Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 13/P/M.KOMINFO/8/2005 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang Menggunakan Satelit

menimbang

  1. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit telah diatur ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi yang menggunakan satelit;

  2. bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu diatur lebih lanjut ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi yang menggunakan satelit dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika;

mengingat

  1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881);

  2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 139 Tahun 2002, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4252);

  3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3980);

  4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3981);

  5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2004 tentang Pengesahan Instruments Amending The Constitution and the Convention of the International Telecommunication Union, Marrakesh, 2002 (Intrumen Perubahan Konstitusi dan Konvensi Perhimpunan Telekomunikasi Internasional, Marrakesh, 2002);

  6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;

  7. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005;

  8. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.20 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.29 Tahun 2004;

  9. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.30 Tahun 2004;

  10. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 01/P/M.Kominfo/4/2005 Tahun 2005 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Komunikasi dan Informatika;

  11. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 03/P/M.Kominfo/5/2005 tentang Penyesuaian Kata Sebutan pada Beberapa Keputusan/Peraturan Menteri Perhubungan yang Mengatur Materi Muatan Khusus di Bidang Pos dan Telekomunikasi;

menetapkan

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI YANG MENGGUNAKAN SATELIT.

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :

  1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.

  2. Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi.

  3. Satelit adalah suatu benda yang beredar di ruang angkasa dan mengelilingi bumi, berfungsi sebagai stasiun radio yang menerima dan memancarkan atau memancarkan kembali dan atau menerima, memproses dan memancarkan kembali sinyal komunikasi radio.

  4. Stasiun radio adalah satu atau beberapa perangkat pemancar atau perangkat penerima atau gabungan dari perangkat pemancar dan penerima termasuk alat perlengkapan yang diperlukan di satu lokasi untuk menyelenggarakan komunikasi radio.

  5. Komunikasi radio adalah telekomunikasi dengan mempergunakan gelombang radio.

  6. Orbit satelit adalah suatu lintasan di angkasa yang dilalui oleh pusat masa satelit.

  7. Spektrum frekuensi radio adalah kumpulan pita frekuensi radio.

  8. Peraturan Radio (Radio Regulation) adalah ketentuan-ketentuan hukum internasional yang ditetapkan dalam Konstitusi (Constitution) dan Konvensi (Convention) Perhimpunan Telekomunikasi Internasional (International Telecommunication Union/ ITU) yang mengatur tata cara penggunaan frekuensi radio serta pendaftaran, koordinasi dan notifikasi frekuensi radio untuk penggunaan sistem komunikasi terrestrial maupun satelit.

  9. Satelit Indonesia adalah satelit yang didaftarkan ke ITU atas nama Administrasi Telekomunikasi Indonesia.

  10. Satelit asing adalah satelit yang didaftarkan ke ITU atas nama Administrasi Telekomunikasi negara lain.

  11. Penyelenggara satelit Indonesia adalah penyelenggara telekomunikasi yang memiliki dan atau menguasai satelit yang didaftarkan ke ITU atas nama Administrasi Telekomunikasi Indonesia.

  12. Stasiun adalah satu atau lebih pemancar atau penerima ataupun gabungan antara pemancar dan penerima, termasuk perangkat pelengkap yang diperlukan pada suatu lokasi untuk menyelenggarakan dinas komunikasi radio atau dinas radio astronomi.

  13. Stasiun Bumi adalah stasiun yang terletak di permukaan bumi atau di dalam sebagian atmosfir bumi dan dimaksudkan untuk berkomunikasi.

  14. Stasiun Angkasa adalah suatu stasiun yang terletak pada suatu benda yang berada di luar sebagian besar atmosfir bumi, yang akan melintasi sebagian besar atmosfir bumi dan atau pernah melintasi sebagian besar atmosfir bumi.

  15. Biaya Hak Penggunaan spektrum frekuensi radio, yang selanjutnya disebut BHP spektrum frekuensi radio, adalah kompensasi atas penggunaan frekuensi radio sesuai dengan izin yang diterima.

  16. Lembaga penyiaran berlangganan adalah lembaga penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dan wajib terlebih dahulu memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran berlangganan.

  17. Hak labuh (landing right) adalah hak yang diberikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri kepada penyelenggara telekomunikasi atau lembaga penyiaran berlangganan dalam rangka bekerja sama dengan penyelenggara telekomunikasi asing.

  18. Administrasi Telekomunikasi adalah negara yang diwakili oleh pemerintah negara yang bersangkutan dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban Konstitusi dan Konvensi Telekomunikasi Internasional dan peraturan yang menyertainya.

  19. Penanggung jawab administrasi telekomunikasi Indonesia adalah Menteri.

  20. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.

  21. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi.

Pasal 2 

  1. Setiap penyelenggara telekomunikasi yang menggunakan satelit wajib mendapatkan Izin Stasiun Radio (ISR) yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal.

  2. ISR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :

    1. izin stasiun angkasa; atau

    2. izin stasiun bumi.

  3. ISR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan BHP spektrum frekuensi radio, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3

  1. Izin stasiun angkasa merupakan izin penggunaan spektrum frekuensi radio di wilayah Indonesia oleh suatu stasiun angkasa.

  2. Izin stasiun angkasa meliputi setiap spektrum frekuensi radio pemancar dan atau spektrum frekuensi radio penerima suatu stasiun angkasa.

Pasal 4

  1. ISR untuk stasiun bumi yang melakukan pemancaran ke suatu stasiun angkasa dan atau penerimaan dari suatu stasiun angkasa melekat pada izin stasiun angkasa dimaksud.

  2. Setiap stasiun bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan kepada Direktur Jenderal.

  3. Direktur Jenderal menerbitkan ketentuan identitas stasiun bumi.

  4. Kewajiban mendaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi stasiun bumi yang melakukan penerimaan bebas atau tidak berbayar (free to air) dari satelit, dengan ketentuan:

    1. digunakan untuk keperluan sendiri; atau

    2. tidak didistribusikan kembali dengan tujuan untuk dipungut bayaran.

Pasal 5

Izin stasiun angkasa dapat diberikan kepada:

  1. penyelenggara jaringan telekomunikasi;

  2. penyelenggara telekomunikasi khusus untuk pertahanan dan keamanan negara; atau

  3. penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan instansi pemerintah.

Pasal 6

  1. Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a bermaksud menggunakan satelit asing, izin stasiun angkasa dapat diterbitkan setelah penyelenggara telekomunikasi memperoleh hak labuh (landing right).

  2. Hak labuh (landing right) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan syarat:

    1. satelit asing tersebut telah menyelesaikan koordinasi satelit dan atau tidak menimbulkan interferensi yang merugikan (harmful interference) dengan satelit Indonesia maupun stasiun radio yang telah berizin; dan

    2. terbukanya kesempatan yang sama bagi penyelenggara satelit Indonesia untuk berkompetisi dan beroperasi di negara asal penyelenggara satelit asing tersebut.

Pasal 7

Menteri mengumumkan secara berkala daftar stasiun angkasa yang telah memiliki izin.

Pasal 8

  1. Stasiun bumi yang melakukan pemancaran ke satelit yang tidak memiliki izin stasiun angkasa dan atau penerimaan dari satelit yang tidak memiliki izin stasiun angkasa wajib memperoleh izin stasiun bumi.

  2. Izin stasiun bumi diberlakukan untuk setiap lokasi stasiun bumi.

  3. Kewajiban memperoleh izin stasiun bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi stasiun bumi yang melakukan penerimaan bebas atau tidak berbayar (free to air) dari satelit yang tidak memiliki izin stasiun angkasa, dengan ketentuan:

    1. digunakan untuk keperluan sendiri; dan

    2. tidak didistribusikan kembali dengan tujuan untuk dipungut bayaran.

Pasal 9

  1. Izin stasiun bumi diterbitkan setelah penyelenggara telekomunikasi memperoleh hak labuh (landing right).

  2. Hak labuh (landing right) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan syarat:

    1. satelit yang akan digunakan tidak menimbulkaninterferensi yang merugikan (harmful interference) terhadap satelit Indonesia maupun satelit lain yang telah memiliki izin stasiun angkasa serta terhadap stasiun radio yang telah berizin; dan

    2. terbukanya kesempatan yang sama bagi penyelenggara satelit Indonesia untuk berkompetisi dan beroperasi di negara asal penyelenggara satelit tersebut.

Pasal 10

  1. Calon penyelenggara satelit Indonesia wajib mengajukan permohonan pendaftaran satelit ke International Telecommunication Union (ITU) secara tertulis kepada Menteri.

  2. Permohonan pendaftaran satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melampirkan:

    1. data-data spektrum frekuensi radio yang digunakan;

    2. daerah cakupan;

    3. jumlah transponder;

    4. umur satelit;

    5. keterangan analisis pemilihan lokasi orbit dan sistem yang akan digunakan;

    6. surat pernyataan sanggup melaksanakan koordinasi satelit;

    7. surat pernyataan sanggup mengikuti prosedur pendaftaran satelit;

    8. surat pernyataan sanggup menanggung biaya pendaftaran satelit yang ditetapkan oleh ITU; dan

    9. surat pernyataan sanggup memenuhi seluruh persyaratan lain yang ditetapkan oleh ITU.

  3. Permohonan pendaftaran satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan ke ITU setelah melalui evaluasi.

Pasal 11

  1. Pendaftaran satelit mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam Peraturan Radio (Radio Regulation).

  2. Pendaftaran satelit dilaksanakan melalui tahapan :

    1. Publikasi Awal (Advanced Publication);

    2. Koordinasi (Coordination);

    3. Pemeriksaan Menyeluruh (Due Diligence); dan

    4. Notifikasi (Notification).

Pasal 12

  1. Berkas permohonan pendaftaran satelit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) akan dikembalikan kepada pemohon apabila:

    1. terdapat kekurangan persyaratan sebagaimana ditetapkan oleh ITU atau tidak dilengkapi dengan informasi atau data yang dibutuhkan; atau

    2. terdapat permintaan klarifikasi berupa tambahan informasi dari ITU.

  2. Pemohon wajib melengkapi setiap permintaan informasi tambahan yang dibutuhkan ITU dan atau Administrasi Telekomunikasi negara lain apabila diperlukan dalam proses pendaftaran satelit ke ITU.

  3. Berkas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan kembali setelah persyaratan dilengkapi dalam jangka waktu sesuai ketentuan ITU.

Pasal 13

  1. Koordinasi satelit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b wajib dilakukan oleh pemohon pendaftaran satelit terhadap semua penyelenggara satelit terkait, baik penyelenggara satelit Indonesia maupun penyelenggara satelit asing.

  2. Setiap kesepakatan yang dicapai dalam koordinasi satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mendapat persetujuan Menteri.

Pasal 14

Pendaftaran satelit yang telah selesai dikoordinasikan dengan semua penyelenggara satelit terkait diajukan oleh Menteri kepada ITU untuk mendapatkan status Notifikasi (Notification).

Pasal 15

Pemohon pendaftaran satelit yang telah mendapat status Notifikasi (Notification) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, wajib mengikuti koordinasi tambahan apabila ada:

  1. modifikasi atas sistem yang digunakan;

  2. permintaan koordinasi dari negara lain.

Pasal 16

  1. Calon penyelenggara satelit Indonesia wajib menyerahkan rencana pengadaan satelit kepada Menteri.

  2. Rencana pengadaan satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. analisis manajemen; dan

    2. analisis teknik.

  3. Analisis manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:

    1. rencana proyek dan bisnis;

    2. kepemilikan saham;

    3. profil perusahaan pembuat satelit;

    4. profil perusahaan peluncur satelit;

    5. rencana kemajuan dan monitoring yang menunjukkan pencapaian kemajuan pengadaan satelit;

    6. asuransi.

  4. Analisis teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:

    1. jenis satelit;

    2. interferensi;

    3. konstruksi satelit;

    4. peluncuran satelit;

    5. pengujian penempatan satelit di orbit (in orbit test).

Pasal 17

Calon penyelenggara satelit Indonesia wajib melaporkan kepada Menteri secara berkala perkembangan kemajuan dan monitoring yang menunjukkan pencapaian kemajuan pengadaan satelit sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun.

Pasal 18

Pengadaan kendaraan peluncur satelit wajib dilaporkan kepada Menteri.

Pasal 19

  1. Kegiatan peluncuran dan atau penempatan satelit pada orbit wajib dilaporkan kepada Menteri.

  2. Dalam hal terjadi kerugian perdata terhadap suatu negara atau pihak lain akibat kegiatan peluncuran dan pengoperasian satelit, penyelenggara satelit dan penyedia kendaraan peluncur satelit tersebut bertanggung jawab secara perdata terhadap penanggulangan ganti rugi perdata dimaksud dan wajib melaporkan kepada Menteri.

Pasal 20

Setelah satelit diluncurkan dan beroperasi, Menteri melakukan koordinasi dengan Menteri Luar Negeri atas penggunaan satelit di ruang angkasa.

Pasal 21

Dalam hal calon penyelenggara satelit Indonesia tidak menggunakan pendaftaran satelit tersebut akibat suatu satelit habis masa operasinya atau disebabkan tidak dapat berfungsi sesuai dengan rencana penggunaannya, Menteri dapat mengambilalih pengelolaan pendaftaran dan pengkoordinasian satelit yang telah didaftarkan ke ITU oleh Administrasi Telekomunikasi Indonesia.

Pasal 22

Dalam hal satelit Indonesia telah mencapai akhir masa operasi normalnya atau tidak dapat berfungsi sesuai dengan rencana penggunaannya (anomali), penyelenggara telekomunikasi yang memiliki dan atau menguasai satelit dimaksud wajib:

  1. membuang satelit telekomunikasi dari lokasi orbitnya (deorbit) yang pelaksanaannya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau

  2. memindahkan satelit telekomunikasi ke lokasi orbit lain apabila satelit akan dimanfaatkan kembali dengan prinsip tidak mengganggu satelit lain yang beroperasi berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 23

  1. Biaya Hak Penggunaan (BHP) orbit satelit dikenakan kepada calon penyelenggara satelit Indonesia dalam proses seleksi pemanfaatan pendaftaran satelit yang telah dialokasikan oleh ITU kepada Indonesia.

  2. Pendaftaran satelit yang diberikan ITU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. pendaftaran satelit pada pita yang telah direncanakan untuk Dinas Tetap Satelit (Fixed Satellite Service) dengan jangkauan wilayah Indonesia, yang ditentukan dalam Peraturan Radio ITU (Appendiks 30B);

    2. pendaftaran satelit pada pita yang telah direncanakan untuk Dinas Siaran Satelit (Satellite Broadcast Service) dengan jangkauan teritori Indonesia, yang ditentukan dalam Peraturan Radio ITU (Appendiks 30 dan 30A).

  3. BHP orbit satelit wajib dibayar di muka sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  4. Metoda seleksi pemanfaatan satelit yang telah dialokasikan oleh ITU kepada Indonesia diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri.

Pasal 24

Calon penyelenggara satelit Indonesia dikenakan biaya pendaftaran satelit ke ITU yang besarnya ditetapkan oleh ITU.

Pasal 25

Pelanggaran terhadap Peraturan ini dikenakan sanksi sebagaimana yang dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

Pasal 28

  1. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan izin penyelenggaraan telekomunikasi.

  2. Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberikan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu peringatan masing-masing 7 (tujuh) hari kerja.

Pasal 29

Dengan berlakunya Peraturan ini, penyelenggara telekomunikasi yang telah menggunakan satelit tetap dapat melakukan kegiatannya, dengan ketentuan selambat-lambatnya dalam waktu 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan ini wajib menyesuaikan dengan Peraturan ini.

Pasal 30

Dengan berlakunya Peraturan ini, semua peraturan perundang-undangan yang setara dan lebih rendah dari Peraturan ini yang mengatur tentang penyelenggaraan telekomunikasi yang menggunakan satelit dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan ini .

Pasal 31

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
NOMOR 13 TAHUN 2005
TENTANG
PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI YANG MENGGUNAKAN SATELIT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA,

menimbang

  1. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit telah diatur ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi yang menggunakan satelit;

  2. bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu diatur lebih lanjut ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi yang menggunakan satelit dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika;

mengingat

  1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881);

  2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 139 Tahun 2002, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4252);

  3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3980);

  4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3981);

  5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2004 tentang Pengesahan Instruments Amending The Constitution and the Convention of the International Telecommunication Union, Marrakesh, 2002 (Intrumen Perubahan Konstitusi dan Konvensi Perhimpunan Telekomunikasi Internasional, Marrakesh, 2002);

  6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;

  7. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005;

  8. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.20 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.29 Tahun 2004;

  9. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.30 Tahun 2004;

  10. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 01/P/M.Kominfo/4/2005 Tahun 2005 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Komunikasi dan Informatika;

  11. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 03/P/M.Kominfo/5/2005 tentang Penyesuaian Kata Sebutan pada Beberapa Keputusan/Peraturan Menteri Perhubungan yang Mengatur Materi Muatan Khusus di Bidang Pos dan Telekomunikasi;



memperhatikan

memutuskan

menetapkan

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI YANG MENGGUNAKAN SATELIT.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :

  1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.

  2. Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi.

  3. Satelit adalah suatu benda yang beredar di ruang angkasa dan mengelilingi bumi, berfungsi sebagai stasiun radio yang menerima dan memancarkan atau memancarkan kembali dan atau menerima, memproses dan memancarkan kembali sinyal komunikasi radio.

  4. Stasiun radio adalah satu atau beberapa perangkat pemancar atau perangkat penerima atau gabungan dari perangkat pemancar dan penerima termasuk alat perlengkapan yang diperlukan di satu lokasi untuk menyelenggarakan komunikasi radio.

  5. Komunikasi radio adalah telekomunikasi dengan mempergunakan gelombang radio.

  6. Orbit satelit adalah suatu lintasan di angkasa yang dilalui oleh pusat masa satelit.

  7. Spektrum frekuensi radio adalah kumpulan pita frekuensi radio.

  8. Peraturan Radio (Radio Regulation) adalah ketentuan-ketentuan hukum internasional yang ditetapkan dalam Konstitusi (Constitution) dan Konvensi (Convention) Perhimpunan Telekomunikasi Internasional (International Telecommunication Union/ ITU) yang mengatur tata cara penggunaan frekuensi radio serta pendaftaran, koordinasi dan notifikasi frekuensi radio untuk penggunaan sistem komunikasi terrestrial maupun satelit.

  9. Satelit Indonesia adalah satelit yang didaftarkan ke ITU atas nama Administrasi Telekomunikasi Indonesia.

  10. Satelit asing adalah satelit yang didaftarkan ke ITU atas nama Administrasi Telekomunikasi negara lain.

  11. Penyelenggara satelit Indonesia adalah penyelenggara telekomunikasi yang memiliki dan atau menguasai satelit yang didaftarkan ke ITU atas nama Administrasi Telekomunikasi Indonesia.

  12. Stasiun adalah satu atau lebih pemancar atau penerima ataupun gabungan antara pemancar dan penerima, termasuk perangkat pelengkap yang diperlukan pada suatu lokasi untuk menyelenggarakan dinas komunikasi radio atau dinas radio astronomi.

  13. Stasiun Bumi adalah stasiun yang terletak di permukaan bumi atau di dalam sebagian atmosfir bumi dan dimaksudkan untuk berkomunikasi.

  14. Stasiun Angkasa adalah suatu stasiun yang terletak pada suatu benda yang berada di luar sebagian besar atmosfir bumi, yang akan melintasi sebagian besar atmosfir bumi dan atau pernah melintasi sebagian besar atmosfir bumi.

  15. Biaya Hak Penggunaan spektrum frekuensi radio, yang selanjutnya disebut BHP spektrum frekuensi radio, adalah kompensasi atas penggunaan frekuensi radio sesuai dengan izin yang diterima.

  16. Lembaga penyiaran berlangganan adalah lembaga penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dan wajib terlebih dahulu memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran berlangganan.

  17. Hak labuh (landing right) adalah hak yang diberikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri kepada penyelenggara telekomunikasi atau lembaga penyiaran berlangganan dalam rangka bekerja sama dengan penyelenggara telekomunikasi asing.

  18. Administrasi Telekomunikasi adalah negara yang diwakili oleh pemerintah negara yang bersangkutan dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban Konstitusi dan Konvensi Telekomunikasi Internasional dan peraturan yang menyertainya.

  19. Penanggung jawab administrasi telekomunikasi Indonesia adalah Menteri.

  20. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.

  21. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi.

BAB II

PERIZINAN PENGGUNAAN SATELIT

Bagian Pertama

Izin Stasiun Radio

Pasal 2 

  1. Setiap penyelenggara telekomunikasi yang menggunakan satelit wajib mendapatkan Izin Stasiun Radio (ISR) yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal.

  2. ISR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :

    1. izin stasiun angkasa; atau

    2. izin stasiun bumi.

  3. ISR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan BHP spektrum frekuensi radio, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kedua

Izin Stasiun Angkasa

Pasal 3

  1. Izin stasiun angkasa merupakan izin penggunaan spektrum frekuensi radio di wilayah Indonesia oleh suatu stasiun angkasa.

  2. Izin stasiun angkasa meliputi setiap spektrum frekuensi radio pemancar dan atau spektrum frekuensi radio penerima suatu stasiun angkasa.

Pasal 4

  1. ISR untuk stasiun bumi yang melakukan pemancaran ke suatu stasiun angkasa dan atau penerimaan dari suatu stasiun angkasa melekat pada izin stasiun angkasa dimaksud.

  2. Setiap stasiun bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan kepada Direktur Jenderal.

  3. Direktur Jenderal menerbitkan ketentuan identitas stasiun bumi.

  4. Kewajiban mendaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi stasiun bumi yang melakukan penerimaan bebas atau tidak berbayar (free to air) dari satelit, dengan ketentuan:

    1. digunakan untuk keperluan sendiri; atau

    2. tidak didistribusikan kembali dengan tujuan untuk dipungut bayaran.

Pasal 5

Izin stasiun angkasa dapat diberikan kepada:

  1. penyelenggara jaringan telekomunikasi;

  2. penyelenggara telekomunikasi khusus untuk pertahanan dan keamanan negara; atau

  3. penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan instansi pemerintah.

Pasal 6

  1. Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a bermaksud menggunakan satelit asing, izin stasiun angkasa dapat diterbitkan setelah penyelenggara telekomunikasi memperoleh hak labuh (landing right).

  2. Hak labuh (landing right) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan syarat:

    1. satelit asing tersebut telah menyelesaikan koordinasi satelit dan atau tidak menimbulkan interferensi yang merugikan (harmful interference) dengan satelit Indonesia maupun stasiun radio yang telah berizin; dan

    2. terbukanya kesempatan yang sama bagi penyelenggara satelit Indonesia untuk berkompetisi dan beroperasi di negara asal penyelenggara satelit asing tersebut.

Pasal 7

Menteri mengumumkan secara berkala daftar stasiun angkasa yang telah memiliki izin.

Bagian Ketiga

Izin Stasiun Bumi

Pasal 8

  1. Stasiun bumi yang melakukan pemancaran ke satelit yang tidak memiliki izin stasiun angkasa dan atau penerimaan dari satelit yang tidak memiliki izin stasiun angkasa wajib memperoleh izin stasiun bumi.

  2. Izin stasiun bumi diberlakukan untuk setiap lokasi stasiun bumi.

  3. Kewajiban memperoleh izin stasiun bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi stasiun bumi yang melakukan penerimaan bebas atau tidak berbayar (free to air) dari satelit yang tidak memiliki izin stasiun angkasa, dengan ketentuan:

    1. digunakan untuk keperluan sendiri; dan

    2. tidak didistribusikan kembali dengan tujuan untuk dipungut bayaran.

Pasal 9

  1. Izin stasiun bumi diterbitkan setelah penyelenggara telekomunikasi memperoleh hak labuh (landing right).

  2. Hak labuh (landing right) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan syarat:

    1. satelit yang akan digunakan tidak menimbulkan
      interferensi yang merugikan (harmful interference) terhadap satelit Indonesia maupun satelit lain yang telah memiliki izin stasiun angkasa serta terhadap stasiun radio yang telah berizin; dan

    2. terbukanya kesempatan yang sama bagi penyelenggara satelit Indonesia untuk berkompetisi dan beroperasi di negara asal penyelenggara satelit tersebut.

BAB III

PENYELENGGARAAN SATELIT INDONESIA

Bagian Pertama

Pendaftaran Satelit Indonesia ke International Telecommunication Union

Pasal 10

  1. Calon penyelenggara satelit Indonesia wajib mengajukan permohonan pendaftaran satelit ke International Telecommunication Union (ITU) secara tertulis kepada Menteri.

  2. Permohonan pendaftaran satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melampirkan:

    1. data-data spektrum frekuensi radio yang digunakan;

    2. daerah cakupan;

    3. jumlah transponder;

    4. umur satelit;

    5. keterangan analisis pemilihan lokasi orbit dan sistem yang akan digunakan;

    6. surat pernyataan sanggup melaksanakan koordinasi satelit;

    7. surat pernyataan sanggup mengikuti prosedur pendaftaran satelit;

    8. surat pernyataan sanggup menanggung biaya pendaftaran satelit yang ditetapkan oleh ITU; dan

    9. surat pernyataan sanggup memenuhi seluruh persyaratan lain yang ditetapkan oleh ITU.

  3. Permohonan pendaftaran satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan ke ITU setelah melalui evaluasi.

Pasal 11

  1. Pendaftaran satelit mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam Peraturan Radio (Radio Regulation).

  2. Pendaftaran satelit dilaksanakan melalui tahapan :

    1. Publikasi Awal (Advanced Publication);

    2. Koordinasi (Coordination);

    3. Pemeriksaan Menyeluruh (Due Diligence); dan

    4. Notifikasi (Notification).

Pasal 12

  1. Berkas permohonan pendaftaran satelit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) akan dikembalikan kepada pemohon apabila:

    1. terdapat kekurangan persyaratan sebagaimana ditetapkan oleh ITU atau tidak dilengkapi dengan informasi atau data yang dibutuhkan; atau

    2. terdapat permintaan klarifikasi berupa tambahan informasi dari ITU.

  2. Pemohon wajib melengkapi setiap permintaan informasi tambahan yang dibutuhkan ITU dan atau Administrasi Telekomunikasi negara lain apabila diperlukan dalam proses pendaftaran satelit ke ITU.

  3. Berkas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan kembali setelah persyaratan dilengkapi dalam jangka waktu sesuai ketentuan ITU.

Pasal 13

  1. Koordinasi satelit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b wajib dilakukan oleh pemohon pendaftaran satelit terhadap semua penyelenggara satelit terkait, baik penyelenggara satelit Indonesia maupun penyelenggara satelit asing.

  2. Setiap kesepakatan yang dicapai dalam koordinasi satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mendapat persetujuan Menteri.

Pasal 14

Pendaftaran satelit yang telah selesai dikoordinasikan dengan semua penyelenggara satelit terkait diajukan oleh Menteri kepada ITU untuk mendapatkan status Notifikasi (Notification).

Pasal 15

Pemohon pendaftaran satelit yang telah mendapat status Notifikasi (Notification) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, wajib mengikuti koordinasi tambahan apabila ada:

  1. modifikasi atas sistem yang digunakan;

  2. permintaan koordinasi dari negara lain.

Bagian Kedua

Pengadaan Satelit

Pasal 16

  1. Calon penyelenggara satelit Indonesia wajib menyerahkan rencana pengadaan satelit kepada Menteri.

  2. Rencana pengadaan satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. analisis manajemen; dan

    2. analisis teknik.

  3. Analisis manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:

    1. rencana proyek dan bisnis;

    2. kepemilikan saham;

    3. profil perusahaan pembuat satelit;

    4. profil perusahaan peluncur satelit;

    5. rencana kemajuan dan monitoring yang menunjukkan pencapaian kemajuan pengadaan satelit;

    6. asuransi.

  4. Analisis teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:

    1. jenis satelit;

    2. interferensi;

    3. konstruksi satelit;

    4. peluncuran satelit;

    5. pengujian penempatan satelit di orbit (in orbit test).

Pasal 17

Calon penyelenggara satelit Indonesia wajib melaporkan kepada Menteri secara berkala perkembangan kemajuan dan monitoring yang menunjukkan pencapaian kemajuan pengadaan satelit sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun.

Bagian Ketiga

Pengadaan Kendaraan Peluncur Satelit Kegiatan Peluncuran Satelit dan Tanggung Jawab Perdata

Pasal 18

Pengadaan kendaraan peluncur satelit wajib dilaporkan kepada Menteri.

Pasal 19

  1. Kegiatan peluncuran dan atau penempatan satelit pada orbit wajib dilaporkan kepada Menteri.

  2. Dalam hal terjadi kerugian perdata terhadap suatu negara atau pihak lain akibat kegiatan peluncuran dan pengoperasian satelit, penyelenggara satelit dan penyedia kendaraan peluncur satelit tersebut bertanggung jawab secara perdata terhadap penanggulangan ganti rugi perdata dimaksud dan wajib melaporkan kepada Menteri.

Pasal 20

Setelah satelit diluncurkan dan beroperasi, Menteri melakukan koordinasi dengan Menteri Luar Negeri atas penggunaan satelit di ruang angkasa.

Bagian Keempat

Akhir Masa Operasi

Pasal 21

Dalam hal calon penyelenggara satelit Indonesia tidak menggunakan pendaftaran satelit tersebut akibat suatu satelit habis masa operasinya atau disebabkan tidak dapat berfungsi sesuai dengan rencana penggunaannya, Menteri dapat mengambilalih pengelolaan pendaftaran dan pengkoordinasian satelit yang telah didaftarkan ke ITU oleh Administrasi Telekomunikasi Indonesia.

Pasal 22

Dalam hal satelit Indonesia telah mencapai akhir masa operasi normalnya atau tidak dapat berfungsi sesuai dengan rencana penggunaannya (anomali), penyelenggara telekomunikasi yang memiliki dan atau menguasai satelit dimaksud wajib:

  1. membuang satelit telekomunikasi dari lokasi orbitnya (deorbit) yang pelaksanaannya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau

  2. memindahkan satelit telekomunikasi ke lokasi orbit lain apabila satelit akan dimanfaatkan kembali dengan prinsip tidak mengganggu satelit lain yang beroperasi berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kelima

Biaya Hak Penggunaan Orbit Satelit

Pasal 23

  1. Biaya Hak Penggunaan (BHP) orbit satelit dikenakan kepada calon penyelenggara satelit Indonesia dalam proses seleksi pemanfaatan pendaftaran satelit yang telah dialokasikan oleh ITU kepada Indonesia.

  2. Pendaftaran satelit yang diberikan ITU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. pendaftaran satelit pada pita yang telah direncanakan untuk Dinas Tetap Satelit (Fixed Satellite Service) dengan jangkauan wilayah Indonesia, yang ditentukan dalam Peraturan Radio ITU (Appendiks 30B);

    2. pendaftaran satelit pada pita yang telah direncanakan untuk Dinas Siaran Satelit (Satellite Broadcast Service) dengan jangkauan teritori Indonesia, yang ditentukan dalam Peraturan Radio ITU (Appendiks 30 dan 30A).

  3. BHP orbit satelit wajib dibayar di muka sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  4. Metoda seleksi pemanfaatan satelit yang telah dialokasikan oleh ITU kepada Indonesia diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri.

Bagian Keenam

Biaya Pendaftaran Satelit ke ITU

Pasal 24

Calon penyelenggara satelit Indonesia dikenakan biaya pendaftaran satelit ke ITU yang besarnya ditetapkan oleh ITU.

BAB IV

SANKSI

Pasal 25

Pelanggaran terhadap Peraturan ini dikenakan sanksi sebagaimana yang dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

Pasal 28

  1. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan izin penyelenggaraan telekomunikasi.

  2. Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberikan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu peringatan masing-masing 7 (tujuh) hari kerja.

BAB V

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 29

Dengan berlakunya Peraturan ini, penyelenggara telekomunikasi yang telah menggunakan satelit tetap dapat melakukan kegiatannya, dengan ketentuan selambat-lambatnya dalam waktu 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan ini wajib menyesuaikan dengan Peraturan ini.

BAB VI

PENUTUP

Pasal 30

Dengan berlakunya Peraturan ini, semua peraturan perundang-undangan yang setara dan lebih rendah dari Peraturan ini yang mengatur tentang penyelenggaraan telekomunikasi yang menggunakan satelit dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan ini .

Pasal 31

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di JAKARTA

Pada tanggal 2005

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA,

ttd

SOFYAN A. DJALIL


Meta Keterangan
Tipe Dokumen Peraturan Perundang-undangan
Judul Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 13/P/M.KOMINFO/8/2005 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang Menggunakan Satelit
T.E.U. Badan/Pengarang Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika
Nomor Peraturan 13
Jenis / Bentuk Peraturan Peraturan Menteri
Singkatan Jenis/Bentuk Peraturan PERMEN
Tempat Penetapan Jakarta
Tanggal-Bulan-Tahun Penetapan/Pengundangan 01-08-2005  /  01-08-2005
Sumber
Subjek MENGGUNAKAN SATELIT – PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI
Status Peraturan Berlaku

Keterangan
Diubah:

Diubah dengan PERMENKOMINFO No. 37/P/M.KOMINFO/12/2006

Bahasa Indonesia
Lokasi BIRO HUKUM
Bidang Hukum -
Lampiran