Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 7 Tahun 2016 tentang Administrasi Penyidikan dan Penindakan Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik

menimbang

  1. bahwa berdasarkan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;

  2. bahwa berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Penyidikan terhadap tindak pidana Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana dan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

  3. bahwa dalam rangka melaksanakan tugas dan tanggung jawab serta kewenangan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diperlukan suatu pengaturan administratif dalam melaksanakan penyidikan dan penindakan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;

  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Administrasi Penyidikan dan Penindakan Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;

mengingat

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);

  2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168);

  3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401);

  4. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843);

  5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);

  6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 189, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5348);

  7. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Teknis terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk-bentuk Pengamanan Swakarsa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5298);

  8. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 1 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Komunikasi dan Informatika;

menetapkan

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG ADMINISTRASI PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yang selanjutnya disingkat PPNS adalah Pegawai Negeri Sipil dalam lingkup Kementerian Komunikasi dan Informatikayang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan tindak pidana Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

  2. Pejabat Penyidik Kepolisian Republik Indonesia yang selanjutnya disebut sebagai Penyidik Polri adalah Pejabat Kepolisian Republik Indonesia yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

  3. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

  4. Atasan PPNS adalah PPNS yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Aplikasi Informatika dan secara fungsional membawahi dan mengkoordinir PPNS yang ditugaskan menangani tindak pidana Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.

  5. Tindak Pidana Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yang selanjutnya disebut Tindak Pidana adalah setiap perbuatan yang diancam pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

  6. Penelitian Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Penelitian adalah serangkaian tindakan PPNS untuk memeriksa kebenaran laporan atau pengaduan atau keterangan dalam rangka mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai Tindak Pidana melalui kegiatan pengamatan, tindakan teknis, dan tindakan lain sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan lingkup tugas dan wewenangnya.

  7. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

  8. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

  9. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.

  10. Alat Bukti Elektronik adalah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang digunakan sebagai alat bukti dalam peradilan Tindak Pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

  11. Ahli Forensik Sistem Elektronik yang selanjutnya disingkat AFSE adalah orang yang karena keahliannya di bidang forensik Sistem Elektronik ditugaskan oleh atasannya berdasarkan permintaan, atau diminta oleh PPNS untuk melakukan forensik terhadap Sistem Elektronik.

  12. Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum.

  13. Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku Tindak Pidana.

  14. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan Penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialami sendiri.

  15. Ahli adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus di bidang tertentu terkait Tindak Pidana yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis maupun praktis mengenai pengetahuannya tersebut.

  16. Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.

  17. Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.

  18. Laporan Kejadian adalah laporan tertulis yang dibuat oleh petugas tentang adanya suatu peristiwa yang diduga sebagai Tindak Pidana, baik yang ditemukan sendiri maupun melalui Laporan atau Pengaduan.

  19. Tertangkap Tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan Tindak Pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat setelah Tindak Pidana itu dilakukan atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya diketemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan Tindak Pidana atau yang merupakan hasil Tindak Pidana dan menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan Tindak Pidana itu.

  20. Tempat Kejadian Perkara yang selanjutnya disingkat TKP adalah tempat dimana suatu Tindak Pidana dilakukan/terjadi dan tempat-tempat lain, dimana Tersangka dan/atau korban dan/atau barang bukti yang berhubungan dengan Tindak Pidana tersebut dapat ditemukan.

  21. Pemanggilan adalah tindakan untuk menghadirkan Saksi, Ahli, atau Tersangka guna didengar keterangannya sehubungan dengan Tindak Pidana yang terjadi berdasarkan Laporan Kejadian.

  22. Pemeriksaan adalah kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan, dan keidentikan Tersangka, Saksi, Ahli, dan/atau barang bukti, maupun tentang unsur-unsur Tindak Pidana yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti di dalam Tindak Pidana tersebut menjadi jelas dan dituangkan dalam berita acara Pemeriksaan.

  23. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan Tersangka atau terdakwa, apabila terdapat cukup bukti serta ketentuan hukum guna kepentingan Penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

  24. Penahanan adalah penempatan Tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau Penuntut Umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

  25. Penggeledahan Rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan/atau tempat tertutup lainnya guna melakukan Pemeriksaan dan/atau Penyitaan barang bukti dan/atau Penangkapan Tersangka dalam hal-hal menurut cara-cara yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

  26. Penggeledahan Badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan Pemeriksaan badan atau pakaian Tersangka guna mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita.

  27. Penggeledahan Sistem Elektronik adalah tindakan PPNS untuk mengakses Sistem Elektronik dan melakukan Pemeriksaan terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

  28. Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan dibawah penguasaannya terhadap benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam Penyidikan, Penuntutan, dan peradilan.

  29. Penyitaan Sistem Elektronik adalah serangkaian tindakan PPNS untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya atas Sistem Elektronik, dan/atau untuk menyalin Informasi Elektronik, dan/atau Dokumen Elektronik untuk kepentingan Penyidikan.

  30. Gelar Perkara adalah kegiatan PPNS untuk memaparkan perkara dan tindakan yang akan, sedang, dan telah dilakukan Penyidikan, guna memperoleh kesimpulan.

  31. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

  32. Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

  33. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.

  34. Direktur Jenderal adalah direktur jenderal yang ruang lingkup tugas dan fungsinya membidangi aplikasi informatika.

Pasal 2

Administrasi Penyidikan dan Penindakan Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pasal 3

Administrasi Penyidikan dan Penindakan Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik ditetapkan dengan tujuan untuk:

  1. memberikan pedoman bagi PPNS dalam pelaksanaan Penyidikan dan penindakan Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik maupun koordinasi dengan pihak terkait baik internal maupun eksternal; dan

  2. terwujudnya pelaksanaan Penyidikan dan penindakan yang bersinergi dan profesional antara PPNS dengan pihak yang terkait.

Pasal 4

Ruang lingkup Peraturan Menteri ini terdiri atas:

  1. kedudukan dan lingkup tugas dan tanggung jawab PPNS;

  2. Pemeriksaan kebenaran Laporan atau Pengaduan atau keterangan;

  3. Penyidikan dan penindakan oleh PPNS; dan

  4. koordinasi eksternal.

Pasal 5

  1. PPNS berada di bawah pembinaan Menteri melalui Direktur Jenderal.

  2. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, PPNS di bawah koordinasi Atasan PPNS.

  3. Atasan PPNS diangkat dan diberhentikan oleh Direktur Jenderal.

  4. Atasan PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang untuk mengorganisir sumber daya yang meliputi:

    1. personil PPNS;

    2. sarana dan prasarana;

    3. anggaran; dan

    4. sumber daya lain yang relevan.

Pasal 6

  1. Atasan PPNS harus memiliki status sebagai PPNS berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  2. Atasan PPNS berwenang menugaskan PPNS yang tidak berada langsung di bawah unit organisasinya untuk melakukan Penelitian dan/atau Penyidikan dan penindakan Tindak Pidana.

  3. Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Atasan PPNS harus berkoordinasi dengan atasan langsung dari personil PPNS yang akan ditugaskannya.

  4. Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara tertulis.

Pasal 7

PPNS berwenang:

  1. menerima Laporan atau Pengaduan atau keterangan dari seseorang tentang adanya Tindak Pidana;

  2. memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk didengar dan/atau diperiksa sebagai Tersangka atau Saksi sehubungan dengan adanya dugaan Tindak Pidana;

  3. melakukan Pemeriksaan atas kebenaran Laporan atau Pengaduan atau keterangan berkenaan dengan Tindak Pidana;

  4. melakukan Pemeriksaan terhadap Orang dan/atau badan usaha yang patut diduga melakukan Tindak Pidana;

  5. melakukan Pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk melakukan Tindak Pidana;

  6. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan Tindak Pidana;

  7. melakukan penyegelan dan Penyitaan terhadap alat dan/atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan dan merupakan Tindak Pidana;

  8. meminta bantuan Ahli yang diperlukan dalam Penyidikan dan penindakan terhadap Tindak Pidana; dan/atau

  9. mengadakan penghentian Penyidikan Tindak Pidana

Pasal 8

Pemeriksaan kebenaran Laporan atau Pengaduan atau keterangan dilaksanakan atas dasar:

  1. hasil temuan dari petugas; dan/atau

  2. Laporan atau Pengaduan masyarakat, yang dapat diajukan secara tertulis, elektronik, maupun lisan.

Pasal 9

PPNS menerima Laporan atau Pengaduan dari masyarakat melalui:

  1. pelayanan penerimaan Laporan atau Pengaduan Tindak Pidana di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika;

  2. situs internet Kementerian Komunikasi dan Informatika;

  3. telepon layanan Laporan dan Pengaduan;

  4. surat elektronik (electronic mail) yang dialamatkan ke cybercrimes@mail. kominfo.go.id; dan/atau

  5. surat melalui pos yang dialamatkan ke kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Pasal 10

  1. PPNS harus meminta dan menerima bukti identitas yang sah dari masyarakat yang memberikan Laporan atau menyampaikanPengaduan.

  2. PPNS harus memeriksa bukti identitas yang disampaikan.

  3. Dalam hal masyarakat tidak menyerahkan bukti identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau bukti identitasnya tidak sah, PPNS berwenang untuk tidak menindaklanjuti Laporan atau Pengaduan yang dimaksud.

Pasal 11

  1. Laporan atau Pengaduan masyarakat mengenai adanya Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b ditulis dalam Laporan Kejadian.

  2. Terhadap masyarakat yang memberikan Laporan atau menyampaikan Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b diberikan tanda bukti penerimaan Laporan Kejadian.

Pasal 12

  1. Laporan Kejadian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilaporkan kepada Atasan PPNS dan dicatat dalam registrasi penerimaan Laporan Kejadian.

  2. Laporan Kejadian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), berisikan uraian singkat mengenai pihak yang memberikan Laporan atau menyampaikan Pengaduan dan peristiwa yang terjadi atau dugaan terjadinya Tindak Pidana, serta dapat dilengkapi Saksi dan/atau barang bukti.

  3. Atasan PPNS, setelah menerima Laporan Kejadian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat menerbitkan:

    1. surat perintah Penelitian, dalam hal Atasan PPNS menyimpulkan bahwa terhadap Laporan Kejadian diperlukan informasi, Saksi, atau barang bukti lebih lanjut; atau

    2. surat perintah Penyidikan dan memberi petunjuk mengenai pelaksanaan Penyidikan, dalam hal Atasan PPNS menyimpulkan bahwa Laporan Kejadian dapat ditindaklanjuti ke tahap Penyidikan.

Pasal 13

Pemeriksaan Laporan atau Pengaduan atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, dilaksanakan oleh pegawai yang ditunjuk dan dalam melaksanakan kegiatannya didasarkan pada tugas dan fungsinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 14

  1. Atasan PPNS berwenang membuat jadwal piket dan menentukan PPNSatau pegawai yang ditugaskan untuk menerima Laporan atau Pengaduan.

  2. PPNS atau pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencatat setiap Laporan atau Pengaduan, kemudian meneruskannya kepada Atasan PPNS.

  3. Atasan PPNS dapat melakukan analisis terhadap Laporan atau Pengaduan yang telah diteruskan kepadanya.

Pasal 15

  1. Atasan PPNS dapat membentuk tim untuk meneliti atau memeriksa kebenaran Laporan atauPengaduan atau keterangan tentang keberadaan peristiwa yang diduga sebagai Tindak Pidana.

  2. Dalam rangka membentuk tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Atasan PPNS mengeluarkan surat perintah Penelitian dan menentukan anggota tim peneliti untuk melaksanakan Penelitian tersebut.

  3. Tim peneliti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang:

    1. mengundang Orang yang terkait dengan Laporan atau Pengaduan;

    2. meminta keterangan dari Orang yang terkait dengan Laporan atau Pengaduan;

    3. menggunakan barang atau alat yang dipandang dapat mengungkap ada atau tidaknya Tindak Pidana dari Orang yang terkait dengan Laporan atau Pengaduan, berdasarkan persetujuannya;

    4. menyalin Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik dari Sistem Elektronik yang diserahkan Orang yang terkait dengan Laporan atau Pengaduan berdasarkan persetujuannya; dan/atau

    5. meminta informasi dan/atau bantuan kepada pemilik Informasi Elektronik dan/atau pengelola Sistem Elektronik untuk melakukan pengamanan data elektronik dan Sistem Elektronik yang terkait dengan Laporan atau Pengaduan.

Pasal 16

  1. Tim peneliti wajib menyusun hasil penelitiannya terhadap kebenaran suatu Laporan atau Pengaduan.

  2. Dalam hal diperlukan, tim peneliti dapat melakukan Gelar Perkara baik secara internal maupun eksternal sebelum hasil penelitiannya disampaikan kepada Atasan PPNS.

  3. Gelar Perkara internal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan antara tim peneliti, PPNS, dan Atasan PPNS.

  4. Gelar Perkara eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melibatkan Penyidik Polri dan/atau Ahli di bidangnya.

  5. Dalam hal tim peneliti menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa tidak ditemukan adanya peristiwa yang diduga sebagai Tindak Pidana pada Laporan atau Pengaduan yang disampaikan, penanganan Laporan atau Pengaduan tidak dilanjutkan.

  6. Atasan PPNS menerbitkan surat perintah penghentian Penelitian terhadap hasil penelitian tim peneliti sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

  7. Dalam hal diperlukan, Atasan PPNS dapat memerintahkan Penelitian ulang terhadap hasil Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan membentuk tim peneliti baru berdasarkan surat perintah Penelitian.

Pasal 17

  1. Dalam hal Pemeriksaan Laporan atau Pengaduan atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memerlukan Pemeriksaan TKP, maka tindakan yang dapat dilakukan adalah:

    1. pengamanan TKP;

    2. penanganan TKP; dan

    3. pengolahan TKP.

  2. Pelaksanaan pengamanan, penanganan, dan pengolahan TKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Dalam hal pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membutuhkan tindakan taktis dan teknis di TKP, PPNS dapat meminta bantuan kepada Penyidik Polri dan/atau Ahli di bidangnya.

Pasal 18

  1. Dalam hal Tertangkap Tangan, PPNS tanpa surat perintah, berwenang melakukan tindakan:

    1. membuat Laporan Kejadian;

    2. melakukan olah TKP;

    3. melakukan proses Penyidikan dan penindakan serta berkoordinasi dengan Penyidik Polri;

    4. melakukan Penangkapan dan mengamankan barang bukti yang ada;

    5. memasuki rumah, pekarangan, atau ruangan;

    6. melakukan Penyitaan benda, alat, dan/atau Sistem Elektronik yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan Tindak Pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti;

    7. melakukan Penyitaan terhadap paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan, atau perusahaan komunikasi, atau pengangkutan, sepanjang paket, surat, atau benda tersebut diperuntukkan bagi Tersangka atau yang berasal dari padanya dan untuk itu kepada Tersangka dan/atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan,atau perusahaan komunikasi, atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan.

  2. Dalam hal PPNS melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPNS yang bersangkutan harus melaporkannya kepada Atasan PPNS.

Pasal 19

  1. Bentuk kegiatan dalam proses Penyidikan dan penindakan oleh PPNS meliputi:

    1. pengorganisasian rencana Penyidikan;

    2. pemberitahuan dimulainya Penyidikan;

    3. pengolahan TKP;

    4. Pemanggilan;

    5. Penangkapan;

    6. Penahanan;

    7. penggeledahan;

    8. Penyitaan;

    9. Pemeriksaan;

    10. bantuan hukum;

    11. penyelesaian berkas perkara;

    12. pelimpahan perkara;

    13. penghentian Penyidikan;

    14. administrasi Penyidikan;

    15. pelimpahan Penyidikan; dan

    16. tindakan lain yang sah menurut peraturan perundang-undangan.

  2. Urutan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan situasi kasus yang sedang dilakukan Penyidikan.

  3. PPNS dapat mengikutsertakan Ahli dalam proses Penyidikan dan penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memberikan bantuan teknis sesuai keahliannya.

Pasal 20

Pengorganisasian rencana Penyidikan dan penindakan oleh PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a, dibuat dengan menentukan:

  1. sasaran Penyidikan dan penindakan;

  2. sumber daya yang dilibatkan;

  3. cara bertindak;

  4. waktu yang akan digunakan; dan

  5. pengendalian Penyidikan dan penindakan.

Pasal 21

  1. Sasaran Penyidikan dan penindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a, sekurang-kurangnya memuat:

    1. orang yang diduga melakukan Tindak Pidana;

    2. Tindak Pidana;

    3. unsur-unsur pasal yang akan diterapkan; dan

    4. alat bukti serta barang bukti.

  2. Sumber daya yang dilibatkan dalam Penyidikan dan penindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, antara lain penyiapan:

    1. tim pelaksana Penyidikan yang mempunyai otoritas, kompetensi, dan integritas;

    2. sarana dan prasarana;

    3. anggaran yang diperlukan; dan

    4. kelengkapan Perangkat Keras dan/atau Perangkat Lunak.

  3. Cara bertindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c meliputi teknis dan prosedur kegiatan Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.

  4. Penentuan waktu yang digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf d ditetapkan dengan memperhatikan kegiatan Penyidikan dan penindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.

  5. Pengendalian Penyidikan dan penindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf e meliputi:

    1. penyiapan administrasi Penyidikan;

    2. penyiapan kontrol Penyidikan dan penindakan oleh PPNS yang berisi antara lain:

      1. penyusunan jadwal dan materi supervisi dan/atau asistensi;

      2. penyusunan jadwal evaluasi kegiatan perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan; dan/atau

      3. pembuatan laporan kegiatan Penyidikan dan penindakan dan data penyelesaian kasus.

Pasal 22

Pengorganisasian rencana Penyidikan dan penindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 yang dibuat oleh PPNS sebelum dilakukan kegiatan Penyidikan dan penindakan, diajukan kepada Atasan PPNS dalam rangka pengendalian perkara.

Pasal 23

  1. Pelaksanaan Penyidikan dan penindakan oleh PPNS diperlukan pengorganisasian sumber daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf (b) terdiri dari:

    1. personil PPNS;

    2. Ahli;

    3. sarana dan prasarana;

    4. anggaran;

    5. peraturan; dan

    6. Perangkat Keras dan/atau Perangkat Lunak.

  2. Pelaksanaan pengorganisasian sumber daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Atasan PPNS berdasarkan hubungan dan tata kerja organisasi di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Pasal 24

Pengorganisasian sumber daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dapat didasarkan pada pertimbangan atau aspek sebagai berikut:

  1. Saksi, antara lain:

    1. jumlah Saksi yang melihat, mendengar, dan mengetahui secara langsung peristiwa yang terjadi;

    2. tempat tinggal Saksi,

  2. kesesuaian antara keterangan para Saksi, keterangan Tersangka, dan barang bukti yang ditemukan;

  3. Tersangka, antara lain:

    1. Tersangka tertangkap tangan atau menyerahkan diri;

    2. kemudahan untuk menentukan keberadaan dan identitas Tersangka;

    3. kemudahan memperoleh keterangan Tersangka;

    4. jumlah Tersangka; dan

    5. kesehatan Tersangka secara jasmani dan rohani,

  4. TKP, antara lain:

    1. kemudahan untuk menjangkau dan mengolah TKP;

    2. keutuhan TKP, dan

  5. barang bukti, antara lain:

    1. kemudahan untuk memperoleh barang bukti;

    2. tingkat kemudahan pengamanan serta penanganan barang bukti dan Pemeriksaan forensik terhadap barang bukti.

Pasal 25

  1. Atasan PPNS mengeluarkan surat perintah Penyidikan dan menetapkan PPNS yang bertugasuntuk melaksanakan Penyidikan.

  2. PPNS berkoordinasi dengan Penyidik Polri memberitahukan dimulainya Penyidikan dan menyampaikan hasilnya kepada Penuntut Umum.

  3. PPNS yang ditugaskan oleh Atasan PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat rencana Penyidikan dan penindakan dan menyampaikannya kepada Atasan PPNS.

Pasal 26

  1. Atasan PPNS mengeluarkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) untuk disampaikan kepada Kejaksaan Republik Indonesia melalui Penyidik Polri.

  2. Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan:

    1. Laporan Kejadian;

    2. surat perintah Penyidikan; dan

    3. resume perkara.

  3. Dalam hal PPNS belum menetapkanTersangka, identitas yang disebutkan pada Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP)dan dianggap sebagai nama Tersangka adalah ANONIM.

Pasal 27

  1. Dalam melakukan Penyidikan, PPNS berkoordinasi dengan Penyidik Polri yang berwenang terkait dengan pelaksanaan bantuan teknis Penyidikan.

  2. Dalam melakukan Penyidikan dan penindakan, PPNS dapat berkonsultasi dengan Penuntut Umum yang berwenang terkait dengan aturan Tindak Pidana yang digunakan dalam Penyidikan dan bukti yang diperlukan untuk kepentingan Penuntutan.

Pasal 28

  1. Sebelum penyampaian Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), PPNS dapat memberitahukan dimulainya Penyidikan secara lisan atau telepon, surat elektronik (electronic mail), atau pesan singkat kepada Penyidik Polri guna menyiapkan bantuan Penyidikan yang sewaktu-waktu diperlukan PPNS.

  2. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat penjelasan singkat mengenai kejadian Tindak Pidana atau pelanggaran, identitas pelaku atau Tersangka, dan barang bukti.

Pasal 29

  1. Dalam hal penanganan kasus memerlukan pengolahan TKP, tindakan yang dilakukan oleh PPNS yaitu:

    1. mencari keterangan, petunjuk, barang bukti, serta identitas Tersangka dan/atau korban maupun Saksi untuk kepentingan Penyidikan dan penindakan selanjutnya; dan

    2. Tindakan yang dilakukan oleh PPNS dalam pengolahan TKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dimasukkan dalam berita acara Pemeriksaan di TKP.

  2. Tindakan yang dilakukan oleh PPNS dalam pengolahan TKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dimasukkan dalam berita acara Pemeriksaan di TKP.

Pasal 30

Pemanggilan terhadap Saksi atau Tersangka dilaksanakan dengan ketentuan:

  1. surat panggilan ditandatangani oleh Atasan PPNS selaku penyidik;

  2. penyampaian surat panggilan dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh PPNS yang bersangkutan dengan memperlihatkan tanda pengenal dan disertai dengan tanda bukti penerimaan;

  3. surat panggilan sudah diterima oleh yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum tanggal kehadiran yang ditentukan;

  4. surat panggilan wajib diberi nomor sesuai ketentuan registrasi instansi PPNS;

  5. dalam hal Saksi atau Tersangka sedang tidak berada di tempat maka surat panggilan dapat diberikan kepada keluarga, pengacaranya, atau kepada mereka yang dianggap dapat menjamin bahwa surat panggilan itu akan disampaikan;

  6. dalam hal Saksi atau Tersangka yang dipanggil tidak dapat memenuhi panggilan dengan alasan yang wajar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka PPNS dapat datang ke tempat kediamannya untuk melakukan Pemeriksaan;

  7. dalam hal pemanggilan pertama tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, dilakukan pemanggilan kedua dan dapat disertai surat perintah membawa, yang administrasinya dibuat oleh PPNS;

  8. dalam hal membawa Tersangka dan/atau Saksi, PPNS dapat meminta bantuan kepada Penyidik Polri yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara bersama-sama serta dibuat berita acara;

  9. untuk pemanggilan terhadap Tersangka dan/atau Saksi warga negara Indonesia yang berada di luar negeri dimintakan bantuan melalui Penyidik Polri kepada perwakilan negara Republik Indonesia dimana Tersangka dan/atau Saksi berada.

Pasal 31

  1. Permintaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf h, dibuat secara tertulis dengan melampirkan surat panggilan yang telah dibuat oleh PPNS.

  2. Sebelum PPNS meminta bantuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permintaan dapat didahului secara lisan dengan menyebutkan/menjelaskan kasus dan identitas seseorang yang akan dipanggil dengan status sebagai Tersangka atau Saksi.

Pasal 32

  1. PPNS memiliki kewenangan melakukan Penangkapan dalam hal Tertangkap Tangan.

  2. Dalam hal diperlukan upaya hukum Penangkapan selain yang dimaksud pada ayat (1), PPNS meminta bantuan kepada Penyidik Polri dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. surat permintaan bantuan Penangkapan ditujukan kepada pejabat yang mempunyai fungsi Reserse Kriminal (Reskrim) Polri setempat dengan melampirkan Laporan Kejadian dan laporan kemajuan Penyidikan perkara;

    2. sebelum PPNS meminta bantuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a, permintaan dapat didahului secara lisan dengan menyebutkan/menjelaskan kasus dan identitas Tersangka;

    3. surat permintaan bantuan Penangkapan memuat:

      1. identitas Tersangka;

      2. uraian singkat kasus yang terjadi;

      3. pasal yang dilanggar; dan

      4. pertimbangan perlunya dilakukan penangkapan,

    4. surat permintaan bantuan Penangkapan ditandatangani oleh Atasan PPNS selaku penyidik;

    5. dalam pelaksanaan Penangkapan dilakukan oleh Penyidik Polri dengan mengikutsertakan PPNS yang bersangkutan;

    6. administrasi Penyidikan dan penindakan kegiatan bantuan Penangkapan, dibuat oleh Penyidik Polri; dan

    7. dalam hal melakukan Penangkapan sebagaimana dimaksud pada huruf e, Penyidik Polri wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat sesuai UU ITE.

Pasal 33

  1. Penyerahan Tersangka dari Penyidik Polri kepada PPNS, wajib dituangkan dalam bentuk berita acara.

  2. Tersangka yang ditangkap dan setelah dilakukan Pemeriksaan, ternyata tidak terbukti, maka tidak dilakukan Penahanan, sehingga wajib dilepas dengan surat perintah pelepasan dan diserahkan kepada keluarga atau kuasa hukumnya dengan dibuatkan berita acara.

Pasal 34

  1. Dalam hal diperlukan upaya hukum Penahanan, PPNS meminta bantuan kepada Penyidik Polri dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. surat permintaan bantuan Penahanan ditujukan kepada pejabat yang mempunyai fungsi Reserse Kriminal (Reskrim) Polri setempat dengan melampirkan Laporan Kejadian dan laporan kemajuan Penyidikan perkara;

    2. sebelum PPNS meminta bantuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a, permintaan dapat didahului secara lisan dengan menyebutkan/menjelaskan kasus dan identitas Tersangka;

    3. surat permintaan bantuan Penahanan memuat:

      1. identitas Tersangka;

      2. uraian singkat kasus yang terjadi;

      3. pasal yang dilanggar beserta ancaman hukumannya; dan

      4. pertimbangan perlunya dilakukan penahanan,

    4. surat permintaan bantuan Penahanan ditandatangani oleh Atasan PPNS selaku penyidik;

    5. pelaksanaan Penahanan dilakukan oleh Penyidik Polri;

    6. dalam hal melakukan Penahanan sebagaimana dimaksud pada huruf e, Penyidik Polri wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat sesuai UU ITE;

    7. PPNS dalam melakukan Penyidikan agar memperhatikan batas waktu Penahanan; dan

    8. dalam hal PPNS memerlukan perpanjangan waktu Penahanan untuk kepentingan Penyidikan, mengajukan surat permintaan bantuan perpanjangan Penahanan kepada Penyidik Polri sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari sebelum batas waktu Penahanan berakhir.

  2. Dalam hal PPNS memerlukan perpanjangan waktu Penahanan untuk kepentingan Penyidikan, mengajukan surat permintaan bantuan perpanjangan Penahanan kepada Penyidik Polri sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari sebelum batas waktu Penahanan berakhir.

Pasal 35

Dalam hal Tersangka yang ditahan dalam keadaan sakit dan berdasarkan surat keterangan dokter Tersangka perlu dirawat di rumah sakit maka tindakan Penyidik Polri sebagai berikut:

  1. Penahanan dapat dibantar;

  2. apabila dibantar, Penyidik Polri wajib membuat surat perintah pembantaran dan berita acaranya;

  3. setelah selesai dirawat berdasarkan keterangan dokter, pembantaran dicabut yang dilengkapi dengan surat perintah pencabutan pembantaran dan berita acaranya;

  4. dalam hal Tersangka dilanjutkan Penahanannya, dilengkapi dengan surat perintah Penahanan lanjutan dan berita acaranya; dan

  5. lama pembantaran tidak dihitung sebagai waktu Penahanan.

Pasal 36

  1. Untuk kepentingan Penyidikan, PPNS dapat melakukan Penggeledahan Rumah, penggeledahan pakaian, Penggeledahan Badan, atau Penggeledahan Sistem Elektronik.

  2. Penggeledahan Rumah, penggeledahan pakaian, atau Penggeledahan Badan harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  3. Penggeledahan Sistem Elektronik terkait dengan dugaan Tindak Pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat.

Pasal 37

  1. Dalam hal diperlukan upaya hukum Penggeledahan Rumah dan/atau tempat tertutup lainnya serta Sistem Elektronik, PPNS melakukan penggeledahan sesuai dengan hukum acara pidana, dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. surat permintaan izin penggeledahan kepada ketua pengadilan negeri setempat dibuat oleh PPNS dengan tembusan Penyidik Polri;

    2. surat permintaan izin sebagaimana dimaksud pada huruf a disampaikan dengan melampirkan, antara lain:

      1. Laporan Kejadian;

      2. surat perintah Penyidikan;

      3. surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan;

      4. laporan kemajuan Penyidikan,

    3. sebelum surat permintaan izin penggeledahan dikirim kepada ketua pengadilan negeri setempat, PPNS dapat meminta pertimbangan kepada Penyidik Polri tentang alasan perlunya dilakukan penggeledahan;

    4. surat permintaan izin penggeledahan sebagaimana dimaksud pada huruf b, ditandatangani oleh Atasan PPNS selaku penyidik;

    5. setelah surat izin penggeledahan dikeluarkan oleh ketua pengadilan negeri setempat, PPNS mengeluarkan surat perintah penggeledahan yang ditandatangani oleh Atasan PPNS selaku penyidik;

    6. penggeledahan diusahakan untuk dilakukan pada waktu siang hari;

    7. dalam hal melakukan Penggeledahan Rumah atau Sistem Elektronik, penyidik harus menujukkan tanda pengenalnya terlebih dahulu;

    8. setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang Saksi dalam hal Tersangka atau penghuni menyetujuinya;

    9. setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang Saksi, dalam hal Tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir;

    10. dalam waktu dua hari setelah memasuki dan/atau menggeledah rumah atau Sistem Elektronik, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan;

    11. berita acara harus dibacakan terlebih dahulu oleh PPNS kepada yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatangani baik oleh PPNS maupun pemilik atau penghuni rumah atau tempat yang digeledah, atau pemilik atau penguasa Sistem Elektronik yang digeledah, dan/atau kepala desa, ketua RT/RW, atau tetangga dengan 2 (dua) orang Saksi;

    12. dalam hal pemilik atau penghuni rumah atau tempat yang digeledah, atau pemilik atau penguasa Sistem Elektronik yang digeledah tidak bersedia membubuhkan tanda tangan, PPNS mencatat hal tersebut dalam berita acara dengan menyebutkan alasannya.

  2. Dalam rangka menjaga keamanan dan ketertiban Penggeledahan Rumah atau Sistem Elektronik, PPNS dapat mengadakan atau meminta bantuan Penyidik Polri untuk penjagaan atau penutupan sementara terhadap tempat yang bersangkutan.

  3. Dalam rangka melaksanakan penyegelan dan Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf g, PPNS dapat meminta bantuan AFSE.

Pasal 38

Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana PPNS harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan ayat 4 huruf j, PPNS dapat melakukan penggeledahan terhadap Sistem Elektronik dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Pasal 39

  1. Untuk kepentingan Penyidikan, PPNS dapat melakukan Penyitaan.

  2. Penyitaan terhadap Sistem Elektronik terkait dengan dugaan Tindak Pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat.

Pasal 40

  1. Dalam hal diperlukan upaya hukum Penyitaan, PPNS melakukan Penyitaan sesuai dengan hukum acara pidana, dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. surat permintaan izin Penyitaan kepada ketua pengadilan negeri setempat dibuat oleh PPNS dengan tembusan Penyidik Polri, dengan melampirkan:

      1. Laporan Kejadian;

      2. surat perintah Penyidikan;

      3. surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan;

      4. laporan kemajuan Penyidikan,

    2. surat permintaan izin Penyitaan sebagaimana dimaksud pada huruf a, ditandatangani oleh Atasan PPNS selaku penyidik;

    3. sebelum surat permintaan izin Penyitaan dikirim kepada ketua pengadilan negeri setempat, PPNS dapat meminta pertimbangan kepada Penyidik Polri tentang alasan perlunya dilakukan Penyitaan;

    4. setelah surat izin Penyitaan dikeluarkan oleh ketua pengadilan negeri setempat, PPNS mengeluarkan surat perintah Penyitaan yang ditandatangani oleh Atasan PPNS selaku penyidik;

    5. dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana PPNS harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) PPNS dapat melakukan Penyitaan hanya atas benda bergerak termasuk Sistem Elektronik dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

  2. Yang dapat dikenakan Penyitaan adalah:

    1. benda atau tagihan yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari Tindak Pidana atau sebagai hasil dari Tindak Pidana;

    2. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan Tindak Pidana atau untuk mempersiapkannya;

    3. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi Penyidikan Tindak Pidana;

    4. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan Tindak Pidana;

    5. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan Tindak Pidana yang dilakukan;

    6. Sistem Elektronik, Informasi Elektronik, atau Dokumen Elektronik yang diperoleh melalui proses forensik terhadap Sistem Elektronik yang digeledah.

Pasal 41

Dalam hal Saksi atau Tersangka menyerahkan secara sukarela Sistem Elektronik atau Dokumen Elektronik kepada PPNS untuk dijadikan alat bukti maka penyerahan Sistem Elektronik atau Dokumen Elektronik tersebut dinyatakan dalam berita acara, dan kepada yang bersangkutan diberikan surat tanda penerimaan.

Pasal 42

  1. Dalam hal mengumpulkan bahan keterangan, PPNS mempunyai kewenangan melakukan Pemeriksaan terhadap:

    1. Saksi;

    2. Ahli; dan

    3. Tersangka.

  2. Pemanggilan terhadap Saksi dan Tersangka untuk dilakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30.

  3. Permintaan terhadap Ahli untuk dilakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30.

  4. Hasil Pemeriksaan terhadap Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dituangkan dalam berita acara Pemeriksaan Saksi.

  5. Hasil Pemeriksaan terhadap Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dituangkan dalam berita acara Pemeriksaan Ahli.

  6. Hasil Pemeriksaan terhadap Tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dituangkan dalam berita acara Pemeriksaan Tersangka.

Pasal 43

Dalam hal Pemeriksaan terhadap Saksi atau Tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf c memerlukan pendampingan Ahli, PPNS dapat mengajukan permintaan pendampingan secara tertulis kepada Ahli yang dibutuhkan dan/atau Penyidik Polri.

Pasal 44

  1. Saksi atau Ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di tingkat Penyidikan, berhak mendapat penggantian biaya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

  2. Pejabat yang melakukan pemanggilan wajib memberitahukan kepada Saksi atau Ahli tentang haknya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 45

  1. Dalam hal diperlukan Pemeriksaan barang bukti, dapat dilaksanakan melalui bantuan teknis Pemeriksaan:

    1. laboratorium forensik Sistem Elektronik; dan

    2. identifikasi.

  2. Dalam hal diperlukan penjelasan mengenai Pemeriksaan barang bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Penyidik Polri.

Pasal 46

  1. Dalam hal diperlukan Pemeriksaan barang bukti untuk menemukan bukti elektronik, dapat dilaksanakan melalui pengujian forensik Sistem Elektronik.

  2. Forensik terhadap Sistem Elektronik dilakukan berdasarkan prosedur sebagai berikut:

    1. identifikasi;

    2. akuisisi;

    3. pengujian dan analisa; dan

    4. dokumentasi dan pelaporan.

  3. Forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimaksudkan untuk mencari dan menemukan Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik, paling sedikit terhadap:

    1. identitas pelaku, korban, atau Saksi terkait dengan Tindak Pidana; dan/atau

    2. unsur-unsur tindak pidana.

  4. Prosedur identifikasi, akuisisi, pengujian dan analisa, serta pelaporan forensik Sistem Elektronik harus menjaga privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data.

  5. Prosedur forensik Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam petunjuk teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Pasal 47

  1. Identifikasi, akuisisi, pengujian dan analisa, serta dokumentasi dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dilakukan oleh AFSE.

  2. AFSE dalam lingkup Kementerian Komunikasi dan Informatika ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Pasal 48

Pemberian bantuan hukum terhadap seseorang yang diperiksa selaku Tersangka dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 49

  1. Penyelesaian berkas perkara merupakan kegiatan akhir dari proses Penyidikan.

  2. Ikhtisar atau kesimpulan kasus yang ditangani, dituangkan dalam resume yang telah ditentukan penulisannya.

  3. Berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan urutan yang telah ditentukan oleh PPNS sesuai dengan kebutuhan penyelesaian Penyidikan perkara yang ditangani.

Pasal 50

  1. Administrasi Pemberkasan merupakan kegiatan penatausahaan berkas Penyidikan dan penindakan untuk menjamin ketertiban, keseragaman, dan kelancaran Penyidikan berupa kelengkapan administrasi Penyidikan, sebagai berikut:

    1. sampul berkas perkara; dan

    2. isi berkas perkara, yang disusun berdasarkan urutan yang telah ditentukan oleh PPNS sesuai dengan kebutuhan penyelesaian Penyidikan perkara yang ditangani.

  2. Contoh-contoh format sampul berkas perkara dan isi berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 51

Penyelenggaraan administrasi pemberkasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, PPNS perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. menghindari kesalahan dalam pengisian blanko dan formulir yang tersedia;

  2. melaksanakan pendataan dan pencatatan secara tertib dan teratur;

  3. melakukan pendistribusian dan pengarsipan surat-surat secara tertib dan teratur; dan

  4. dikelola oleh pegawai negeri sipil (PNS) yang ditunjuk dan diberi tugas khusus untuk kepentingan itu.

Pasal 52

  1. Penyerahan perkara hasil Penyidikan oleh PPNS merupakan pelimpahan tanggung jawab suatu perkara dari PPNS ke Penuntut Umum.

  2. Pelaksanaan penyerahan perkara dalam acara Pemeriksaan meliputi:

    1. tahap pertama, yaitu penyerahan berkas perkara; dan

    2. tahap kedua, yaitu penyerahan Tersangka dan barang bukti setelah berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum.

Pasal 53

  1. Penyerahan tahap pertama berupa penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a dilaksanakan dengan surat pengantar yang ditandatangani oleh Atasan PPNS selaku penyidik.

  2. Berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Polri.

  3. PPNS memberikan salinan dari berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Penyidik Polri untuk disimpan.

  4. Apabila berkas perkara dikembalikan oleh Penuntut Umum, PPNS melengkapi sesuai petunjuk Penuntut Umum yang dalam pelaksanaannya dapat dibantu oleh Penyidik Polri.

  5. Setelah PPNS melengkapi berkas perkara sesuai petunjuk Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), PPNS wajib menyerahkan berkas perkara kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Polri dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja, sejak diterimanya petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

  6. Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari berkas perkara tidak dikembalikan oleh Penuntut Umum, Penyidikan dianggap lengkap dan PPNS menyerahkan tanggung jawab Tersangka dan barang bukti ke Penuntut Umum melalui Penyidik Polri

Pasal 54

  1. Penyerahan tahap kedua berupa penyerahan Tersangka dan barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf b, dilaksanakan setelah penyerahan berkas tahap pertama dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum (P21).

  2. Penyerahan tahap kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Penuntut Umum dilaksanakan melalui Penyidik Polri.

  3. Penyerahan Tersangka dan barang bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan surat pengantar yang ditandatangani oleh Atasan PPNS selaku penyidik.

  4. Pelaksanaan penyerahan Tersangka dan barang bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuatkan berita acaranya.

Pasal 55

Penghentian Penyidikan merupakan salah satu kegiatan penyelesaian perkara yang dilakukan apabila:

  1. tidak terdapat cukup bukti;

  2. peristiwa tersebut bukan merupakan Tindak Pidana; atau

  3. dihentikan demi hukum, karena:

    1. Tersangka meninggal dunia;

    2. tuntutan Tindak Pidana telah kadaluarsa; dan/atau

    3. Tindak Pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 56

  1. Sebelum proses penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

    1. gelar perkara yang pelaksanaannya dapat dibantu oleh Penyidik Polri;

    2. apabila hasil gelar perkara menyimpulkan bahwa syarat penghentian Penyidikan telah terpenuhi, maka diterbitkan Surat perintah penghentian Penyidikan yang ditandatangani;

    3. oleh Atasan PPNS dan surat ketetapan penghentian Penyidikan yang ditandatangani oleh PPNS;

    4. dalam hal Atasan PPNS bukan Penyidik, penandatanganan surat perintah penghentian Penyidikan dilakukan oleh PPNS dengan diketahui oleh atasannya; dan

    5. membuat surat pemberitahuan penghentian Penyidikan dan dikirimkan kepada Penuntut Umum, Penyidik Polri, dan Tersangka atau keluarga atau penasehat hukumnya.

  2. Dalam hal penghentian Penyidikan dinyatakan tidak sah oleh putusan pra-peradilan dan/atau ditemukan adanya bukti baru, PPNS wajib:

    1. menerbitkan surat ketetapan pencabutan penghentian Penyidikan;

    2. membuat surat perintah Penyidikan lanjutan; dan

    3. melanjutkan kembali Penyidikan.

Pasal 57

  1. Pelimpahan Penyidikan dari PPNS kepada Penyidik Polri, dapat dilaksanakan apabila:

    1. berdasarkan pertimbangan keamanan dan geografis, PPNS tidak dapat melakukan Penyidikan; dan

    2. peristiwa pidana yang ditangani, merupakan gabungan Tindak Pidana dan tindak pidana umum, kecuali tindak pidana yang bukan merupakan kewenangan Penyidik Polri.

  2. Pelimpahan Penyidikan dari PPNS kepada Penyidik Polri, dilaksanakan dengan surat pelimpahan.

  3. Dalam pelaksanaan pelimpahan Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuatkan berita acara.

  4. Pelaksanaan Penyidikan selanjutnya, dapat melibatkan PPNS terkait.

Pasal 58

  1. Pengendalian Penyidikan dan penindakan dilakukan pada tahap perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan.

  2. Pengendalian Penyidikan dan penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Atasan PPNS.

Pasal 59

Atasan PPNS memberikan petunjuk atau arahan tentang kegiatan Penyidikan dan penindakan secara rinci dan jelas, untuk menghindari kesalahan penafsiran oleh PPNS yang akan maupun sedang melakukan Penyidikan dan penindakan.

Pasal 60

  1. Atasan PPNS dalam melakukan pengendalian Penyidikan dan penindakan dapat berkoordinasi dengan berbagai pihak baik internal maupun eksternal untuk kelancaran proses Penyidikan dan penindakan.

  2. Pelaksanaan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan melalui kontak pribadi, rapat, dan kunjungan dinas.

Pasal 61

  1. Atasan PPNS menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam Penyidikan dan penindakan secara profesional.

  2. Penyelesaian masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:

    1. koordinasi dengan pihak atau instansi terkait; dan/atau

    2. memberikan cara pemecahan masalah kepada PPNS.

Pasal 62

Pendanaan dalam rangka pelaksanaan Penyidikan dan penindakan oleh PPNS dibebankan kepada anggaran Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika kecuali pelaksanaan koordinasi berupa bantuan dan pengawasan terhadap Penyidikan dan penindakan yang dilakukan oleh Penyidik Polri.

Pasal 63

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.


PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
NOMOR 7 TAHUN 2016
TENTANG
ADMINISTRASI PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

menimbang

  1. bahwa berdasarkan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;

  2. bahwa berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Penyidikan terhadap tindak pidana Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana dan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

  3. bahwa dalam rangka melaksanakan tugas dan tanggung jawab serta kewenangan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diperlukan suatu pengaturan administratif dalam melaksanakan penyidikan dan penindakan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;

  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Administrasi Penyidikan dan Penindakan Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;

mengingat

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);

  2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168);

  3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401);

  4. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843);

  5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);

  6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 189, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5348);

  7. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Teknis terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk-bentuk Pengamanan Swakarsa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5298);

  8. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 1 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Komunikasi dan Informatika;



memperhatikan

memutuskan

menetapkan

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG ADMINISTRASI PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yang selanjutnya disingkat PPNS adalah Pegawai Negeri Sipil dalam lingkup Kementerian Komunikasi dan Informatikayang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan tindak pidana Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

  2. Pejabat Penyidik Kepolisian Republik Indonesia yang selanjutnya disebut sebagai Penyidik Polri adalah Pejabat Kepolisian Republik Indonesia yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

  3. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

  4. Atasan PPNS adalah PPNS yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Aplikasi Informatika dan secara fungsional membawahi dan mengkoordinir PPNS yang ditugaskan menangani tindak pidana Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.

  5. Tindak Pidana Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yang selanjutnya disebut Tindak Pidana adalah setiap perbuatan yang diancam pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

  6. Penelitian Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Penelitian adalah serangkaian tindakan PPNS untuk memeriksa kebenaran laporan atau pengaduan atau keterangan dalam rangka mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai Tindak Pidana melalui kegiatan pengamatan, tindakan teknis, dan tindakan lain sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan lingkup tugas dan wewenangnya.

  7. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

  8. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

  9. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.

  10. Alat Bukti Elektronik adalah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang digunakan sebagai alat bukti dalam peradilan Tindak Pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

  11. Ahli Forensik Sistem Elektronik yang selanjutnya disingkat AFSE adalah orang yang karena keahliannya di bidang forensik Sistem Elektronik ditugaskan oleh atasannya berdasarkan permintaan, atau diminta oleh PPNS untuk melakukan forensik terhadap Sistem Elektronik.

  12. Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum.

  13. Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku Tindak Pidana.

  14. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan Penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialami sendiri.

  15. Ahli adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus di bidang tertentu terkait Tindak Pidana yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis maupun praktis mengenai pengetahuannya tersebut.

  16. Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.

  17. Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.

  18. Laporan Kejadian adalah laporan tertulis yang dibuat oleh petugas tentang adanya suatu peristiwa yang diduga sebagai Tindak Pidana, baik yang ditemukan sendiri maupun melalui Laporan atau Pengaduan.

  19. Tertangkap Tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan Tindak Pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat setelah Tindak Pidana itu dilakukan atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya diketemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan Tindak Pidana atau yang merupakan hasil Tindak Pidana dan menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan Tindak Pidana itu.

  20. Tempat Kejadian Perkara yang selanjutnya disingkat TKP adalah tempat dimana suatu Tindak Pidana dilakukan/terjadi dan tempat-tempat lain, dimana Tersangka dan/atau korban dan/atau barang bukti yang berhubungan dengan Tindak Pidana tersebut dapat ditemukan.

  21. Pemanggilan adalah tindakan untuk menghadirkan Saksi, Ahli, atau Tersangka guna didengar keterangannya sehubungan dengan Tindak Pidana yang terjadi berdasarkan Laporan Kejadian.

  22. Pemeriksaan adalah kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan, dan keidentikan Tersangka, Saksi, Ahli, dan/atau barang bukti, maupun tentang unsur-unsur Tindak Pidana yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti di dalam Tindak Pidana tersebut menjadi jelas dan dituangkan dalam berita acara Pemeriksaan.

  23. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan Tersangka atau terdakwa, apabila terdapat cukup bukti serta ketentuan hukum guna kepentingan Penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

  24. Penahanan adalah penempatan Tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau Penuntut Umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

  25. Penggeledahan Rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan/atau tempat tertutup lainnya guna melakukan Pemeriksaan dan/atau Penyitaan barang bukti dan/atau Penangkapan Tersangka dalam hal-hal menurut cara-cara yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

  26. Penggeledahan Badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan Pemeriksaan badan atau pakaian Tersangka guna mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita.

  27. Penggeledahan Sistem Elektronik adalah tindakan PPNS untuk mengakses Sistem Elektronik dan melakukan Pemeriksaan terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

  28. Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan dibawah penguasaannya terhadap benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam Penyidikan, Penuntutan, dan peradilan.

  29. Penyitaan Sistem Elektronik adalah serangkaian tindakan PPNS untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya atas Sistem Elektronik, dan/atau untuk menyalin Informasi Elektronik, dan/atau Dokumen Elektronik untuk kepentingan Penyidikan.

  30. Gelar Perkara adalah kegiatan PPNS untuk memaparkan perkara dan tindakan yang akan, sedang, dan telah dilakukan Penyidikan, guna memperoleh kesimpulan.

  31. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

  32. Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

  33. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.

  34. Direktur Jenderal adalah direktur jenderal yang ruang lingkup tugas dan fungsinya membidangi aplikasi informatika.

Pasal 2

Administrasi Penyidikan dan Penindakan Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pasal 3

Administrasi Penyidikan dan Penindakan Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik ditetapkan dengan tujuan untuk:

  1. memberikan pedoman bagi PPNS dalam pelaksanaan Penyidikan dan penindakan Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik maupun koordinasi dengan pihak terkait baik internal maupun eksternal; dan

  2. terwujudnya pelaksanaan Penyidikan dan penindakan yang bersinergi dan profesional antara PPNS dengan pihak yang terkait.

Pasal 4

Ruang lingkup Peraturan Menteri ini terdiri atas:

  1. kedudukan dan lingkup tugas dan tanggung jawab PPNS;

  2. Pemeriksaan kebenaran Laporan atau Pengaduan atau keterangan;

  3. Penyidikan dan penindakan oleh PPNS; dan

  4. koordinasi eksternal.

BAB II

KEDUDUKAN DAN LINGKUP TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PPNS

Pasal 5

  1. PPNS berada di bawah pembinaan Menteri melalui Direktur Jenderal.

  2. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, PPNS di bawah koordinasi Atasan PPNS.

  3. Atasan PPNS diangkat dan diberhentikan oleh Direktur Jenderal.

  4. Atasan PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang untuk mengorganisir sumber daya yang meliputi:

    1. personil PPNS;

    2. sarana dan prasarana;

    3. anggaran; dan

    4. sumber daya lain yang relevan.

Pasal 6

  1. Atasan PPNS harus memiliki status sebagai PPNS berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  2. Atasan PPNS berwenang menugaskan PPNS yang tidak berada langsung di bawah unit organisasinya untuk melakukan Penelitian dan/atau Penyidikan dan penindakan Tindak Pidana.

  3. Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Atasan PPNS harus berkoordinasi dengan atasan langsung dari personil PPNS yang akan ditugaskannya.

  4. Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara tertulis.

Pasal 7

PPNS berwenang:

  1. menerima Laporan atau Pengaduan atau keterangan dari seseorang tentang adanya Tindak Pidana;

  2. memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk didengar dan/atau diperiksa sebagai Tersangka atau Saksi sehubungan dengan adanya dugaan Tindak Pidana;

  3. melakukan Pemeriksaan atas kebenaran Laporan atau Pengaduan atau keterangan berkenaan dengan Tindak Pidana;

  4. melakukan Pemeriksaan terhadap Orang dan/atau badan usaha yang patut diduga melakukan Tindak Pidana;

  5. melakukan Pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk melakukan Tindak Pidana;

  6. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan Tindak Pidana;

  7. melakukan penyegelan dan Penyitaan terhadap alat dan/atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan dan merupakan Tindak Pidana;

  8. meminta bantuan Ahli yang diperlukan dalam Penyidikan dan penindakan terhadap Tindak Pidana; dan/atau

  9. mengadakan penghentian Penyidikan Tindak Pidana

BAB III

PEMERIKSAAN KEBENARAN LAPORAN ATAU PENGADUAN ATAU KETERANGAN

Pasal 8

Pemeriksaan kebenaran Laporan atau Pengaduan atau keterangan dilaksanakan atas dasar:

  1. hasil temuan dari petugas; dan/atau

  2. Laporan atau Pengaduan masyarakat, yang dapat diajukan secara tertulis, elektronik, maupun lisan.

Pasal 9

PPNS menerima Laporan atau Pengaduan dari masyarakat melalui:

  1. pelayanan penerimaan Laporan atau Pengaduan Tindak Pidana di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika;

  2. situs internet Kementerian Komunikasi dan Informatika;

  3. telepon layanan Laporan dan Pengaduan;

  4. surat elektronik (electronic mail) yang dialamatkan ke cybercrimes@mail. kominfo.go.id; dan/atau

  5. surat melalui pos yang dialamatkan ke kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Pasal 10

  1. PPNS harus meminta dan menerima bukti identitas yang sah dari masyarakat yang memberikan Laporan atau menyampaikanPengaduan.

  2. PPNS harus memeriksa bukti identitas yang disampaikan.

  3. Dalam hal masyarakat tidak menyerahkan bukti identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau bukti identitasnya tidak sah, PPNS berwenang untuk tidak menindaklanjuti Laporan atau Pengaduan yang dimaksud.

Pasal 11

  1. Laporan atau Pengaduan masyarakat mengenai adanya Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b ditulis dalam Laporan Kejadian.

  2. Terhadap masyarakat yang memberikan Laporan atau menyampaikan Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b diberikan tanda bukti penerimaan Laporan Kejadian.

Pasal 12

  1. Laporan Kejadian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilaporkan kepada Atasan PPNS dan dicatat dalam registrasi penerimaan Laporan Kejadian.

  2. Laporan Kejadian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), berisikan uraian singkat mengenai pihak yang memberikan Laporan atau menyampaikan Pengaduan dan peristiwa yang terjadi atau dugaan terjadinya Tindak Pidana, serta dapat dilengkapi Saksi dan/atau barang bukti.

  3. Atasan PPNS, setelah menerima Laporan Kejadian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat menerbitkan:

    1. surat perintah Penelitian, dalam hal Atasan PPNS menyimpulkan bahwa terhadap Laporan Kejadian diperlukan informasi, Saksi, atau barang bukti lebih lanjut; atau

    2. surat perintah Penyidikan dan memberi petunjuk mengenai pelaksanaan Penyidikan, dalam hal Atasan PPNS menyimpulkan bahwa Laporan Kejadian dapat ditindaklanjuti ke tahap Penyidikan.

Pasal 13

Pemeriksaan Laporan atau Pengaduan atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, dilaksanakan oleh pegawai yang ditunjuk dan dalam melaksanakan kegiatannya didasarkan pada tugas dan fungsinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 14

  1. Atasan PPNS berwenang membuat jadwal piket dan menentukan PPNSatau pegawai yang ditugaskan untuk menerima Laporan atau Pengaduan.

  2. PPNS atau pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencatat setiap Laporan atau Pengaduan, kemudian meneruskannya kepada Atasan PPNS.

  3. Atasan PPNS dapat melakukan analisis terhadap Laporan atau Pengaduan yang telah diteruskan kepadanya.

Pasal 15

  1. Atasan PPNS dapat membentuk tim untuk meneliti atau memeriksa kebenaran Laporan atauPengaduan atau keterangan tentang keberadaan peristiwa yang diduga sebagai Tindak Pidana.

  2. Dalam rangka membentuk tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Atasan PPNS mengeluarkan surat perintah Penelitian dan menentukan anggota tim peneliti untuk melaksanakan Penelitian tersebut.

  3. Tim peneliti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang:

    1. mengundang Orang yang terkait dengan Laporan atau Pengaduan;

    2. meminta keterangan dari Orang yang terkait dengan Laporan atau Pengaduan;

    3. menggunakan barang atau alat yang dipandang dapat mengungkap ada atau tidaknya Tindak Pidana dari Orang yang terkait dengan Laporan atau Pengaduan, berdasarkan persetujuannya;

    4. menyalin Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik dari Sistem Elektronik yang diserahkan Orang yang terkait dengan Laporan atau Pengaduan berdasarkan persetujuannya; dan/atau

    5. meminta informasi dan/atau bantuan kepada pemilik Informasi Elektronik dan/atau pengelola Sistem Elektronik untuk melakukan pengamanan data elektronik dan Sistem Elektronik yang terkait dengan Laporan atau Pengaduan.

Pasal 16

  1. Tim peneliti wajib menyusun hasil penelitiannya terhadap kebenaran suatu Laporan atau Pengaduan.

  2. Dalam hal diperlukan, tim peneliti dapat melakukan Gelar Perkara baik secara internal maupun eksternal sebelum hasil penelitiannya disampaikan kepada Atasan PPNS.

  3. Gelar Perkara internal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan antara tim peneliti, PPNS, dan Atasan PPNS.

  4. Gelar Perkara eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melibatkan Penyidik Polri dan/atau Ahli di bidangnya.

  5. Dalam hal tim peneliti menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa tidak ditemukan adanya peristiwa yang diduga sebagai Tindak Pidana pada Laporan atau Pengaduan yang disampaikan, penanganan Laporan atau Pengaduan tidak dilanjutkan.

  6. Atasan PPNS menerbitkan surat perintah penghentian Penelitian terhadap hasil penelitian tim peneliti sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

  7. Dalam hal diperlukan, Atasan PPNS dapat memerintahkan Penelitian ulang terhadap hasil Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan membentuk tim peneliti baru berdasarkan surat perintah Penelitian.

Pasal 17

  1. Dalam hal Pemeriksaan Laporan atau Pengaduan atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memerlukan Pemeriksaan TKP, maka tindakan yang dapat dilakukan adalah:

    1. pengamanan TKP;

    2. penanganan TKP; dan

    3. pengolahan TKP.

  2. Pelaksanaan pengamanan, penanganan, dan pengolahan TKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Dalam hal pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membutuhkan tindakan taktis dan teknis di TKP, PPNS dapat meminta bantuan kepada Penyidik Polri dan/atau Ahli di bidangnya.

Pasal 18

  1. Dalam hal Tertangkap Tangan, PPNS tanpa surat perintah, berwenang melakukan tindakan:

    1. membuat Laporan Kejadian;

    2. melakukan olah TKP;

    3. melakukan proses Penyidikan dan penindakan serta berkoordinasi dengan Penyidik Polri;

    4. melakukan Penangkapan dan mengamankan barang bukti yang ada;

    5. memasuki rumah, pekarangan, atau ruangan;

    6. melakukan Penyitaan benda, alat, dan/atau Sistem Elektronik yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan Tindak Pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti;

    7. melakukan Penyitaan terhadap paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan, atau perusahaan komunikasi, atau pengangkutan, sepanjang paket, surat, atau benda tersebut diperuntukkan bagi Tersangka atau yang berasal dari padanya dan untuk itu kepada Tersangka dan/atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan,atau perusahaan komunikasi, atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan.

  2. Dalam hal PPNS melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPNS yang bersangkutan harus melaporkannya kepada Atasan PPNS.

BAB VI

PENYIDIKAN

Bagian Kesatu

Bentuk Kegiatan

Pasal 19

  1. Bentuk kegiatan dalam proses Penyidikan dan penindakan oleh PPNS meliputi:

    1. pengorganisasian rencana Penyidikan;

    2. pemberitahuan dimulainya Penyidikan;

    3. pengolahan TKP;

    4. Pemanggilan;

    5. Penangkapan;

    6. Penahanan;

    7. penggeledahan;

    8. Penyitaan;

    9. Pemeriksaan;

    10. bantuan hukum;

    11. penyelesaian berkas perkara;

    12. pelimpahan perkara;

    13. penghentian Penyidikan;

    14. administrasi Penyidikan;

    15. pelimpahan Penyidikan; dan

    16. tindakan lain yang sah menurut peraturan perundang-undangan.

  2. Urutan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan situasi kasus yang sedang dilakukan Penyidikan.

  3. PPNS dapat mengikutsertakan Ahli dalam proses Penyidikan dan penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memberikan bantuan teknis sesuai keahliannya.

Bagian Kedua

Rencana Penyidikan dan Penindakan

Pasal 20

Pengorganisasian rencana Penyidikan dan penindakan oleh PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a, dibuat dengan menentukan:

  1. sasaran Penyidikan dan penindakan;

  2. sumber daya yang dilibatkan;

  3. cara bertindak;

  4. waktu yang akan digunakan; dan

  5. pengendalian Penyidikan dan penindakan.

Pasal 21

  1. Sasaran Penyidikan dan penindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a, sekurang-kurangnya memuat:

    1. orang yang diduga melakukan Tindak Pidana;

    2. Tindak Pidana;

    3. unsur-unsur pasal yang akan diterapkan; dan

    4. alat bukti serta barang bukti.

  2. Sumber daya yang dilibatkan dalam Penyidikan dan penindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, antara lain penyiapan:

    1. tim pelaksana Penyidikan yang mempunyai otoritas, kompetensi, dan integritas;

    2. sarana dan prasarana;

    3. anggaran yang diperlukan; dan

    4. kelengkapan Perangkat Keras dan/atau Perangkat Lunak.

  3. Cara bertindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c meliputi teknis dan prosedur kegiatan Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.

  4. Penentuan waktu yang digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf d ditetapkan dengan memperhatikan kegiatan Penyidikan dan penindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.

  5. Pengendalian Penyidikan dan penindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf e meliputi:

    1. penyiapan administrasi Penyidikan;

    2. penyiapan kontrol Penyidikan dan penindakan oleh PPNS yang berisi antara lain:

      1. penyusunan jadwal dan materi supervisi dan/atau asistensi;

      2. penyusunan jadwal evaluasi kegiatan perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan; dan/atau

      3. pembuatan laporan kegiatan Penyidikan dan penindakan dan data penyelesaian kasus.

Pasal 22

Pengorganisasian rencana Penyidikan dan penindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 yang dibuat oleh PPNS sebelum dilakukan kegiatan Penyidikan dan penindakan, diajukan kepada Atasan PPNS dalam rangka pengendalian perkara.

Bagian Ketiga

Pengorganisasian

Pasal 23

  1. Pelaksanaan Penyidikan dan penindakan oleh PPNS diperlukan pengorganisasian sumber daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf (b) terdiri dari:

    1. personil PPNS;

    2. Ahli;

    3. sarana dan prasarana;

    4. anggaran;

    5. peraturan; dan

    6. Perangkat Keras dan/atau Perangkat Lunak.

  2. Pelaksanaan pengorganisasian sumber daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Atasan PPNS berdasarkan hubungan dan tata kerja organisasi di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Pasal 24

Pengorganisasian sumber daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dapat didasarkan pada pertimbangan atau aspek sebagai berikut:

  1. Saksi, antara lain:

    1. jumlah Saksi yang melihat, mendengar, dan mengetahui secara langsung peristiwa yang terjadi;

    2. tempat tinggal Saksi,

  2. kesesuaian antara keterangan para Saksi, keterangan Tersangka, dan barang bukti yang ditemukan;

  3. Tersangka, antara lain:

    1. Tersangka tertangkap tangan atau menyerahkan diri;

    2. kemudahan untuk menentukan keberadaan dan identitas Tersangka;

    3. kemudahan memperoleh keterangan Tersangka;

    4. jumlah Tersangka; dan

    5. kesehatan Tersangka secara jasmani dan rohani,

  4. TKP, antara lain:

    1. kemudahan untuk menjangkau dan mengolah TKP;

    2. keutuhan TKP, dan

  5. barang bukti, antara lain:

    1. kemudahan untuk memperoleh barang bukti;

    2. tingkat kemudahan pengamanan serta penanganan barang bukti dan Pemeriksaan forensik terhadap barang bukti.

Bagian Keempat

Pelaksanaan Penyidikan

Paragraf 1

Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan

Pasal 25

  1. Atasan PPNS mengeluarkan surat perintah Penyidikan dan menetapkan PPNS yang bertugasuntuk melaksanakan Penyidikan.

  2. PPNS berkoordinasi dengan Penyidik Polri memberitahukan dimulainya Penyidikan dan menyampaikan hasilnya kepada Penuntut Umum.

  3. PPNS yang ditugaskan oleh Atasan PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat rencana Penyidikan dan penindakan dan menyampaikannya kepada Atasan PPNS.

Pasal 26

  1. Atasan PPNS mengeluarkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) untuk disampaikan kepada Kejaksaan Republik Indonesia melalui Penyidik Polri.

  2. Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan:

    1. Laporan Kejadian;

    2. surat perintah Penyidikan; dan

    3. resume perkara.

  3. Dalam hal PPNS belum menetapkanTersangka, identitas yang disebutkan pada Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP)dan dianggap sebagai nama Tersangka adalah ANONIM.

Pasal 27

  1. Dalam melakukan Penyidikan, PPNS berkoordinasi dengan Penyidik Polri yang berwenang terkait dengan pelaksanaan bantuan teknis Penyidikan.

  2. Dalam melakukan Penyidikan dan penindakan, PPNS dapat berkonsultasi dengan Penuntut Umum yang berwenang terkait dengan aturan Tindak Pidana yang digunakan dalam Penyidikan dan bukti yang diperlukan untuk kepentingan Penuntutan.

Pasal 28

  1. Sebelum penyampaian Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), PPNS dapat memberitahukan dimulainya Penyidikan secara lisan atau telepon, surat elektronik (electronic mail), atau pesan singkat kepada Penyidik Polri guna menyiapkan bantuan Penyidikan yang sewaktu-waktu diperlukan PPNS.

  2. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat penjelasan singkat mengenai kejadian Tindak Pidana atau pelanggaran, identitas pelaku atau Tersangka, dan barang bukti.

Paragraf 2

Pengolahan TKP

Pasal 29

  1. Dalam hal penanganan kasus memerlukan pengolahan TKP, tindakan yang dilakukan oleh PPNS yaitu:

    1. mencari keterangan, petunjuk, barang bukti, serta identitas Tersangka dan/atau korban maupun Saksi untuk kepentingan Penyidikan dan penindakan selanjutnya; dan

    2. Tindakan yang dilakukan oleh PPNS dalam pengolahan TKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dimasukkan dalam berita acara Pemeriksaan di TKP.

  2. Tindakan yang dilakukan oleh PPNS dalam pengolahan TKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dimasukkan dalam berita acara Pemeriksaan di TKP.

Paragraf 3

Pemanggilan

Pasal 30

Pemanggilan terhadap Saksi atau Tersangka dilaksanakan dengan ketentuan:

  1. surat panggilan ditandatangani oleh Atasan PPNS selaku penyidik;

  2. penyampaian surat panggilan dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh PPNS yang bersangkutan dengan memperlihatkan tanda pengenal dan disertai dengan tanda bukti penerimaan;

  3. surat panggilan sudah diterima oleh yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum tanggal kehadiran yang ditentukan;

  4. surat panggilan wajib diberi nomor sesuai ketentuan registrasi instansi PPNS;

  5. dalam hal Saksi atau Tersangka sedang tidak berada di tempat maka surat panggilan dapat diberikan kepada keluarga, pengacaranya, atau kepada mereka yang dianggap dapat menjamin bahwa surat panggilan itu akan disampaikan;

  6. dalam hal Saksi atau Tersangka yang dipanggil tidak dapat memenuhi panggilan dengan alasan yang wajar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka PPNS dapat datang ke tempat kediamannya untuk melakukan Pemeriksaan;

  7. dalam hal pemanggilan pertama tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, dilakukan pemanggilan kedua dan dapat disertai surat perintah membawa, yang administrasinya dibuat oleh PPNS;

  8. dalam hal membawa Tersangka dan/atau Saksi, PPNS dapat meminta bantuan kepada Penyidik Polri yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara bersama-sama serta dibuat berita acara;

  9. untuk pemanggilan terhadap Tersangka dan/atau Saksi warga negara Indonesia yang berada di luar negeri dimintakan bantuan melalui Penyidik Polri kepada perwakilan negara Republik Indonesia dimana Tersangka dan/atau Saksi berada.

Pasal 31

  1. Permintaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf h, dibuat secara tertulis dengan melampirkan surat panggilan yang telah dibuat oleh PPNS.

  2. Sebelum PPNS meminta bantuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permintaan dapat didahului secara lisan dengan menyebutkan/menjelaskan kasus dan identitas seseorang yang akan dipanggil dengan status sebagai Tersangka atau Saksi.

Paragraf 4

Penangkapan

Pasal 32

  1. PPNS memiliki kewenangan melakukan Penangkapan dalam hal Tertangkap Tangan.

  2. Dalam hal diperlukan upaya hukum Penangkapan selain yang dimaksud pada ayat (1), PPNS meminta bantuan kepada Penyidik Polri dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. surat permintaan bantuan Penangkapan ditujukan kepada pejabat yang mempunyai fungsi Reserse Kriminal (Reskrim) Polri setempat dengan melampirkan Laporan Kejadian dan laporan kemajuan Penyidikan perkara;

    2. sebelum PPNS meminta bantuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a, permintaan dapat didahului secara lisan dengan menyebutkan/menjelaskan kasus dan identitas Tersangka;

    3. surat permintaan bantuan Penangkapan memuat:

      1. identitas Tersangka;

      2. uraian singkat kasus yang terjadi;

      3. pasal yang dilanggar; dan

      4. pertimbangan perlunya dilakukan penangkapan,

    4. surat permintaan bantuan Penangkapan ditandatangani oleh Atasan PPNS selaku penyidik;

    5. dalam pelaksanaan Penangkapan dilakukan oleh Penyidik Polri dengan mengikutsertakan PPNS yang bersangkutan;

    6. administrasi Penyidikan dan penindakan kegiatan bantuan Penangkapan, dibuat oleh Penyidik Polri; dan

    7. dalam hal melakukan Penangkapan sebagaimana dimaksud pada huruf e, Penyidik Polri wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat sesuai UU ITE.

Pasal 33

  1. Penyerahan Tersangka dari Penyidik Polri kepada PPNS, wajib dituangkan dalam bentuk berita acara.

  2. Tersangka yang ditangkap dan setelah dilakukan Pemeriksaan, ternyata tidak terbukti, maka tidak dilakukan Penahanan, sehingga wajib dilepas dengan surat perintah pelepasan dan diserahkan kepada keluarga atau kuasa hukumnya dengan dibuatkan berita acara.

Paragraf 5

Penahanan

Pasal 34

  1. Dalam hal diperlukan upaya hukum Penahanan, PPNS meminta bantuan kepada Penyidik Polri dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. surat permintaan bantuan Penahanan ditujukan kepada pejabat yang mempunyai fungsi Reserse Kriminal (Reskrim) Polri setempat dengan melampirkan Laporan Kejadian dan laporan kemajuan Penyidikan perkara;

    2. sebelum PPNS meminta bantuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a, permintaan dapat didahului secara lisan dengan menyebutkan/menjelaskan kasus dan identitas Tersangka;

    3. surat permintaan bantuan Penahanan memuat:

      1. identitas Tersangka;

      2. uraian singkat kasus yang terjadi;

      3. pasal yang dilanggar beserta ancaman hukumannya; dan

      4. pertimbangan perlunya dilakukan penahanan,

    4. surat permintaan bantuan Penahanan ditandatangani oleh Atasan PPNS selaku penyidik;

    5. pelaksanaan Penahanan dilakukan oleh Penyidik Polri;

    6. dalam hal melakukan Penahanan sebagaimana dimaksud pada huruf e, Penyidik Polri wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat sesuai UU ITE;

    7. PPNS dalam melakukan Penyidikan agar memperhatikan batas waktu Penahanan; dan

    8. dalam hal PPNS memerlukan perpanjangan waktu Penahanan untuk kepentingan Penyidikan, mengajukan surat permintaan bantuan perpanjangan Penahanan kepada Penyidik Polri sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari sebelum batas waktu Penahanan berakhir.

  2. Dalam hal PPNS memerlukan perpanjangan waktu Penahanan untuk kepentingan Penyidikan, mengajukan surat permintaan bantuan perpanjangan Penahanan kepada Penyidik Polri sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari sebelum batas waktu Penahanan berakhir.

Pasal 35

Dalam hal Tersangka yang ditahan dalam keadaan sakit dan berdasarkan surat keterangan dokter Tersangka perlu dirawat di rumah sakit maka tindakan Penyidik Polri sebagai berikut:

  1. Penahanan dapat dibantar;

  2. apabila dibantar, Penyidik Polri wajib membuat surat perintah pembantaran dan berita acaranya;

  3. setelah selesai dirawat berdasarkan keterangan dokter, pembantaran dicabut yang dilengkapi dengan surat perintah pencabutan pembantaran dan berita acaranya;

  4. dalam hal Tersangka dilanjutkan Penahanannya, dilengkapi dengan surat perintah Penahanan lanjutan dan berita acaranya; dan

  5. lama pembantaran tidak dihitung sebagai waktu Penahanan.

Paragraf 6

Penggeledahan

Pasal 36

  1. Untuk kepentingan Penyidikan, PPNS dapat melakukan Penggeledahan Rumah, penggeledahan pakaian, Penggeledahan Badan, atau Penggeledahan Sistem Elektronik.

  2. Penggeledahan Rumah, penggeledahan pakaian, atau Penggeledahan Badan harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  3. Penggeledahan Sistem Elektronik terkait dengan dugaan Tindak Pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat.

Pasal 37

  1. Dalam hal diperlukan upaya hukum Penggeledahan Rumah dan/atau tempat tertutup lainnya serta Sistem Elektronik, PPNS melakukan penggeledahan sesuai dengan hukum acara pidana, dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. surat permintaan izin penggeledahan kepada ketua pengadilan negeri setempat dibuat oleh PPNS dengan tembusan Penyidik Polri;

    2. surat permintaan izin sebagaimana dimaksud pada huruf a disampaikan dengan melampirkan, antara lain:

      1. Laporan Kejadian;

      2. surat perintah Penyidikan;

      3. surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan;

      4. laporan kemajuan Penyidikan,

    3. sebelum surat permintaan izin penggeledahan dikirim kepada ketua pengadilan negeri setempat, PPNS dapat meminta pertimbangan kepada Penyidik Polri tentang alasan perlunya dilakukan penggeledahan;

    4. surat permintaan izin penggeledahan sebagaimana dimaksud pada huruf b, ditandatangani oleh Atasan PPNS selaku penyidik;

    5. setelah surat izin penggeledahan dikeluarkan oleh ketua pengadilan negeri setempat, PPNS mengeluarkan surat perintah penggeledahan yang ditandatangani oleh Atasan PPNS selaku penyidik;

    6. penggeledahan diusahakan untuk dilakukan pada waktu siang hari;

    7. dalam hal melakukan Penggeledahan Rumah atau Sistem Elektronik, penyidik harus menujukkan tanda pengenalnya terlebih dahulu;

    8. setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang Saksi dalam hal Tersangka atau penghuni menyetujuinya;

    9. setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang Saksi, dalam hal Tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir;

    10. dalam waktu dua hari setelah memasuki dan/atau menggeledah rumah atau Sistem Elektronik, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan;

    11. berita acara harus dibacakan terlebih dahulu oleh PPNS kepada yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatangani baik oleh PPNS maupun pemilik atau penghuni rumah atau tempat yang digeledah, atau pemilik atau penguasa Sistem Elektronik yang digeledah, dan/atau kepala desa, ketua RT/RW, atau tetangga dengan 2 (dua) orang Saksi;

    12. dalam hal pemilik atau penghuni rumah atau tempat yang digeledah, atau pemilik atau penguasa Sistem Elektronik yang digeledah tidak bersedia membubuhkan tanda tangan, PPNS mencatat hal tersebut dalam berita acara dengan menyebutkan alasannya.

  2. Dalam rangka menjaga keamanan dan ketertiban Penggeledahan Rumah atau Sistem Elektronik, PPNS dapat mengadakan atau meminta bantuan Penyidik Polri untuk penjagaan atau penutupan sementara terhadap tempat yang bersangkutan.

  3. Dalam rangka melaksanakan penyegelan dan Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf g, PPNS dapat meminta bantuan AFSE.

Pasal 38

Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana PPNS harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan ayat 4 huruf j, PPNS dapat melakukan penggeledahan terhadap Sistem Elektronik dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Paragraf 7

Penyitaan

Pasal 39

  1. Untuk kepentingan Penyidikan, PPNS dapat melakukan Penyitaan.

  2. Penyitaan terhadap Sistem Elektronik terkait dengan dugaan Tindak Pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat.

Pasal 40

  1. Dalam hal diperlukan upaya hukum Penyitaan, PPNS melakukan Penyitaan sesuai dengan hukum acara pidana, dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. surat permintaan izin Penyitaan kepada ketua pengadilan negeri setempat dibuat oleh PPNS dengan tembusan Penyidik Polri, dengan melampirkan:

      1. Laporan Kejadian;

      2. surat perintah Penyidikan;

      3. surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan;

      4. laporan kemajuan Penyidikan,

    2. surat permintaan izin Penyitaan sebagaimana dimaksud pada huruf a, ditandatangani oleh Atasan PPNS selaku penyidik;

    3. sebelum surat permintaan izin Penyitaan dikirim kepada ketua pengadilan negeri setempat, PPNS dapat meminta pertimbangan kepada Penyidik Polri tentang alasan perlunya dilakukan Penyitaan;

    4. setelah surat izin Penyitaan dikeluarkan oleh ketua pengadilan negeri setempat, PPNS mengeluarkan surat perintah Penyitaan yang ditandatangani oleh Atasan PPNS selaku penyidik;

    5. dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana PPNS harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) PPNS dapat melakukan Penyitaan hanya atas benda bergerak termasuk Sistem Elektronik dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

  2. Yang dapat dikenakan Penyitaan adalah:

    1. benda atau tagihan yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari Tindak Pidana atau sebagai hasil dari Tindak Pidana;

    2. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan Tindak Pidana atau untuk mempersiapkannya;

    3. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi Penyidikan Tindak Pidana;

    4. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan Tindak Pidana;

    5. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan Tindak Pidana yang dilakukan;

    6. Sistem Elektronik, Informasi Elektronik, atau Dokumen Elektronik yang diperoleh melalui proses forensik terhadap Sistem Elektronik yang digeledah.

Pasal 41

Dalam hal Saksi atau Tersangka menyerahkan secara sukarela Sistem Elektronik atau Dokumen Elektronik kepada PPNS untuk dijadikan alat bukti maka penyerahan Sistem Elektronik atau Dokumen Elektronik tersebut dinyatakan dalam berita acara, dan kepada yang bersangkutan diberikan surat tanda penerimaan.

Paragraf 8

Pemeriksaan

Pasal 42

  1. Dalam hal mengumpulkan bahan keterangan, PPNS mempunyai kewenangan melakukan Pemeriksaan terhadap:

    1. Saksi;

    2. Ahli; dan

    3. Tersangka.

  2. Pemanggilan terhadap Saksi dan Tersangka untuk dilakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30.

  3. Permintaan terhadap Ahli untuk dilakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30.

  4. Hasil Pemeriksaan terhadap Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dituangkan dalam berita acara Pemeriksaan Saksi.

  5. Hasil Pemeriksaan terhadap Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dituangkan dalam berita acara Pemeriksaan Ahli.

  6. Hasil Pemeriksaan terhadap Tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dituangkan dalam berita acara Pemeriksaan Tersangka.

Pasal 43

Dalam hal Pemeriksaan terhadap Saksi atau Tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf c memerlukan pendampingan Ahli, PPNS dapat mengajukan permintaan pendampingan secara tertulis kepada Ahli yang dibutuhkan dan/atau Penyidik Polri.

Pasal 44

  1. Saksi atau Ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di tingkat Penyidikan, berhak mendapat penggantian biaya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

  2. Pejabat yang melakukan pemanggilan wajib memberitahukan kepada Saksi atau Ahli tentang haknya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 45

  1. Dalam hal diperlukan Pemeriksaan barang bukti, dapat dilaksanakan melalui bantuan teknis Pemeriksaan:

    1. laboratorium forensik Sistem Elektronik; dan

    2. identifikasi.

  2. Dalam hal diperlukan penjelasan mengenai Pemeriksaan barang bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Penyidik Polri.

Paragraf 9

Pemeriksaan dan Pelaporan Bukti Elektronik

Pasal 46

  1. Dalam hal diperlukan Pemeriksaan barang bukti untuk menemukan bukti elektronik, dapat dilaksanakan melalui pengujian forensik Sistem Elektronik.

  2. Forensik terhadap Sistem Elektronik dilakukan berdasarkan prosedur sebagai berikut:

    1. identifikasi;

    2. akuisisi;

    3. pengujian dan analisa; dan

    4. dokumentasi dan pelaporan.

  3. Forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimaksudkan untuk mencari dan menemukan Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik, paling sedikit terhadap:

    1. identitas pelaku, korban, atau Saksi terkait dengan Tindak Pidana; dan/atau

    2. unsur-unsur tindak pidana.

  4. Prosedur identifikasi, akuisisi, pengujian dan analisa, serta pelaporan forensik Sistem Elektronik harus menjaga privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data.

  5. Prosedur forensik Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam petunjuk teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Pasal 47

  1. Identifikasi, akuisisi, pengujian dan analisa, serta dokumentasi dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dilakukan oleh AFSE.

  2. AFSE dalam lingkup Kementerian Komunikasi dan Informatika ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Paragraf 10

Bantuan Hukum

Pasal 48

Pemberian bantuan hukum terhadap seseorang yang diperiksa selaku Tersangka dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 11

Penyelesaian berkas

Pasal 49

  1. Penyelesaian berkas perkara merupakan kegiatan akhir dari proses Penyidikan.

  2. Ikhtisar atau kesimpulan kasus yang ditangani, dituangkan dalam resume yang telah ditentukan penulisannya.

  3. Berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan urutan yang telah ditentukan oleh PPNS sesuai dengan kebutuhan penyelesaian Penyidikan perkara yang ditangani.

Paragraf 12

Administrasi Pemberkasan

Pasal 50

  1. Administrasi Pemberkasan merupakan kegiatan penatausahaan berkas Penyidikan dan penindakan untuk menjamin ketertiban, keseragaman, dan kelancaran Penyidikan berupa kelengkapan administrasi Penyidikan, sebagai berikut:

    1. sampul berkas perkara; dan

    2. isi berkas perkara, yang disusun berdasarkan urutan yang telah ditentukan oleh PPNS sesuai dengan kebutuhan penyelesaian Penyidikan perkara yang ditangani.

  2. Contoh-contoh format sampul berkas perkara dan isi berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 51

Penyelenggaraan administrasi pemberkasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, PPNS perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. menghindari kesalahan dalam pengisian blanko dan formulir yang tersedia;

  2. melaksanakan pendataan dan pencatatan secara tertib dan teratur;

  3. melakukan pendistribusian dan pengarsipan surat-surat secara tertib dan teratur; dan

  4. dikelola oleh pegawai negeri sipil (PNS) yang ditunjuk dan diberi tugas khusus untuk kepentingan itu.

Paragraf 13

Penyerahan Perkara

Pasal 52

  1. Penyerahan perkara hasil Penyidikan oleh PPNS merupakan pelimpahan tanggung jawab suatu perkara dari PPNS ke Penuntut Umum.

  2. Pelaksanaan penyerahan perkara dalam acara Pemeriksaan meliputi:

    1. tahap pertama, yaitu penyerahan berkas perkara; dan

    2. tahap kedua, yaitu penyerahan Tersangka dan barang bukti setelah berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum.

Pasal 53

  1. Penyerahan tahap pertama berupa penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a dilaksanakan dengan surat pengantar yang ditandatangani oleh Atasan PPNS selaku penyidik.

  2. Berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Polri.

  3. PPNS memberikan salinan dari berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Penyidik Polri untuk disimpan.

  4. Apabila berkas perkara dikembalikan oleh Penuntut Umum, PPNS melengkapi sesuai petunjuk Penuntut Umum yang dalam pelaksanaannya dapat dibantu oleh Penyidik Polri.

  5. Setelah PPNS melengkapi berkas perkara sesuai petunjuk Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), PPNS wajib menyerahkan berkas perkara kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Polri dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja, sejak diterimanya petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

  6. Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari berkas perkara tidak dikembalikan oleh Penuntut Umum, Penyidikan dianggap lengkap dan PPNS menyerahkan tanggung jawab Tersangka dan barang bukti ke Penuntut Umum melalui Penyidik Polri

Pasal 54

  1. Penyerahan tahap kedua berupa penyerahan Tersangka dan barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf b, dilaksanakan setelah penyerahan berkas tahap pertama dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum (P21).

  2. Penyerahan tahap kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Penuntut Umum dilaksanakan melalui Penyidik Polri.

  3. Penyerahan Tersangka dan barang bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan surat pengantar yang ditandatangani oleh Atasan PPNS selaku penyidik.

  4. Pelaksanaan penyerahan Tersangka dan barang bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuatkan berita acaranya.

Paragraf 14

Penghentian Penyidikan

Pasal 55

Penghentian Penyidikan merupakan salah satu kegiatan penyelesaian perkara yang dilakukan apabila:

  1. tidak terdapat cukup bukti;

  2. peristiwa tersebut bukan merupakan Tindak Pidana; atau

  3. dihentikan demi hukum, karena:

    1. Tersangka meninggal dunia;

    2. tuntutan Tindak Pidana telah kadaluarsa; dan/atau

    3. Tindak Pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 56

  1. Sebelum proses penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

    1. gelar perkara yang pelaksanaannya dapat dibantu oleh Penyidik Polri;

    2. apabila hasil gelar perkara menyimpulkan bahwa syarat penghentian Penyidikan telah terpenuhi, maka diterbitkan Surat perintah penghentian Penyidikan yang ditandatangani;

    3. oleh Atasan PPNS dan surat ketetapan penghentian Penyidikan yang ditandatangani oleh PPNS;

    4. dalam hal Atasan PPNS bukan Penyidik, penandatanganan surat perintah penghentian Penyidikan dilakukan oleh PPNS dengan diketahui oleh atasannya; dan

    5. membuat surat pemberitahuan penghentian Penyidikan dan dikirimkan kepada Penuntut Umum, Penyidik Polri, dan Tersangka atau keluarga atau penasehat hukumnya.

  2. Dalam hal penghentian Penyidikan dinyatakan tidak sah oleh putusan pra-peradilan dan/atau ditemukan adanya bukti baru, PPNS wajib:

    1. menerbitkan surat ketetapan pencabutan penghentian Penyidikan;

    2. membuat surat perintah Penyidikan lanjutan; dan

    3. melanjutkan kembali Penyidikan.

Paragraf 15

Pelimpahan Penyidikan

Pasal 57

  1. Pelimpahan Penyidikan dari PPNS kepada Penyidik Polri, dapat dilaksanakan apabila:

    1. berdasarkan pertimbangan keamanan dan geografis, PPNS tidak dapat melakukan Penyidikan; dan

    2. peristiwa pidana yang ditangani, merupakan gabungan Tindak Pidana dan tindak pidana umum, kecuali tindak pidana yang bukan merupakan kewenangan Penyidik Polri.

  2. Pelimpahan Penyidikan dari PPNS kepada Penyidik Polri, dilaksanakan dengan surat pelimpahan.

  3. Dalam pelaksanaan pelimpahan Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuatkan berita acara.

  4. Pelaksanaan Penyidikan selanjutnya, dapat melibatkan PPNS terkait.

Bagian Kelima

Pengendalian

Paragraf 1

Pengendalian Penyidikan dan Penindakan

Pasal 58

  1. Pengendalian Penyidikan dan penindakan dilakukan pada tahap perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan.

  2. Pengendalian Penyidikan dan penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Atasan PPNS.

Paragraf 2

Atasan PPNS

Pasal 59

Atasan PPNS memberikan petunjuk atau arahan tentang kegiatan Penyidikan dan penindakan secara rinci dan jelas, untuk menghindari kesalahan penafsiran oleh PPNS yang akan maupun sedang melakukan Penyidikan dan penindakan.

Pasal 60

  1. Atasan PPNS dalam melakukan pengendalian Penyidikan dan penindakan dapat berkoordinasi dengan berbagai pihak baik internal maupun eksternal untuk kelancaran proses Penyidikan dan penindakan.

  2. Pelaksanaan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan melalui kontak pribadi, rapat, dan kunjungan dinas.

Pasal 61

  1. Atasan PPNS menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam Penyidikan dan penindakan secara profesional.

  2. Penyelesaian masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:

    1. koordinasi dengan pihak atau instansi terkait; dan/atau

    2. memberikan cara pemecahan masalah kepada PPNS.

BAB V

ANGGARAN

Pasal 62

Pendanaan dalam rangka pelaksanaan Penyidikan dan penindakan oleh PPNS dibebankan kepada anggaran Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika kecuali pelaksanaan koordinasi berupa bantuan dan pengawasan terhadap Penyidikan dan penindakan yang dilakukan oleh Penyidik Polri.

BAB VI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 63

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 2 Mei 2016

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

RUDIANTARA



Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 9 Mei 2016

DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

WIDODO EKATJAHJANA


Meta Keterangan
Tipe Dokumen Peraturan Perundang-undangan
Judul Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 7 Tahun 2016 tentang Administrasi Penyidikan dan Penindakan Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
T.E.U. Badan/Pengarang Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika
Nomor Peraturan 7
Jenis / Bentuk Peraturan Peraturan Menteri
Singkatan Jenis/Bentuk Peraturan PERMEN
Tempat Penetapan Jakarta
Tanggal-Bulan-Tahun Penetapan/Pengundangan 02-05-2016  /  09-05-2016
Sumber

BN (709) LL KEMKOMINFO: 41 hlm.

Subjek ADMINISTRASI PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN – TINDAK PIDANA
Status Peraturan Berlaku

Bahasa Indonesia
Lokasi BIRO HUKUM
Bidang Hukum -
Lampiran