Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Pungutan Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi

menimbang

  1. bahwaPasal 3 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Komunikasi dan Informatika sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Komunikasi dan Informatika mengamanatkan pengaturan lebih lanjut terkait dengan syarat, tata cara dan penghitungan unsur-unsur pengurang dalam peraturan menteri komunikasi dan informatika,

  2. bahwa dalam rangka pelaksanaan pencatatan dan penagihan piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak dari pungutan Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi masih diperlukan adanya suatu peraturan yang mengatur mengenai petunjuk pelaksanaan terkait dengan tata cara perhitungan BHP, penyetoran BHP, tata cara penyampaian laporan keuangan dan penetapan besaran BHP telekomunikasi, dan tata cara penyampaian keberatan atas penetapan PNBP yang terutang.

  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Petunjuk Pelaksanaan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Pungutan Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi;

mengingat

  1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1997 tentang Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3687);

  2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881);

  3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 No.57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.3694) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998, Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3760);

  4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3980);

  5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Komunikasi dan Informatika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4974) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Komunikasi dan Informatika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5171);

  6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Terutang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4995);

  7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2010 tentang Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Atas Penetapan Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Terutang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5114);

  8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2004;

  9. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;

  10. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 tentang kedudukan, tugas, dan fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2010;

  11. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 31 Tahun 2008;

  12. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 08/PER/M.KOMINFO/02/2006 tentang Interkoneksi;

  13. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 09/PER/M.KOMINFO/04/2008 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Jasa Telekomunikasi yang disalurkan melalui Jaringan Bergerak Seluler;

  14. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 15/PER/M.KOMINFO/04/2008 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Jasa Telepon Dasar yang disalurkan melalui Jaringan Tetap;

  15. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 01/PER/M.KOMINFO/01/2010 tentang Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi;

  16. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 17/PER/M.KOMINFO/10/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Komunikasi dan Informatika.

menetapkan

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARIF ATAS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI PUNGUTAN BIAYA HAK PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :

  1. Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara, badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara, yang terdiri dari penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi;

  2. Biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang selanjutnya disebut BHP Telekomunikasi adalah kewajiban yang harus dibayar oleh setiap penyelenggara telekomunikasi dan merupakan penerimaan negara bukan pajak;

  3. Pendapatan kotor adalah seluruh pendapatan penyelenggaraan telekomunikasi yang didapat dari setiap kegiatan usaha yang berkaitan dengan izin penyelenggaraan telekomunikasi yang dimilikinya;

  4. Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi.

  5. Interkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda;

  6. Ketersambungan adalah tersambungnya perangkat jasa telekomunikasi dengan jaringan telekomunikasi seperti server, simpul jasa (node) dan router.

  7. Tahun Buku adalah jangka waktu 1 (satu) tahun yang dimulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember;

  8. Bendahara Penerima adalah Bendahara penerima Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika yang diangkat oleh Menteri sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;

  9. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi;

  10. Instansi Pemeriksa adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

  11. Sekretaris Jenderal adalah Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika;

  12. Inspektur Jenderal adalah Inspektur Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika;

  13. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika;

  14. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika;

  15. Direktur adalah Direktur Pengendalian Pos dan Informatika.

Pasal 2 

Setiap penyelenggara jasa dan jaringan telekomunikasi yang telah mendapatkan izin penyelenggaraan wajib membayar BHP Telekomunikasi.

Pasal 3

Besaran BHP Telekomunikasi dipungut sebesar 0,50% (nol koma lima puluh persen) dari pendapatan kotor penyelenggaraan telekomunikasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 4 

  1. Pelaksanaan pembayaran atas pungutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 wajib dilakukan paling lambat 30 April tahun berikutnya.

  2. Pelaksanaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 dapat dilakukan per triwulan atau per semester.

Pasal 5

  1. Penetapan besaran BHP Telekomunikasi oleh penyelenggara telekomunikasi dilaksanakan berdasarkan perhitungan sendiri dengan mengacu pada laporan keuangan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik.

  2. Dalam hal penyelenggara telekomunikasi yang laporan keuangannya tidak diaudit oleh Kantor Akuntan publik, perhitungan besaran BHP Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada laporan keuangan yang ditandatangani oleh pejabat perusahaan yang berwenang.

Pasal 6 

  1. Setiap penyelenggara telekomunikasi yang laporan keuangannya diaudit oleh akuntan publik dan belum menyelesaikan laporan audit sampai dengan jatuh tempo pembayaran BHP Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), maka penetapan besaran BHP telekomunikasi dihitung berdasarkan laporan keuangan yang belum diaudit.

  2. Dalam hal BHP Telekomunikasi yang dibayarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kurang dari besaran yang dihitung berdasarkan laporan keuangan yang telah diaudit, penyelenggara telekomunikasi wajib membayar kekurangan bayar pokok dimaksud dan dikenakan sanksi adminsitratif berupa denda.

  3. Dalam hal BHP Telekomunikasi yang dibayarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari yang seharusnya dibayar berdasarkan laporan keuangan yang telah diaudit, maka kelebihan pembayaran tersebut akan diperhitungkan sebagai pembayaran dimuka atas BHP Telekomunikasi tahun berikutnya.

Pasal 7

  1. Dalam perhitungan besaran BHP Telekomunikasi, pendapatan yang tidak diperhitungkan sebagai pendapatan kotor penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yaitu pendapatan yang diperoleh dari :

    1. Penyewaan gedung dan kendaraan;

    2. Jasa konsultansi dan pendampingan;

    3. Jasa konstruksi dan pembangunan infrastruktur;

    4. Jasa integrasi dan pengembangan sistem;

    5. Jual-beli dan penyewaan barang non telekomunikasi; dan/atau

    6. Jual-beli alat dan perangkat telekomunikasi.

    7. Usaha lain diluar penyelenggaraan telekomunikasi.

  2. Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterima sebagai pendapatan yang tidak diperhitungkan sebagai pendapatan kotor sepanjang tidak terkait dengan layanan telekomunikasi atau bukan merupakan bagian dari paket penyediaan layanan telekomunikasi (bundling) yang dibuktikan dengan dokumen berupa :

    1. Kontrak kerjasama dengan pihak terkait; dan

    2. Invoice atau kwitansi penerimaan dari pihak terkait.

Pasal 8

Pendapatan kotor yang menjadi dasar perhitungan besaran BHP Telekomunikasi dapat dikurangi unsur-unsur sebagai berikut:

  1. Piutang yang nyata-nyata tidak tertagih dari penyelenggaraan telekomunikasi; dan/atau

  2. Pembayaran kewajiban biaya interkoneksi dan/atau ketersambungan jaringan telekomunikasi dengan perangkat milik penyelenggara jasa telekomunikasi.

Pasal 9

  1. Piutang yang nyata-nyata tidak tertagih sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a adalah piutang yang sudah dihapuskan yang ditetapkan dengan Rapat Umum Pemegang Saham atau yang disetarakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

  2. Jika terdapat penerimaan atas piutang yang nyata-nyata tidak tertagih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penerimaan piutang tersebut merupakan pendapatan yang dikenakan BHP Telekomunikasi.

Pasal 10

  1. Pembayaran kewajiban biaya interkoneksi dan/atau ketersambungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b adalah pembayaran kewajiban biaya keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda dan/atau biaya ketersambungan perangkat jasa telekomunikasi dengan jaringan telekomunikasi .

  2. Biaya interkoneksi dan/atau ketersambungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan biaya interkoneksi dan/atau ketersambungan yang menjadi hak penyelenggara lain sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

  3. Biaya interkoneksi yang menjadi hak penyelenggara di luar negeri bukan merupakan faktor pengurang dari pendapatan kotor yang dikenakan BHP Telekomunikasi.

  4. Daftar jenis layanan interkoneksi dan ketersambungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk setiap jenis penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dalam lampiran V yang tidak terpisahkan dalam Peraturan Menteri ini.

Pasal 11

Seluruh Penerimaan BHP Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 disetor ke Kas Negara melalui rekening Bendahara Penerima Direktorat Jenderal pada Bank Pemerintah.

Pasal 12 

  1. Penyelenggara telekomunikasi yang telah membayar BHP Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, wajib menyampaikan dokumen yang paling sedikit berupa:

    1. laporan Keuangan;

    2. daftar akun (chart of account);

    3. buku besar (general ledger);

    4. neraca percobaan (trial balance);

    5. bukti transfer pembayaran BHP Telekomunikasi; dan

    6. dokumen sebagai dasar perhitungan besaran BHP Telekomunikasi.

  2. Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah laporan keuangan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik.

  3. Khusus bagi penyelenggara telekomunikasi yang laporan keuangannya tidak diaudit oleh Kantor Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), menggunakan laporan keuangan yang ditandatangani oleh Direksi dengan melampirkan surat pernyataan tidak dilakukan audit oleh Kantor Akuntan Publik sebagaimana dalam lampiran I yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

  4. Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 1 (satu) minggu setelah pembayaran kepada Direktur Jenderal cq. Direktur dalam bentuk dokumen fisik atau elektronik dengan dilampirkan surat pernyataan kebenaran dokumen sebagaimana dalam lampiran II yang tidak terpisahkan dalam Peraturan Menteri ini.

Pasal 13

  1. Untuk keperluan penetapan besaran BHP telekomunikasi dari setiap penyelenggara telekomunikasi, Direktur Jenderal dapat melakukan pencocokan dan penelitian.

  2. Pencocokan dan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh petugas berdasarkan Surat Perintah Pelaksanaan Tugas yang diterbitkan oleh Direktur atas nama Direktur Jenderal dengan terlebih dahulu menandatangani pakta integritas sebagaimana dalam lampiran III yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

  3. Dalam pelaksanaan pencocokan dan penelitian, petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat meminta catatan dan/atau dokumen yang menjadi dasar pencatatan serta dokumen lain yang berhubungan dengan kewajiban pembayaran.

  4. Dalam pelaksanaan pencocokan dan penelitian, pihak penyelenggara telekomunikasi dapat meminta untuk dilakukan pencocokan dan penelitian setelah melakukan pembayaran dan menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 secara lengkap.

  5. Hasil pencocokan dan penelitian dituangkan dalam berita acara sesuai dengan format sebagaimana dalam lampiran IV yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 14

Dalam rangka penetapan sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (1), Direktur Jenderal dapat meminta instansi pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan terhadap penyelenggara telekomunikasi.

Pasal 15 

  1. Apabila dalam hasil penetapan besaran BHP Telekomunikasi terdapat adanya kekurangan bayar pokok, perusahaan wajib membayar kekurangan bayar pokok dimaksud dan apabila telah melebihi jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dikenakan sanksi adminsitratif berupa denda.

  2. Apabila dalam hasil penetapan besaran BHP Telekomunikasi terdapat adanya Kelebihan bayar pokok, maka kelebihan pembayaran tersebut akan diperhitungkan sebagai bagian dari pembayaran dimuka atas BHP Telekomunikasi tahun berikutnya.

Pasal 16

Penyelenggara telekomunikasi dapat mengajukan keberatan terhadap hasil penetapan besaran BHP Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penetapan dengan syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pasal 17

Setiap penyelenggara Telekomunikasi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 12 ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 18

  1. Pengenaan sanksi denda sebagai akibat dari adanya keterlambatan pembayaran atau kurang bayar pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (1) dihitung sejak tanggal jatuh tempo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

  2. Besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah BHP Telekomunikasi terutang dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh.

  3. Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

Pasal 19

  1. 1 (Satu) bulan setelah jatuh tempo pembayaran, Direktur Jenderal menerbitkan Surat Tagihan Pertama yang ditujukan terhadap penyelenggara telekomunikasi yang belum melakukan pembayaran BHP Telekomunikasi.

  2. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal Surat Tagihan Pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan Wajib Bayar belum atau tidak melunasi kewajibannya, maka diterbitkan Surat Tagihan Kedua.

  3. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal Surat Tagihan Kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan Wajib Bayar belum atau tidak melunasi kewajibannya, maka diterbitkan Surat Tagihan Ketiga.

  4. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal Surat Tagihan Ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan Wajib Bayar belum atau tidak melunasi kewajibannya, maka Wajib Bayar dimaksud dikenakan ketentuan sebagai berikut:

    1. Sanksi sesuai dengan peraturan perudang-undangan; dan/atau

    2. Penyerahan penagihan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara untuk diproses lebih lanjut penyelesaiannya.

Pasal 20

Bendahara penerima setiap bulan wajib melaporkan seluruh penerimaan BHP Telekomunikasi kepada Menteri paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya dengan tembusan kepada Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal, dan Inspektur Jenderal.

Pasal 21

  1. Pada saat peraturan menteri ini berlaku, Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor: 22/PER/M.KOMINFO/10/2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Pungutan Biaya Hak Penyelenggara Telekomunikasi masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini.

  2. Pelaksanaan pungutan Biaya Hak Penyelenggara Telekomunikasi dilakukan oleh Direktorat Jenderal berdasarkan Standar Operasional dan Prosedur yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Pasal 22

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.


PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
NOMOR 19 TAHUN 2012
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN TARIF ATAS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI PUNGUTAN BIAYA HAK PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA,

menimbang

  1. bahwaPasal 3 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Komunikasi dan Informatika sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Komunikasi dan Informatika mengamanatkan pengaturan lebih lanjut terkait dengan syarat, tata cara dan penghitungan unsur-unsur pengurang dalam peraturan menteri komunikasi dan informatika,

  2. bahwa dalam rangka pelaksanaan pencatatan dan penagihan piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak dari pungutan Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi masih diperlukan adanya suatu peraturan yang mengatur mengenai petunjuk pelaksanaan terkait dengan tata cara perhitungan BHP, penyetoran BHP, tata cara penyampaian laporan keuangan dan penetapan besaran BHP telekomunikasi, dan tata cara penyampaian keberatan atas penetapan PNBP yang terutang.

  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Petunjuk Pelaksanaan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Pungutan Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi;

mengingat

  1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1997 tentang Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3687);

  2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881);

  3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 No.57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.3694) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998, Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3760);

  4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3980);

  5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Komunikasi dan Informatika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4974) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Komunikasi dan Informatika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5171);

  6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Terutang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4995);

  7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2010 tentang Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Atas Penetapan Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Terutang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5114);

  8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2004;

  9. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;

  10. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 tentang kedudukan, tugas, dan fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2010;

  11. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 31 Tahun 2008;

  12. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 08/PER/M.KOMINFO/02/2006 tentang Interkoneksi;

  13. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 09/PER/M.KOMINFO/04/2008 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Jasa Telekomunikasi yang disalurkan melalui Jaringan Bergerak Seluler;

  14. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 15/PER/M.KOMINFO/04/2008 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Jasa Telepon Dasar yang disalurkan melalui Jaringan Tetap;

  15. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 01/PER/M.KOMINFO/01/2010 tentang Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi;

  16. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 17/PER/M.KOMINFO/10/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Komunikasi dan Informatika.



memperhatikan

memutuskan

menetapkan

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN TARIF ATAS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI PUNGUTAN BIAYA HAK PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :

  1. Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara, badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara, yang terdiri dari penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi;

  2. Biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang selanjutnya disebut BHP Telekomunikasi adalah kewajiban yang harus dibayar oleh setiap penyelenggara telekomunikasi dan merupakan penerimaan negara bukan pajak;

  3. Pendapatan kotor adalah seluruh pendapatan penyelenggaraan telekomunikasi yang didapat dari setiap kegiatan usaha yang berkaitan dengan izin penyelenggaraan telekomunikasi yang dimilikinya;

  4. Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi.

  5. Interkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda;

  6. Ketersambungan adalah tersambungnya perangkat jasa telekomunikasi dengan jaringan telekomunikasi seperti server, simpul jasa (node) dan router.

  7. Tahun Buku adalah jangka waktu 1 (satu) tahun yang dimulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember;

  8. Bendahara Penerima adalah Bendahara penerima Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika yang diangkat oleh Menteri sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;

  9. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi;

  10. Instansi Pemeriksa adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

  11. Sekretaris Jenderal adalah Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika;

  12. Inspektur Jenderal adalah Inspektur Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika;

  13. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika;

  14. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika;

  15. Direktur adalah Direktur Pengendalian Pos dan Informatika.

BAB II

BHP TELEKOMUNIKASI

Pasal 2 

Setiap penyelenggara jasa dan jaringan telekomunikasi yang telah mendapatkan izin penyelenggaraan wajib membayar BHP Telekomunikasi.

Pasal 3

Besaran BHP Telekomunikasi dipungut sebesar 0,50% (nol koma lima puluh persen) dari pendapatan kotor penyelenggaraan telekomunikasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 4 

  1. Pelaksanaan pembayaran atas pungutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 wajib dilakukan paling lambat 30 April tahun berikutnya.

  2. Pelaksanaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 dapat dilakukan per triwulan atau per semester.

BAB III

TATA CARA PERHITUNGAN BESARAN BHP TELEKOMUNIKASI

Pasal 5

  1. Penetapan besaran BHP Telekomunikasi oleh penyelenggara telekomunikasi dilaksanakan berdasarkan perhitungan sendiri dengan mengacu pada laporan keuangan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik.

  2. Dalam hal penyelenggara telekomunikasi yang laporan keuangannya tidak diaudit oleh Kantor Akuntan publik, perhitungan besaran BHP Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada laporan keuangan yang ditandatangani oleh pejabat perusahaan yang berwenang.

Pasal 6 

  1. Setiap penyelenggara telekomunikasi yang laporan keuangannya diaudit oleh akuntan publik dan belum menyelesaikan laporan audit sampai dengan jatuh tempo pembayaran BHP Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), maka penetapan besaran BHP telekomunikasi dihitung berdasarkan laporan keuangan yang belum diaudit.

  2. Dalam hal BHP Telekomunikasi yang dibayarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kurang dari besaran yang dihitung berdasarkan laporan keuangan yang telah diaudit, penyelenggara telekomunikasi wajib membayar kekurangan bayar pokok dimaksud dan dikenakan sanksi adminsitratif berupa denda.

  3. Dalam hal BHP Telekomunikasi yang dibayarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari yang seharusnya dibayar berdasarkan laporan keuangan yang telah diaudit, maka kelebihan pembayaran tersebut akan diperhitungkan sebagai pembayaran dimuka atas BHP Telekomunikasi tahun berikutnya.

Pasal 7

  1. Dalam perhitungan besaran BHP Telekomunikasi, pendapatan yang tidak diperhitungkan sebagai pendapatan kotor penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yaitu pendapatan yang diperoleh dari :

    1. Penyewaan gedung dan kendaraan;

    2. Jasa konsultansi dan pendampingan;

    3. Jasa konstruksi dan pembangunan infrastruktur;

    4. Jasa integrasi dan pengembangan sistem;

    5. Jual-beli dan penyewaan barang non telekomunikasi; dan/atau

    6. Jual-beli alat dan perangkat telekomunikasi.

    7. Usaha lain diluar penyelenggaraan telekomunikasi.

  2. Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterima sebagai pendapatan yang tidak diperhitungkan sebagai pendapatan kotor sepanjang tidak terkait dengan layanan telekomunikasi atau bukan merupakan bagian dari paket penyediaan layanan telekomunikasi (bundling) yang dibuktikan dengan dokumen berupa :

    1. Kontrak kerjasama dengan pihak terkait; dan

    2. Invoice atau kwitansi penerimaan dari pihak terkait.

Pasal 8

Pendapatan kotor yang menjadi dasar perhitungan besaran BHP Telekomunikasi dapat dikurangi unsur-unsur sebagai berikut:

  1. Piutang yang nyata-nyata tidak tertagih dari penyelenggaraan telekomunikasi; dan/atau

  2. Pembayaran kewajiban biaya interkoneksi dan/atau ketersambungan jaringan telekomunikasi dengan perangkat milik penyelenggara jasa telekomunikasi.

Pasal 9

  1. Piutang yang nyata-nyata tidak tertagih sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a adalah piutang yang sudah dihapuskan yang ditetapkan dengan Rapat Umum Pemegang Saham atau yang disetarakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

  2. Jika terdapat penerimaan atas piutang yang nyata-nyata tidak tertagih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penerimaan piutang tersebut merupakan pendapatan yang dikenakan BHP Telekomunikasi.

Pasal 10

  1. Pembayaran kewajiban biaya interkoneksi dan/atau ketersambungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b adalah pembayaran kewajiban biaya keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda dan/atau biaya ketersambungan perangkat jasa telekomunikasi dengan jaringan telekomunikasi .

  2. Biaya interkoneksi dan/atau ketersambungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan biaya interkoneksi dan/atau ketersambungan yang menjadi hak penyelenggara lain sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

  3. Biaya interkoneksi yang menjadi hak penyelenggara di luar negeri bukan merupakan faktor pengurang dari pendapatan kotor yang dikenakan BHP Telekomunikasi.

  4. Daftar jenis layanan interkoneksi dan ketersambungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk setiap jenis penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dalam lampiran V yang tidak terpisahkan dalam Peraturan Menteri ini.

BAB IV

PENYETORAN BHP TELEKOMUNIKASI

Pasal 11

Seluruh Penerimaan BHP Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 disetor ke Kas Negara melalui rekening Bendahara Penerima Direktorat Jenderal pada Bank Pemerintah.

BAB V

TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN KEUANGAN DAN PENETAPAN BESARAN BHP TELEKOMUNIKASI

Pasal 12 

  1. Penyelenggara telekomunikasi yang telah membayar BHP Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, wajib menyampaikan dokumen yang paling sedikit berupa:

    1. laporan Keuangan;

    2. daftar akun (chart of account);

    3. buku besar (general ledger);

    4. neraca percobaan (trial balance);

    5. bukti transfer pembayaran BHP Telekomunikasi; dan

    6. dokumen sebagai dasar perhitungan besaran BHP Telekomunikasi.

  2. Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah laporan keuangan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik.

  3. Khusus bagi penyelenggara telekomunikasi yang laporan keuangannya tidak diaudit oleh Kantor Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), menggunakan laporan keuangan yang ditandatangani oleh Direksi dengan melampirkan surat pernyataan tidak dilakukan audit oleh Kantor Akuntan Publik sebagaimana dalam lampiran I yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

  4. Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 1 (satu) minggu setelah pembayaran kepada Direktur Jenderal cq. Direktur dalam bentuk dokumen fisik atau elektronik dengan dilampirkan surat pernyataan kebenaran dokumen sebagaimana dalam lampiran II yang tidak terpisahkan dalam Peraturan Menteri ini.

Pasal 13

  1. Untuk keperluan penetapan besaran BHP telekomunikasi dari setiap penyelenggara telekomunikasi, Direktur Jenderal dapat melakukan pencocokan dan penelitian.

  2. Pencocokan dan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh petugas berdasarkan Surat Perintah Pelaksanaan Tugas yang diterbitkan oleh Direktur atas nama Direktur Jenderal dengan terlebih dahulu menandatangani pakta integritas sebagaimana dalam lampiran III yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

  3. Dalam pelaksanaan pencocokan dan penelitian, petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat meminta catatan dan/atau dokumen yang menjadi dasar pencatatan serta dokumen lain yang berhubungan dengan kewajiban pembayaran.

  4. Dalam pelaksanaan pencocokan dan penelitian, pihak penyelenggara telekomunikasi dapat meminta untuk dilakukan pencocokan dan penelitian setelah melakukan pembayaran dan menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 secara lengkap.

  5. Hasil pencocokan dan penelitian dituangkan dalam berita acara sesuai dengan format sebagaimana dalam lampiran IV yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 14

Dalam rangka penetapan sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (1), Direktur Jenderal dapat meminta instansi pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan terhadap penyelenggara telekomunikasi.

Pasal 15 

  1. Apabila dalam hasil penetapan besaran BHP Telekomunikasi terdapat adanya kekurangan bayar pokok, perusahaan wajib membayar kekurangan bayar pokok dimaksud dan apabila telah melebihi jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dikenakan sanksi adminsitratif berupa denda.

  2. Apabila dalam hasil penetapan besaran BHP Telekomunikasi terdapat adanya Kelebihan bayar pokok, maka kelebihan pembayaran tersebut akan diperhitungkan sebagai bagian dari pembayaran dimuka atas BHP Telekomunikasi tahun berikutnya.

BAB VI

KEBERATAN

Pasal 16

Penyelenggara telekomunikasi dapat mengajukan keberatan terhadap hasil penetapan besaran BHP Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penetapan dengan syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

BAB VII

SANKSI

Pasal 17

Setiap penyelenggara Telekomunikasi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 12 ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 18

  1. Pengenaan sanksi denda sebagai akibat dari adanya keterlambatan pembayaran atau kurang bayar pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (1) dihitung sejak tanggal jatuh tempo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

  2. Besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah BHP Telekomunikasi terutang dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh.

  3. Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

Pasal 19

  1. 1 (Satu) bulan setelah jatuh tempo pembayaran, Direktur Jenderal menerbitkan Surat Tagihan Pertama yang ditujukan terhadap penyelenggara telekomunikasi yang belum melakukan pembayaran BHP Telekomunikasi.

  2. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal Surat Tagihan Pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan Wajib Bayar belum atau tidak melunasi kewajibannya, maka diterbitkan Surat Tagihan Kedua.

  3. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal Surat Tagihan Kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan Wajib Bayar belum atau tidak melunasi kewajibannya, maka diterbitkan Surat Tagihan Ketiga.

  4. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal Surat Tagihan Ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan Wajib Bayar belum atau tidak melunasi kewajibannya, maka Wajib Bayar dimaksud dikenakan ketentuan sebagai berikut:

    1. Sanksi sesuai dengan peraturan perudang-undangan; dan/atau

    2. Penyerahan penagihan kepada instansi yang berwenang mengurus piutang negara untuk diproses lebih lanjut penyelesaiannya.

BAB VIII

PELAPORAN

Pasal 20

Bendahara penerima setiap bulan wajib melaporkan seluruh penerimaan BHP Telekomunikasi kepada Menteri paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya dengan tembusan kepada Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal, dan Inspektur Jenderal.

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 21

  1. Pada saat peraturan menteri ini berlaku, Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor: 22/PER/M.KOMINFO/10/2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Pungutan Biaya Hak Penyelenggara Telekomunikasi masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini.

  2. Pelaksanaan pungutan Biaya Hak Penyelenggara Telekomunikasi dilakukan oleh Direktorat Jenderal berdasarkan Standar Operasional dan Prosedur yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Pasal 22

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 14 Juni 2012

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

TIFATUL SEMBIRING



Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 3 Agustus 2012

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

AMIR SYAMSUDIN


Meta Keterangan
Tipe Dokumen Peraturan Perundang-undangan
Judul Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Pungutan Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi
T.E.U. Badan/Pengarang Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika
Nomor Peraturan 19
Jenis / Bentuk Peraturan Peraturan Menteri
Singkatan Jenis/Bentuk Peraturan PERMEN
Tempat Penetapan Jakarta
Tanggal-Bulan-Tahun Penetapan/Pengundangan 14-06-2012  /  03-08-2012
Sumber

BN (772) : 23 hlm.

Subjek PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK – PUNGUTAN BIAYA HAK PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI – TARIF – PETUNJUK PELAKSANAAN
Status Peraturan Berlaku

Bahasa Indonesia
Lokasi BIRO HUKUM
Bidang Hukum -
Lampiran