UPT/Satuan Kerja yang bersangkutan atas nama Menteri.

  2. Dalam penyusunan pertanggungjawaban atau perhitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperiksa bukti-bukti dan buku-buku atau jika dipandang perlu dilengkapi dan atau dibetulkan sehingga dapat ditetapkan saldo buku yang sesungguhnya.

  3. Keluarga terdekat atau pengampu atau ahli waris dari Bendahara yang melarikan diri atau berada di bawah pengampuan atau meninggal dunia atau mereka yang memperoleh hak, diberi kesempatan untuk melihat atau memeriksa buku-buku dan bukti-bukti dalam pelaksanaan penyusunan pertanggungjawaban atau perhitungan ex-offisio sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

  4. Dalam hal terdapat kerugian negara kepada keluarga terdekat atau pengampu atau ahli waris sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan salinan pertanggungjawaban perhitungan ex-offisio, disertai tanda bukti penerimaan dan batas waktu untuk mengajukan keberatan atau sanggahan.

  5. Diterima atau tidaknya surat keberatan atau sanggahan, dan telah lewat dari batas waktu yang telah ditetapkan, maka dengan atau tanpa surat keberatan atau sanggahan dari yang bersangkutan, pertanggungjawaban atau perhitungan ex-offisio disampaikan oleh Menteri kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk mendapat keputusan.

  6. Terhadap Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan, pihak yang bersangkutan tidak dapat mengajukan permohonan naik banding.

Pasal 31

  1. Bendahara yang berdasarkan surat keputusan batas waktu tidak menggunakan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau sanggahan tidak dapat mengajukan permohonan naik banding.

  2. Dalam hal Bendahara yang bersangkutan telah mengajukan keberatan atau sanggahan dan Badan Pemeriksa Keuangan tetap berpendapat bahwa Bendahara yang bersangkutan salah, lalai, dan atau alpa, dengan demikian telah dibebankan penggantian kekurangan, maka yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali atau banding kepada Badan Pemeriksa Keuangan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah menerima Surat Keputusan Pembebanan.

Pasal 32

  1. Dalam hal Badan Pemeriksa Keuangan telah memutuskan bahwa kekurangan perbendaharaan harus diganti oleh Bendahara yang bersangkutan, pelaksanaan Keputusan Pembebanan dilakukan oleh Menteri.

  2. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Bendahara yang bersangkutan melalui pejabat yang ditunjuk.

  3. Pelaksanaan keputusan pembebanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Satuan Kerja/Kepala Unit Kerja yang bersangkutan dan apabila terjadi kemacetan kecuali ditetapkan lain oleh Menteri, pelaksanaan selanjutnya dapat dilaksanakan oleh Kepala Satuan Kerja/Kepala Unit Kerja dengan perantara Pengadilan Negeri atau Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara di wilayah yang bersangkutan.

Pasal 33

Tanggung jawab ahli waris atas kekurangan perbendaharaan yang terdapat dalam pengurusan Bendahara yang melarikan diri atau berada di bawah pengampuan atau meninggal dunia dianggap gugur apabila :

  1. 3 (tiga) tahun telah lewat sejak Bendahara yang bersangkutan melarikan diri, atau berada di bawah pengampuan atau meninggal dunia, kepada keluarga terdekat, pengampu atau ahli waris Bendahara yang bersangkutan atau mereka yang memperoleh hak dari padanya, tidak diberitahukan tentang perhitungan yang dibuat secara ex-offisio; atau

  2. 3 (tiga) tahun sejak batas waktu untuk mengajukan pembelaan telah lewat dan BPK tidak mengambil suatu keputusan.

Pasal 34

Jumlah kerugian negara yang dibebankan kepada keluarga terdekat, pengampu atau ahli waris atau mereka yang memperoleh hak dari Bendahara yang melarikan diri atau berada di bawah pengampuan, atau meninggal dunia, tidak diberlakukan Undang-Undang Perbendaharaan Negara, dan untuk itu diberlakukan ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Hukum Perdata Adat atau Hukum Islam.

Pasal 35

  1. Jika Bendahara yang bersangkutan melarikan diri dan alamatnya tidak diketahui atau telah meninggal dunia tanpa ada ahli waris atau ahli warisnya tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya, demikian pula polisi atau Kejaksaan telah menyita barang-barang dari bendahara yang bersangkutan dan oleh Hakim telah diputuskan bahwa hasil penjualan barang-barang tersebut untuk negara, maka kekurangan perbendaharaan dimaksud pada hakekatnya telah diganti.

  2. Jika masih terdapat kerugian negara, maka sisa tersebut oleh Menteri Keuangan dilakukan penghapusan sesuai ketentuan yang berlaku.

  3. Penyelesaian kekurangan perbendaharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diusulkan oleh Menteri kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk penerbitan Surat Keputusan Pencatatan.

Pasal 36

Jika Bendahara setelah membuat pertanggungjawaban melarikan diri atau meninggal dunia dan ternyata setelah diperiksa terdapat kekurangan perbendaharaan, maka Menteri menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk mendapatkan keputusan.

Bagian Kedua

Penghapusan Kekurangan Uang Surat Berharga Barang Negara dan Peniadaan Selisih dari Perhitungan Bendahara

Pasal 37

  1. Uang, surat berharga, barang negara dicuri, digelapkan, atau hilang dapat dihapuskan dari perhitungan Bendahara bersangkutan, jika pencurian, penggelapan, atau kehilangan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan/kelalaian Bendahara berdasarkan pada pembuktian atau Berita Acara yang memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  2. Penghapusan kekurangan uang, surat berharga, barang negara dari perhitungan Bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan.

  3. Kepala unit Kerja/Kepala Satuan Kerja mengajukan usul penghapusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Sekretaris Jenderal selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja setelah terjadinya kerugian negara, disertai Surat Keterangan Penyidikan Polisi di Tempat Kejadian Perkara (TKP), Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) oleh Inspektorat Jenderal atau pejabat yang ditunjuk untuk itu, surat keterangan dari unit-unit penyaluran dana atau surat keterangan dari Atasan Langsung Bendahara Penerimaan.

  4. Setelah diterima usulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Sekretaris Jenderal memberi penilaian dan atau pendapat untuk diajukan penghapusan kepada Kementerian Keuangan.

Pasal 38

  1. Selisih kurang antara saldo buku dengan saldo kas yang disebabkan oleh kesalahan/kelalaian Bendahara dan atau tidak segera dapat ditutup, dapat ditiadakan dari administrasi Bendahara.

  2. Peniadaan selisih dari administrasi Bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.

  3. Kepala Satuan Kerja/Kepala Unit Kerja mengajukan usul peniadaan selisih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Sekjen selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja setelah terjadi kerugian negara disertai Berita Acara Pemeriksaan Kas dan rekaman (foto kopi) BKU bulan yang bersangkutan yang memuat adanya kekurangan kas, SKTJM atau Surat Keputusan Pembebanan Sementara, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal atau pejabat yang ditunjuk untuk itu, surat keterangan dari unit pemberi dana atau surat keterangan dari Atasan Langsung Bendahara Penerimaan.

  4. Setelah diterima usulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Sekretaris Jenderal memberi penilaian dan atau pendapat untuk diajukan usul peniadaan selisih kurang kepada Kementerian Keuangan.

Pasal 39

Salinan dari semua keputusan penghapusan dan atau peniadaan selisih kurang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38 diampaikan kepada :

  1. Badan Pemeriksa Keuangan;

  2. Menteri Keuangan;

  3. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;

  4. Sekretaris Jenderal

  5. Inspektur Jenderal;

  6. Pimpinan Unit Eselon I yang bersangkutan; dan

  7. Kepala Satuan Kerja/Kepala Unit Kerja dan atau yang bersangkutan.

BAB V

PROSES PENYELESAIAN TUNTUTAN GANTI RUGI KEPADA PEGAWAI NEGERI SIPIL PIHAK KETIGA PEGAWAI BUKAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DAN PEMBEBASAN PENGHAPUSAN TAGIHAN NEGARA

Bagian Kesatu

Tuntutan Ganti Rugi

Pasal 40

  1. Tuntutan Ganti Rugi dilakukan terhadap Pegawai Negeri Sipil bukan Bendahara dan Calon Pegawai Negeri Sipil yang pada waktu menjalankan tugas jabatannya telah melakukan perbuatan langsung atau tidak langsung yang mengakibatkan kerugian negara.

  2. Perbuatan Pegawai Negeri Sipil bukan Bendahara dan Calon Pegawai Negeri Sipil yang mengakibatkan kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:

    1. penyalahgunaan wewenang;

    2. korupsi;

    3. pencurian;

    4. penggelapan;

    5. penipuan;

    6. menaikkan harga;

    7. merubah kualitas atau mutu;

    8. uang untuk dipertanggungjawabkan yang tidak dipertanggungjawabkan pada waktunya;

    9. merusak barang milik negara;

    10. menghilangkan uang atau barang milik negara; dan

    11. kelalaian.

  3. Tuntutan Ganti Rugi dilakukan setelah upaya damai tidak berhasil.

Pasal 41

Tuntutan Ganti Rugi dapat dilakukan apabila dipenuhi semua persyaratan sebagaimana berikut:

  1. negara telah dirugikan atau telah terdapat kekurangan perbendaharaan;

  2. kerugian negara sudah pasti;

  3. kerugian negara sebagai akibat tindakan langsung atau tidak langsung dari Pegawai Negeri Sipil bukan Bendahara, Calon Pegawai Negeri Sipil;

  4. perbuatan dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil bukan Bendahara, Calon Pegawai Negeri Sipil karena tugas jabatannya;

  5. tidak dapat diselesaikan secara damai.

Pasal 42

Tuntutan Ganti Rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) lebih dahulu diperlukan adanya laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.

Pasal 43

  1. Apabila upaya damai untuk memperolah penggantian kerugian negara tidak dapat terlaksana secara damai, kepada Pegawai Negeri Sipil bukan Bendahara, Calon Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dikenakan pembebanan penggantian sementara.

  2. Keputusan pembebanan penggantian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan dasar untuk dilakukannya pemotongan gaji dan atau penghasilan lain dari Pegawai Negeri bukan Bendahara yang bersangkutan.

  3. Untuk dapat dilaksanakan pemotongan gaji dan atau penghasilan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diperlukan surat perintah pemotongan gaji berdasarkan perintah Kepala Unit Kerja/Kepala Satuan Kerja yang bersangkutan.

Pasal 44

  1. Kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan Pegawai Negeri Sipil bukan Bendahara, penuntutan ganti rugi dan besarnya potongan dilakukan oleh Menteri.

  2. Keputusan pembebanan penggantian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Pimpinan Unit Eselon I atau Kepala Unit Kerja.

Pasal 45

Jika dari hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diperoleh bukti-bukti yang kuat untuk melaksanakan Tuntutan Ganti Rugi dan tidak dapat diselesaikan dengan upaya damai, maka Menteri memberitahukan kepada pegawai yang bersangkutan atau ahli waris atau mereka yang memperoleh hak dari padanya tentang :

  1. jumlah kerugian yang diderita oleh negara yang harus diganti;

  2. sebab dan alasan ia dibebani ganti rugi; dan

  3. tenggang waktu untuk mengajukan keberatan atau pembelaan diri yaitu 14 (empat belas) hari setelah menerima surat pemberitahuan.

Pasal 46

Pegawai Negeri Sipil bukan Bendahara setelah menerima pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dapat:

  1. menyatakan bersedia mengganti kerugian secara damai dengan pembayaran sekaligus atau dengan jalan mengangsur selambat-lambatnya 2 (dua) tahun, dan untuk itu yang bersangkutan menyerahkan SKTJM.

  2. mengajukan keberatan atau pembelaan diri atas pembebanan ganti rugi yang akan dikenakan kepadanya; atau

  3. tidak memberikan jawaban sama sekali.

Pasal 47

Jika pembayaran ganti rugi yang dijanjikan itu cukup terjamin dan akan lunas dalam batas waktu paling lama 2 (dua) tahun, maka tidak perlu dilakukan proses Tuntutan Ganti Rugi.

Pasal 48

Jika pembayaran ganti rugi yang dijanjikan itu tidak terjamin pelaksanaannya dan akan melebihi waktu 2 (dua) tahun, maka proses Tuntutan Ganti Rugi dimaksud harus dilaksanakan.

Pasal 49

SKTJM berlaku juga terhadap Tuntutan Ganti Rugi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) dan (5).

Pasal 50

  1. Apabila tenggang waktu telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 sudah dilampaui tetapi Pegawai Negeri bukan bendahara, ahli waris atau mereka yang memperoleh hak dari padanya tidak mengajukan keberatan atau pembelaannya, maka Menteri Komunikasi dan Informatika memutuskan untuk membebankan penggantian kerugian kepada yang bersangkutan dengan menetapkan jumlah yang harus diganti dalam surat keputusan pembebanan.

  2. Keputusan pembebanan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat ditetapkan dalam tenggang waktu terbatas 5 (lima) tahun setelah tahun di mana kerugian negara tersebut diketahui atau 8 (delapan) tahun setelah terjadinya perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dilakukan.

Pasal 51

  1. Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah menerima keputusan, Pegawai Negeri bukan Bendahara, ahli waris atau mereka yang memperoleh hak dari padanya dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Presiden dalam hal ini Menteri Keuangan.

  2. Presiden dalam hal ini Menteri Keuangan dapat meninjau kembali dan memutuskan dalam tingkat banding Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

  3. Apabila permohonan peninjauan kembali diterima Presiden dalam hal ini Menteri Keuangan, maka oleh Menteri Komunikasi dan Informatika dilakukan penghapusan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini.

Pasal 52

  1. Keputusan pembebanan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) baru dapat dilaksanakan setelah tenggang waktu dilampaui tanpa ada permohonan peninjauan kembali dari yang bersangkutan kepada Presiden dalam hal ini Menteri Keuangan atau permohonan peninjauan kembali ditolak, kecuali dalam keputusan dimaksud ditetapkan bahwa pembebanan harus segera dijalankan untuk sementara.

  2. Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika sebagaimana dalam Pasal 46 ayat (1) dilaksanakan sebagaimana keputusan Hakim dalam perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

  3. Pelaksanaan Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Unit Kerja/Kepala Satuan Kerja yang bersangkutan dan apabila terjadi kemacetan kecuali ditetapkan lain oleh Menteri, pelaksanaan selanjutnya dilaksanakan oleh Kepala Unit Kerja/Kepala Satuan Kerja dengan perantara Pengadilan Negeri atau Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara di wilayah yang bersangkutan.

Pasal 53

  1. Dalam hal kerugian negara merupakan tanggungjawab lebih dari 1 (satu) orang, maka kepada mereka yang telah menyebabkan kerugian negara dibebankan ganti rugi secara tanggung jawab renteng sebesar kerugian negara yang ditimbulkan dengan ketentuan tidak dibagi-bagi.

  2. Apabila negara telah menerima ganti rugi sejumlah besarnya kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka pelaksanaan penuntutan ganti rugi telah selesai. Kepala Satuan Kerja segera mengusulkan kepada Sekretaris Jenderal untuk proses penghapusannya.

Pasal 54

Dalam hal yang bersangkutan karena perbuatannya berkaitan dengan tindak pidana uang sedang diproses atau telah diputuskan oleh pengadilan dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka proses penyelesaian atau putusan tindak pidana tersebut tidak menghentikan proses tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi.

Bagian Kedua

Proses Penyelesaian Tuntutan Ganti Rugi terhadap Pihak Ketiga

Pasal 55

  1. Pihak ketiga yang langsung atau tidak langsung telah merugikan negara wajib mengganti kerugian negara.

  2. Perbuatan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:

    1. menaikkan harga terlalu tinggi atas dasar permufakatan dengan pejabat yang bersangkutan;

    2. tidak menepati perjanjian (wanprestasi);

    3. pengiriman yang mengalami kerusakan karena kesalahannya; dan

    4. lain-lain yang mengakibatkan kerugian negara.

  3. Untuk penggantian kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih dahulu diselesaikan dengan upaya damai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.

  4. Apabila upaya damai sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat dilaksanakan, maka penyelesaiannya dilimpahkan kepada Kepala Kantor atau Satuan Kerja dengan perantara Pengadilan Negeri atau kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara di wilayah yang bersangkutan.

Pasal 56

  1. Apabila gugatan dikabulkan dan keputusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka pelaksanaan keputusan dimaksud dapat dijalankan dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. jika pengganti kerugian negara tersebut berupa uang, maka uang tersebut harus disetor ke rekening Kas Negara dengan copy bukti setor dikirim ke Sekretaris Jenderal dan Inspektur Jenderal; atau

    2. jika penggantian kerugian negara tersebut berupa barang, perbaikan barang atau barang pengganti maka instansi pemakai barang harus mencatat sebagai inventaris negara berdasarkan berita acara penerimaan atau pemeriksaan barang menggunakan sistem SA-BMN, dan dilaporkan ke Sekretaris Jenderal dan Inspektur Jenderal.

  2. Apabila gugatan tidak dikabulkan dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka kerugian negara menjadi beban negara sepenuhnya.

Pasal 57

Jika kerugian negara merupakan tanggung jawab lebih dari 1 (satu) penanggung jawab berlaku juga sebagaimana dimaksud dalam pasal 54.

Bagian Ketiga

Proses Penyelesaian Tuntutan Ganti Rugi terhadap Pegawai Bukan Pegawai Negeri Sipil

Pasal 58

  1. Pegawai bukan Pegawai Negeri Sipil yang langsung atau tidak langsung telah merugikan negara wajib mengganti kerugian negara.

  2. Perbuatan pegawai bukan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :

    1. tidak menepati perjanjian (wanprestasi); dan

    2. lain-lain yang mengakibatkan kerugian negara.

  3. Untuk penggantian kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih dahulu diselesaikan dengan upaya damai sebagaimana dimaksud dalam pasal 12.

  4. Apabila upaya damai sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat dilaksanakan, maka penyelesaiannvya dilimpahkan kepada Kepala Kantor atau Satuan Kerja dengan perantara Pengadilan Negeri atau kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara di wilayah yang bersangkutan.

Pasal 59

  1. Apabila gugatan dikabulkan dan keputusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka pelaksanaan keputusan dimaksud dapat dijalankan dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. jika pengganti kerugian negara tersebut berupa uang, maka uang tersebut harus disetor ke rekening Kas Negara dengan copy bukti setor dikirim ke Sekretaris Jenderal dan Inspektur Jenderal; atau

    2. jika penggantian kerugian negara tersebut berupa barang, perbaikan barang atau barang pengganti maka instansi pemakai barang harus mencatat sebagai inventaris negara berdasarkan berita acara penerimaan atau pemeriksaan barang menggunakan sistem SA-BMN, dan dilaporkan ke Sekretaris Jenderal dan Inspektur Jenderal.

  2. Apabila gugatan tidak dikabulkan dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka kerugian negara menjadi beban negara sepenuhnya.

Pasal 60

Jika kerugian negara merupakan tanggung jawab lebih dari 1 (satu) penanggung jawab berlaku juga sebagaimana dimaksud dalam pasal 54.

Bagian Keempat

Proses Penyelesaian Pembebasan dan Penghapusan Tagihan Negara

Pasal 61

Pembebasan tagihan Negara ditetapkan oleh Menteri atas dasar permohonan pihak yang bersangkutan setelah mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.

Pasal 62

  1. Piutang-piutang Negara yang tidak dapat ditagih dihapuskan dengan pembukuan tersendiri.

  2. Penghapusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihapuskan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan Menteri Keuangan dan dilaksanakan apabila:

    1. tagihan telah lewat 5 (lima) tahun sejak dari tahun piutang tersebut dapat ditagih;

    2. yang berhutang meninggal dunia tanpa meninggalkan harta benda atau ahli waris dan tidak ada penjamin atau kawan berhutang (debitur);

    3. yang berhutang tidak mampu dan tidak ada kemungkinan dilakukan pemotongan-pemotongan berupa uang yang akan dibayar kepada negara serta penagihan dengan jalan damai tidak dapat dilakukan; atau

    4. mempunyai tagihan uang pajak yang telah diterima oleh penagih pajak tetapi tidak dipertanggungjawabkan oleh mereka.

Pasal 63

Piutang-piutang Negara yang telah dihapuskan dapat ditagih kembali apabila yang berhutang masih ada dan telah mampu serta tagihan tidak kadaluwarsa.

BAB VI

UPAYA DAMAI

Pasal 64

  1. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 dapat berupa penyelesaian melalui upaya damai yang dilakukan apabila kekurangan perbendaharaan dan atau kerugian negara telah ditetapkan jumlahnya dan pegawai yang diduga menyebabkan kerugian negara tidak dapat membuktikan bahwa ia bebas dari kesalahan, kelalaian dan atau kealpaan sehingga harus mengganti kekurangan perbendaharaan dan atau kerugian negara tersebut, maka harus membuat SKTJM dengan jaminan yang kuat disertai Surat Kuasa Khusus Pengalihan Hak.

  2. SKTJM dengan jaminan yang kuat disertai Surat Kuasa Khusus Pengalihan Hak sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat diterima apabila pembayaran angsuran selama 2 (dua) tahun cukup terjamin dan mempunyai benda/barang jaminan yang cukup sekurang-kurangnya nilainya sama dengan kerugian negara.

  3. Penggantian kekurangan perbendaharaan dan atau kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan secara tunai sekaligus atau secara angsuran hingga lunas dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun.

  4. Pelaksanaan penyelesaian secara damai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Kepala Unit Kerja/Kepala Satuan Kerja pada tempat terjadinya kekurangan perbendaharaan dan atau kerugian negara tersebut dan atau dilakukan oleh Tim Penyelesaian Kerugian Negara.

  5. Pejabat yang mengetahui sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan ayat (5) sekaligus bertindak sebagai penerima kuasa dari pegawai yang menyebabkan kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

  6. SKTJM ditandatangani oleh yang bersangkutan di atas materai yang cukup, diketahui sekurang-kurangnya dua orang saksi dan dibuat dalam rangkap 4 (empat) masing-masing untuk :

    1. Menteri;

    2. Pimpinan Unit Eselon I/Kepala Satuan Kerja/Kepala Unit Kerja yang bersangkutan;

    3. Bendahara yang ditunjuk untuk melaksanakan SKTJM; dan

    4. pegawai yang bersangkutan.

  7. SKTJM sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) oleh Kepala Unit Kerja/Kepala Satuan Kerja disampaikan kepada :

    1. Badan Pemeriksa Keuangan;

    2. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;

    3. Inspektur Jenderal;

    4. Sekretaris Jenderal; dan

    5. Kuasa Pengguna Anggaran.

  8. Apabila penggantian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan dengan cara angsuran melalui pemotongan gaji dan atau penghasilan lainnya dari yang bersangkutan, maka besarnya potongan gaji atau penghasilan lainnya yang dapat dilakukan yaitu sebesar :

    1. maksimal 30% (tiga puluh persen) dari gaji pokok ditambah tunjangan-tunjangan (dari penghasilan kotor) untuk yang tidak atau yang belum kawin;

    2. maksimal 25% (dua puluh lima persen) dari gaji pokok ditambah tunjangan-tunjangan (dari penghasilan kotor) untuk yang telah berkeluarga;

    3. minimal 1/24 (satu per dua puluh empat) dari kerugian negara yang ditimbulkan, pada pembebanan pertama sisanya dijadwalkan selama 24 bulan yang disepakati oleh pegawai yang bersangkutan, dan apabila penyelesaian upaya damai dilakukan berupa pembayaran uang tunai, maka uang tersebut harus disetorkan oleh Bendahara atau pejabat penerima ke rekening Kas Negara dengan disertai bukti penyetoran; atau

    4. dalam hal tidak memungkinkan untuk dilakukan pemotongan gaji sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, maka diperlukan adanya jaminan sebagaimana dimaksud Pasal 62 ayat (1).

Pasal 65

  1. Terhadap jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dibuat daftar barang-barang yang dijaminkan di atas Surat Kuasa bematerai cukup dengan mencakup semua jenis, lokasi dan surat-surat pemilikan atau surat bukti hak atas barang tersebut dapat berupa pendapatan yang sudah pasti akan diterima oleh yang bersangkutan.

  2. Dalam hal jaminan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) tidak cukup, maka dapat ditutup dengan jaminan harta kekayaan orang lain yang dinyatakan dengan surat kesanggupan dari orang yang mempunyai harta kekayaan tersebut sehingga nilai kerugian negara dapat dipenuhi.

  3. Surat kesanggupan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus disertai pemberian kuasa kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (4) atau barang-barang dijaminkan dalam pernyataan kesanggupan.

Pasal 66

  1. Pelaksanaan penyerahan benda/barang jaminan dapat dilakukan dengan cara:

    1. penyerahan penuh yaitu penyerahan benda/barang lengkap dengan surat-surat bukti hak kepemilikannya; atau

    2. penyerahan surat-surat bukti hak kepemilikannya, sedangkan bendanya masih dikuasai oleh pemiliknya dan untuk itu perlu diikuti dengan Surat Kuasa Penyerahan Hak sebagai jaminan.

  2. Dalam hal benda jaminan berupa surat berharga atau benda berharga yang dapat disimpan dalam brankas, maka penyimpanannya diserahkan kepada Bendahara yang telah ditunjuk untuk dapat dilakukan pemotongan gaji yang bersangkutan.

  3. Dalam hal benda/barang jaminan berupa benda bergerak lainnya, penyimpanannya diserahkan kepada Bendahara yang telah ditunjuk.

  4. Bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) bertanggung jawab atas penyimpanan benda-benda/barang-barang jaminan untuk menjaga nilai benda/barang tersebut tidak berkurang.

Pasal 67

1

Terhadap penyimpanan benda-benda/barang-barang atau uang tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan Pasal 64 Bendahara atau Pejabat Penerima wajib menyelenggarakan administrasi dengan cara antara lain :

  1. membuat Berita Acara Penerimaan;

  2. membukukan penyimpanan; dan

  3. melaporkan penyimpanan dan penerimaan serta keadaan benda-benda jaminan tersebut kepada Atasan Langsungnya dengan dilampiri Berita Acara.

Pasal 68

  1. Bendahara yang telah ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (6) huruf c wajib melakukan tagihan-tagihan sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam SKTJM serta harus malaporkannya kepada Menteri Komunikasi dan Informatika melalui Pimpinan Unit Eselon I/Kepala Satuan Kerja/Kepala Unit Kerja.

  2. Dalam hal pegawai yang menandatangani SKTJM tidak memenuhi kesanggupan, maka Bendahara melaporkan secara tertulis tentang tidak terpenuhinya kesanggupan tersebut disertai dengan sebab dan alasannya kepada Menteri melalui Pimpinan Unit Eselon I/Kepala Satuan Kerja/Kepala Unit Kerja dengan tembusannya disampaikan kepada :

    1. Sekretaris Jenderal;

    2. Inspektur Jenderal;

    3. atasan langsung pegawai yang bersangkutan;

Pasal 69

Dalam hal ternyata bahwa kesanggupan yang telah dinyatakan dalam SKTJM tidak dipenuhi dalam waktu sebagaimana telah ditentukan, maka penjualan benda/barang jaminan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 70

Apabila pegawai yang menyebabkan kerugian negara sampai tiga kali penagihan belum memenuhi kewajibannya, maka pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (4) dan ayat (5) membatalkan SKTJM yang telah dibuat dan terhadap pegawai yang bersangkutan dilakukan proses TKN.

Pasal 71

  1. Dalam hal kerugian negara yang dibebankan kepada pegawai yang menandatangani SKTJM belum lunas, sedangkan yang bersangkutan akan menjalani pensiun, maka Bendahara memberitahukan kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara dan Perum Taspen agar dapat dilakukan penagihan/pemotongan atas sisa hutang tersebut.

  2. Dalam hal kerugian negara yang dibebankan kepada pegawai yang menyebabkan kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum lunas, sedangkan yang bersangkutan meninggal dunia, maka pejabat yang menandatangani SKTJM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (4) dan ayat (5) segera memberitahukan kepada ahli waris tentang masih adanya sisa hutang tersebut berikut persyaratannya.

BAB VII

KADALUWARSA

Pasal 72

Kewajiban Bendahara, Pegawai Negeri Sipil bukan Bendahara, atau pejabat lain untuk membayar ganti rugi, menjadi kadaluwarsa jika dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut atau dalam waktu 8 (delapan) tahun sejak terjadinya kerugian tidak dilakukan penuntutan ganti rugi terhadap yang bersangkutan.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 73

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor : 21/P/M.KOMINFO/8/2006 Tentang Penyelesaian Kerugian Negara di Lingkungan Departemen Komunikasi dan Informatika dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 74

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 29 Maret 2013

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

TIFATUL SEMBIRING



Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 7 Mei 2013

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

AMIR SYAMSUDIN


Meta Keterangan
Tipe Dokumen Peraturan Perundang-undangan
Judul Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 18 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Kerugian Negara di Lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika
T.E.U. Badan/Pengarang Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika
Nomor Peraturan 18
Jenis / Bentuk Peraturan Peraturan Menteri
Singkatan Jenis/Bentuk Peraturan PERMEN
Tempat Penetapan Jakarta
Tanggal-Bulan-Tahun Penetapan/Pengundangan 29-03-2013  /  07-05-2013
Sumber

BN (683) : 32 hlm.

Subjek KERUGIAN NEGARA – KEMKOMINFO - PENYELESAIAN
Status Peraturan Tidak Berlaku

Keterangan

Dicabut

PERMENKOMINFO No. 18 Tahun 2018

Bahasa Indonesia
Lokasi BIRO HUKUM
Bidang Hukum -
Lampiran