Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 08/Per/M.KOMINFO/02/2006 tentang Interkoneksi

menimbang

  1. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi telah diatur ketentuan tentang interkoneksi penyelenggaraan telekomunikasi;

  2. bahwa untuk menjamin kepastian dan transparansi penyediaan dan pelayanan interkoneksi antar penyelenggara telekomunikasi, perlu ditetapkan ketentuan tentang interkoneksi antar penyelenggara telekomunikasi dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika.

mengingat

  1. Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor : 154, Tambahan Lembaran Negara Nomor: 3881);

  2. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor : 107, Tambahan Lembaran Negara Nomor : 3980);

  3. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.4 Tahun 2001 tentang Penetapan Fundamental Technical Plan Nasional 2000 sebagaimana telah diubah dengan keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 28 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 6 Tahun 2005;

  4. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM.20 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM.29 Tahun 2004;

  5. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM.21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM.30 Tahun 2004;

  6. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM.23 Tahun 2002 tentang Internet Teleponi untuk Keperluan Publik sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 32 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 7 Tahun 2005;

  7. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM.31 Tahun 2003 tentang Penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia;

  8. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 01/P./M./KOMINFO/04/05 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Komunikasi dan Informatika;

  9. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM. 33 Tahun 2004 tentang Pengawasan Kompetisi yang Sehat dalam Penyelenggaraan Jaringan Tetap dan Jasa Teleponi Dasar;

  10. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 3/P./M. Kominfo/5/2005 tentang Penyesuaian Kata Sebutan pada Beberapa Keputusan/Peraturan Menteri Perhubungan yang Mengatur Materi Muatan Khusus di Bidang Pos dan Telekomunikasi;

menetapkan

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG INTERKONEKSI

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Interkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda;

  2. Biaya interkoneksi adalah biaya yang dibebankan sebagai akibat adanya saling keterhubungan antar jaringan telekomunikasi yang berbeda, dan atau ketersambungan jaringan telekomunikasi dengan perangkat milik penyelenggara jasa telekomunikasi;

  3. Dokumen Penawaran Interkoneksi yang selanjutnya disebut DPI adalah dokumen yang memuat aspek teknis, aspek operasional dan aspek ekonomis dari penyediaan layanan interkoneksi yang ditawarkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi kepada penyelenggara jaringan dan atau penyelenggara jasa lainnya;

  4. Pencari akses adalah penyelenggara jaringan telekomunikasi atau penyelenggara jasa telekomunikasi yang mengajukan permohonan layanan interkoneksi dan akses terhadap fasilitas penting untuk interkoneksi kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya;

  5. Penyedia akses adalah penyelenggara jaringan telekomunikasi yang menyediakan layanan interkoneksi dan akses terhadap fasilitas penting untuk interkoneksi bagi penyelenggara jaringan atau penyelenggara jasa telekomunikasi lainnya;

  6. Penyelenggara asal adalah penyelenggara jaringan telekomunikasi dari mana trafik berasal atau yang membangkitkan trafik interkoneksi kepada penyelenggara telekomunikasi berikutnya dalam suatu panggilan interkoneksi;

  7. Penyelenggara tujuan adalah penyelenggara jaringan telekomunikasi yang mengakhiri suatu panggilan interkoneksi;

  8. Titik interkoneksi (Point of Interconnection) adalah titik atau lokasi dimana terjadi interkoneksi secara fisik, dan merupakan batas bagian yang menjadi milik penyelenggara jaringan yang satu dari bagian yang menjadi milik penyelenggara jaringan dan atau penyelenggara jasa yang lain, yang merupakan titik batas wewenang dan tanggung jawab mengenai penyediaan, pengelolaan dan pemeliharaan jaringan;

  9. Titik pembebanan (Point of Charge) adalah titik referensi yang merupakan lokasi geografis untuk menetapkan besaran biaya interkoneksi dan tanggung jawab terhadap panggilan interkoneksi;

  10. Originasi adalah pembangkitan panggilan interkoneksi dari jaringan penyelenggara asal;

  11. Transit adalah penyaluran panggilan interkoneksi dari penyelenggara asal kepada penyelenggara tujuan melalui penyelenggara jaringan lainnya;

  12. Terminasi adalah pengakhiran panggilan interkoneksi di jaringan penyelenggara tujuan;

  13. Formula perhitungan adalah formula yang ditetapkan dan digunakan dalam menghitung besaran biaya interkoneksi;

  14. Metode alokasi biaya dan laporan finansial kepada regulator untuk keperluan interkoneksi adalah tata cara dalam pencatatan segala aktivitas akuntansi dari suatu penyediaan layanan telekomunikasi;

  15. Laporan finansial kepada regulator (Regulatory Financial Report) adalah bentuk pelaporan keuangan yang harus dipenuhi oleh penyelenggara dalam rangka menghitung besaran biaya interkoneksi dari layanan interkoneksi yang disediakan oleh penyelenggara tersebut;

  16. Mediasi adalah penyelesaian perselisihan interkoneksi oleh BRTI yang bertindak sebagai mediator atau penengah;

  17. Arbitrase perselisihan interkoneksi adalah penyelesaian perselisihan interkoneksi yang dilaksanakan oleh BRTI;

  18. Hari kerja adalah hari Senin sampai dengan Jumat, kecuali hari hari libur nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah;

  19. Jam kerja adalah pukul 07.30 WIB sampai dengan 16.30 WIB;

  20. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi;

  21. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi;

  22. BRTI adalah Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia.

Pasal 2

  1. Interkoneksi wajib dilaksanakan untuk memberikan jaminan kepada pengguna agar dapat mengakses jasa telekomunikasi;

  2. Interkoneksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disediakan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi berdasarkan permintaan.

Pasal 3

  1. Dalam memberikan jaminan kepada pengguna agar dapat mengakses jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), penyelenggara jaringan telekomunikasi menyediakan ketersambungan dengan perangkat milik penyelenggara jasa telekomunikasi.

  2. Ketersambungan perangkat milik penyelenggara jasa telekomunikasi dengan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara transparan dan tidak diskriminatif.

Pasal 4

Layanan dari interkoneksi dan ketersambungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dapat terdiri dari:

  1. Layanan originasi;

  2. Layanan transit;

  3. Layanan terminasi.

Pasal 5

  1. Layanan originasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 huruf a. merupakan pembangkitan panggilan yang berasal dari satu penyelenggara kepada penyelenggara lain;

  2. Pembangkitan panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari:

    1. Penyelenggara jaringan tetap lokal;

    2. Penyelenggara jaringan bergerak selular; atau

    3. Penyelenggara jaringan bergerak satelit.

  3. Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat memberikan layanan originasi :

    1. lokal;

    2. jarak jauh;

    3. internasional;

    4. bergerak selular; atau

    5. bergerak satelit.

  4. Layanan originasi lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a. merupakan pembangkitan panggilan oleh penyelenggara jaringan asal dimana titik interkoneksi berada pada area pembebanan yang sama dengan area pembebanan penyelenggara tujuan;

  5. Layanan originasi jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b. merupakan pembangkitan panggilan oleh penyelenggara jaringan asal dimana titik interkoneksi berada pada area pembebanan yang berbeda dengan area pembebanan penyelenggara tujuan;

  6. Layanan originasi internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c. merupakan pembangkitan panggilan oleh penyelenggara jaringan asal dengan menggunakan kode akses milik penyelenggara jasa teleponi dasar sambungan internasional;

  7. Layanan originasi bergerak selular sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d. merupakan pembangkitan panggilan yang berasal dari penyelenggara jaringan bergerak selular kepada penyelenggara tujuan;

  8. Layanan originasi bergerak satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e. merupakan pembangkitan panggilan yang berasal dari penyelenggara jaringan bergerak satelit kepada penyelenggara tujuan.

Pasal 6

  1. Layanan transit sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 huruf b. merupakan penyediaan jaringan atau elemen jaringan untuk keperluan penyaluran panggilan interkoneksi dari penyelenggara asal kepada penyelenggara tujuan panggilan interkoneksi;

  2. Layanan transit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri dari:

    1. lokal; atau

    2. jarak jauh.

  3. Layanan transit lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a. merupakan layanan transit dengan menggunakan 1 (satu) sentral atau trunk;

  4. Layanan transit jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. merupakan layanan transit dengan menggunakan 1 (satu) atau lebih sentral atau trunk dengan jaringan transmisi milik penyelenggara jaringan tetap jarak jauh.

Pasal 7

  1. Layanan terminasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 huruf c. merupakan pengakhiran panggilan interkoneksi dari penyelenggara asal kepada penyelenggara tujuan.

  2. Pengakhiran panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh penyelenggara jaringan:

    1. tetap lokal;

    2. bergerak selular; atau

    3. bergerak satelit.

  3. Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat memberikan layanan terminasi:

    1. lokal;

    2. jarak jauh;

    3. internasional;

    4. bergerak selular; atau

    5. bergerak satelit.

  4. Layanan terminasi lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a. merupakan pengakhiran panggilan interkoneksi oleh penyelenggara tujuan dimana titik interkoneksi berada dalam area pembebanan yang sama dengan area pembebanan penyelenggara asal;

  5. Layanan terminasi jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b. merupakan pengakhiran panggilan interkoneksi dimana titik interkoneksi berada pada area pembebanan yang berbeda dengan area pembebanan penyelenggara tujuan;

  6. Layanan terminasi internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c. merupakan pengakhiran panggilan jasa teleponi dasar sambungan internasional;

  7. Layanan terminasi bergerak selular sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d. merupakan pengakhiran panggilan interkoneksi oleh penyelenggara jaringan bergerak selular;

  8. Layanan terminasi bergerak satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e. merupakan pengakhiran panggilan interkoneksi oleh penyelenggara jaringan satelit.

Pasal 8

  1. Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib mencantumkan setiap jenis layanan interkoneksi yang disediakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dalam Dokumen Penawaran Interkoneksi;

  2. Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi menyediakan layanan interkoneksi yang tidak termasuk dalam interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka interkoneksi beserta layanannya harus dicantumkan dalam Dokumen Penawaran Interkoneksi;

  3. Pencantuman jenis layanan interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus menyertakan skenario panggilan dan letak titik interkoneksi;

  4. Tata cara perumusan Dokumen Penawaran Interkoneksi dilakukan berdasarkan Petunjuk Penyusunan Dokumen Penawaran Interkoneksi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 3 Peraturan Menteri ini.

Pasal 9

  1. Biaya Interkoneksi merupakan biaya yang timbul akibat penyediaan layanan interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;

  2. Jenis biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri dari:

    1. Biaya originasi;

    2. Biaya transit; atau

    3. Biaya terminasi.

Pasal 10

Biaya originasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (2) huruf a. terdiri dari:

  1. lokal;

  2. jarak jauh;

  3. internasional;

  4. bergerak selular; atau

  5. bergerak satelit.

Pasal 11

Biaya transit sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (2) huruf b terdiri dari:

  1. Biaya transit lokal; atau

  2. Biaya transit jarak jauh.

Pasal 12

Biaya terminasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (2) huruf c terdiri dari:

  1. lokal;

  2. jarak jauh;

  3. Internasional;

  4. bergerak selular; atau

  5. bergerak satelit.

Pasal 13

  1. Perhitungan biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dilakukan secara transparan dan berdasarkan formula perhitungan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri ini;

  2. Perhitungan biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada:

    1. ketentuan metode pengalokasian biaya dan laporan finansial kepada regulator sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2 Peraturan Menteri ini;

    2. buku panduan dan perangkat lunak formula perhitungan biaya interkoneksi yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal.

Pasal 14

  1. Besaran biaya interkoneksi hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 merupakan biaya interkoneksi yang harus dicantumkan dalam DPI penyelenggara telekomunikasi;

  2. Besaran biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan dengan nilai ekonomis;

  3. Nilai ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disesuaikan dengan kapasitas permintaan dan jumlah trafik yang dikomitmenkan oleh penyelenggara telekomunikasi yang meminta layanan interkoneksi;

  4. Tata cara penetapan nilai ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dicantumkan dalam DPI.

Pasal 15

  1. Biaya interkoneksi dibebankan oleh penyelenggara tujuan panggilan kepada penyelenggara asal panggilan yang mempunyai tanggung jawab atas panggilan interkoneksi.

  2. Dalam hal tanggung jawab panggilan interkoneksi dimiliki oleh penyelenggara tujuan atau penyelenggara jasa telekomunikasi, biaya interkoneksi dibebankan oleh penyelenggara asal kepada penyelenggara tujuan;

  3. Tanggung jawab atas panggilan interkoneksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi tanggung jawab atas kualitas layanan, proses billing tarif pungut, penagihan kepada pengguna, dan piutang tak tertagih;

  4. Tanggung jawab selain kualitas layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan oleh penyelenggara yang menyalurkan trafik interkoneksi;

  5. Dalam hal tanggung jawab dilaksanakan oleh penyelenggara jaringan yang menyalurkan trafik interkoneksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara yang menyalurkan trafik interkoneksi dapat mengenakan biaya atas pelaksanaan tanggung jawab tersebut yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama;

  6. Besaran biaya pelaksanaan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan secara transparan dan tidak diskriminatif.

Pasal 16

Penagihan biaya interkoneksi dilakukan berdasarkan kesepakatan antar penyelenggara.

Pasal 17

Pembebanan dan penagihan biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 harus dicantumkan dalam DPI.

Pasal 18

  1. Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib menyampaikan laporan perhitungan besaran biaya interkoneksinya kepada BRTI;

  2. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :

    1. Laporan finansial kepada regulator sebagaimana dimaksudpada Pasal 13 ayat (2);

    2. Dokumentasi perhitungan dan perangkat lunak perhitungan berupa spreadsheet; atau

    3. Alokasi biaya sebagaimana diatur dalam Metode Pengalokasian Biaya dan Pelaporan Finansial kepada Regulator sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (2).

  3. Laporan perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada BRTI dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sebelum diimplementasikan.

Pasal 19

  1. Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan dan mempublikasikan DPI selambat-lambatnya 60 hari kerja sejak tanggal ditetapkan Peraturan Menteri ini sesuai pedoman sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 3 Peraturan Menteri ini;

  2. DPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dievaluasi oleh BRTI setiap tahun.

Pasal 20

  1. DPI milik penyelenggara jaringan telekomunikasi dengan pendapatan usaha (operating revenue) 25% atau lebih dari total pendapatan usaha seluruh penyelenggara telekomunikasi dalam segmentasi layanannya, wajib mendapatkan persetujuan BRTI;

  2. BRTI harus melakukan evaluasi dan menetapkan penyelenggara jaringan telekomunikasi dengan pendapatan usaha (operating revenue) 25% atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap tahun;

  3. BRTI melakukan evaluasi terhadap DPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 21

Evaluasi DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dilakukan sebelum dipublikasikan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Usulan DPI diserahkan kepada BRTI selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak tanggal ditetapkan Peraturan Menteri ini;

  2. Persetujuan atau penolakan BRTI diberikan selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya usulan DPI;

  3. BRTI dalam menyetujui atau menolak sebagaimana dimaksud dalam butir b. wajib memperhatikan masukan dari publik;

  4. Publikasi usulan DPI penyelenggara dilakukan selambat-lambatnya 5 hari kerja sejak tanggal diterimanya usulan DPI penyelenggara dalam situs internet milik BRTI dan Direktorat Jenderal;

  5. Masukan sebagaimana dimaksud dalam butir c. harus diterima BRTI selambat-lambatnya 5 hari kerja terhitung sejak tanggal dipublikasikannya usulan DPI penyelenggara;

  6. Dalam hal masukan sebagaimana dimaksud dalam butir c. ditolak, BRTI harus menyampaikan alasan penolakannya selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya masukan dari publik;

  7. Dalam hal persetujuan atau penolakan tidak diberikan oleh BRTI dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam butir b. usulan DPI dianggap disetujui dan dapat dipublikasikan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi;

  8. Dalam hal usulan DPI ditolak oleh BRTI, usulan DPI wajib diperbaiki dan diserahkan kembali kepada BRTI selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya penolakan dari BRTI;

  9. Persetujuan atau penolakan oleh BRTI terhadap perbaikan usulan DPI diberikan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usulan DPI hasil perbaikan;

  10. Dalam hal persetujuan atau penolakan tidak diberikan oleh BRTI dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam butir h. usulan DPI dianggap disetujui dan dapat dipublikasikan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi;

  11. Dalam hal perbaikan sebagaimana dimaksud dalam butir h. ditolak oleh BRTI, maka BRTI menetapkan DPI dimaksud selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usulan DPI hasil perbaikan.

Pasal 22

  1. Setiap perubahan DPI sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 harus mendapat persetujuan BRTI;

  2. Persetujuan atau penolakan oleh BRTI terhadap usulan perubahan DPI diberikan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usulan perubahan DPI;

  3. Dalam hal persetujuan atau penolakan tidak diberikan oleh BRTI dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DPI dianggap disetujui dan penyelenggara dapat mempublikasikan perubahan DPI;

  4. Dalam hal perubahan DPI ditolak oleh BRTI, penyelenggara wajib memperbaiki DPI dimaksud dan menyerahkan kembali kepada BRTI selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya penolakan dari BRTI;

  5. Persetujuan atau penolakan oleh BRTI terhadap DPI hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya DPI;

  6. Dalam hal perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditolak oleh BRTI, maka BRTI menetapkan perubahan DPI penyelenggara dimaksud selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya DPI hasil perbaikan;

  7. Dalam hal persetujuan atau penolakan tidak diberikan oleh BRTI dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPI dianggap disetujui dan penyelenggara dapat mempublikasikan DPI;

  8. Publikasi perubahan DPI dilakukan melalui situs internet milik penyelenggara, BRTI dan Direktorat Jenderal.

Pasal 23

  1. Publik dapat mengusulkan perubahan atas DPI penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 yang telah disahkan dan dipublikasikan oleh BRTI, beserta alasannya, khususnya yang menyangkut kepentingan masyarakat pengguna layanan telekomunikasi;

  2. Usulan atas perubahan DPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan secara tertulis;

  3. Dalam hal usulan perubahan atas DPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterima, BRTI akan mempertimbangkan masukan tersebut pada evaluasi DPI sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2);

  4. Dalam hal usulan perubahan atas DPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, BRTI menyampaikan alasan penolakannya dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal usulan diterima.

Pasal 24

Permintaan layanan interkoneksi harus disusun oleh pencari akses dengan mengacu kepada DPI penyedia akses.

Pasal 25

  1. Pencari akses dapat meminta informasi tambahan kepada penyedia akses terkait dengan DPI penyedia akses;

  2. Penyedia akses harus menyediakan informasi tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan disampaikan oleh pencari akses.

Pasal 26

Permintaan layanan interkoneksi oleh pencari akses sekurang-kurangnya harus dilampirkan:

  1. Nama penyelenggara dan nama pejabat yang berwenang;

  2. Izin penyelenggaraan telekomunikasi;

  3. Jenis layanan interkoneksi yang diminta;

  4. Penjelasan bahwa layanan interkoneksi yang diminta belum disediakan oleh penyedia akses;

  5. Penjelasan permintaan tambahan jenis dan kapasitas layanan interkoneksi apabila permintaan layanan interkoneksi yang diminta adalah penambahan jenis dan kapasitas layanan interkoneksi;

  6. Lokasi geografis dan tingkat fungsional dari titik interkoneksi yang dibutuhkan;

  7. Rencana kerangka waktu yang dibutuhkan dalam memenuhi kondisi dalam jaringan telekomunikasi;

  8. Proyeksi ke depan (forecast) atas kebutuhan kapasitas interkoneksi.

Pasal 27

  1. Penyedia akses wajib menggunakan sistem antrian dengan mendahulukan pencari akses pertama yang menyampaikan permintaan layanan interkoneksi;

  2. Sistem antrian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyertakan permintaan interkoneksi oleh penyelenggara lain yang hak pengelolaannya berada pada pihak yang sama dengan penyedia akses.

Pasal 28

  1. Posisi antrian permintaan layanan interkoneksi dari pencari akses wajib disampaikan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan layanan interkoneksi;

  2. Posisi antrian permintaan layanan interkoneksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan penyedia akses dengan mempertimbangkan kemampuan dari pencari akses dalam memenuhi kondisi dan persyaratan yang ditetapkan;

  3. Dalam hal penyedia akses tidak menyampaikan posisi antrian permintaan layanan interkoneksi dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pencari akses dapat meminta mediasi untuk memperoleh status permintaan interkoneksinya;

  4. Permintaan mediasi dilakukan dengan mengacu kepada Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Interkoneksi yang ditetapkan dalam Lampiran 5 Peraturan Menteri ini.

Pasal 29

  1. Penyedia akses dapat menolak permintaan layanan interkoneksi yang disampaikan oleh pencari akses.

  2. Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bila:

    1. Pencari akses tidak menyampaikan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;

    2. Jenis dan layanan interkoneksi yang diminta tidak terdapat dalam DPI penyedia akses;

    3. Melebihi kapasitas interkoneksi yang tersedia.

Pasal 30

  1. Penolakan permintaan layanan interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 harus disampaikan:

    1. kepada pencari akses selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan layanan interkoneksi;

    2. secara tertulis disertai alasan penolakannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2).

  2. Dalam hal pencari akses keberatan, pencari akses dapat meminta penyelesaian sebagaimana ditetapkan dalam lampiran 5 Peraturan Menteri ini.

Pasal 31

  1. Setiap penerimaan permintaan layanan interkoneksi yang memenuhi syarat wajib dijawab oleh penyedia akses;

  2. Jawaban penyedia akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain memuat:

    1. nama dan jabatan yang berwenang dari pihak penyedia akses;

    2. kondisi teknis dan operasional meliputi antara lain:1) jaringan pencari akses harus sesuai dengan persyaratan teknis penyedia akses;2) berbagai opsi yang berkaitan dengan interkoneksi yang diminta;3) indikasi tentang jangka waktu yang diperlukan untuk melakukan interkoneksi;4) daftar layanan interkoneksi dan kewajiban para pihak yang berinterkoneksi untuk melakukan pemesanan suatu kapasitas interkoneksi tertentu;5) diagram yang merupakan ringkasan prosedur untuk membangun interkoneksi, meliputi waktu dari setiap aktivitas dan acuan kepada tabel yang berisikan daftar setiap aktivitas;6) rincian dari seluruh titik interkoneksi yang tersedia meliputi jumlah, lokasi, dimensi dan spesifikasi lainnya.

    3. Daftar dan biaya layanan utama interkoneksi dan penjelasan cara memisahkan trafik untuk setiap layanan interkoneksi pada titik interkoneksi;

    4. Biaya langsung meliputi biaya pengadaan link interkoneksi, perubahan sistem pada penyedia akses, dan penggunaan sarana dan prasarana penunjang;

    5. Informasi pelaksanaan proses administrasi dalam penyediaan layanan interkoneksi.

Pasal 32

Penyedia akses wajib memberikan asistensi kepada pencari akses dalam memahami jawaban permintaan layanan interkoneksi.

Pasal 33

  1. Jawaban permintaan layanan interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) harus disampaikan selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permintaan layanan interkoneksi;

  2. Dalam hal penyedia akses tidak menjawab permintaan layanan interkoneksi kurun waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pencari akses dapat meminta mediasi dan atau arbitrase dengan mengacu kepada Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Interkoneksi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 5 Peraturan Menteri ini.

Pasal 34

  1. Pencari akses wajib memberikan tanggapan atas jawaban permintaan layanan interkoneksi yang disampaikan oleh penyedia akses sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya jawaban permintaan layanan interkoneksi;

  2. Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi penjelasan posisi pencari akses atas jawaban permintaan layanan interkoneksi yang disampaikan oleh penyedia akses;

  3. Dalam hal pencari akses tidak memberikan tanggapan atas jawaban permintaan tidak disampaikan sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permintaan layanan interkoneksi tersebut dianggap gugur.

Pasal 35

  1. Berdasarkan jawaban permintaan layanan interkoneksi yang diberikan penyedia akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), pencari akses dapat mengajukan permohonan negosiasi kepada penyedia akses atas permintaan layanan interkoneksi atau akses terhadap fasilitas penting untuk interkoneksi.

  2. Negosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diselesaikan selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan negosiasi oleh penyedia akses;

Pasal 36

  1. Penyedia akses dan pencari akses yang sepakat untuk berinterkoneksi wajib mengesahkan Perjanjian Kerjasama Interkoneksi antara kedua belah pihak sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku;

  2. Penyedia akses dan pencari akses yang telah mengesahkan Perjanjian Kerjasama Interkoneksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melakukan negosiasi untuk menyepakati Perjanjian Pokok Akses terhadap Fasilitas Penting untuk Interkoneksi;

  3. Negosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan berdasarkan Aturan Pokok Akses Terhadap Fasilitas Penting untuk Interkoneksi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 4 Peraturan Menteri ini.

Pasal 37

Dalam hal negosiasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 tidak dapat diselesaikan selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja akibat adanya ketidaksepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan permintaan mediasi dan atau arbitrase dengan mengacu kepada Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Interkoneksi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran 5 Peraturan Menteri ini.

Pasal 38

  1. Setiap penyelenggara yang berinterkoneksi wajib menyediakan layanan akses secara langsung untuk keperluan penyaluran trafik interkoneksi;

  2. Dalam hal layanan akses secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memungkinkan, pengalihan trafik dapat dilakukan melalui penyelenggara jaringan lain yang disepakati kedua belah pihak;

  3. Setiap penyelenggara telekomunikasi yang berinterkoneksi dilarang melakukan pengalihan trafik dalam rangka memanfaatkan perbedaan biaya interkoneksi.

Pasal 39

  1. Pencari akses yang telah menandatangani perjanjian interkoneksi serta perjanjian pokok akses terhadap fasilitas penting dengan penyedia akses wajib menyampaikan laporan kepada BRTI;

  2. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain memuat:

    1. daftar layanan interkoneksi dan kewajiban para pihak yang berinterkoneksi;

    2. besaran biaya interkoneksi yang disepakati;

    3. penetapan nilai ekonomis dari besaran biaya interkoneksi yang disepakati;

    4. rincian dari seluruh titik interkoneksi yang tersedia meliputi jumlah, lokasi, dimensi dan spesifikasi lainnya; dan

    5. masa berlaku kesepakatan interkoneksi;

  3. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada BRTI selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditandatanganinya kesepakatan.

Pasal 40

  1. Perjanjian teknis interkoneksi antar penyelenggara telekomunikasi yang ada tetap dapat digunakan, sepanjang kedua belah pihak sepakat dan tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini;

  2. Dalam hal salah satu pihak menginginkan perubahan dari perjanjian teknis interkoneksi yang ada berdasarkan Peraturan Menteri ini, perubahan tersebut dapat dilakukan setelah diterbitkannya pengesahan DPI oleh BRTI;

  3. Pelaporan perhitungan biaya interkoneksi tahun 2007 selambat-lambatnya telah diserahkan akhir September 2006 dengan menggunakan data tahun 2005;

  4. Dalam melakukan perhitungan biaya interkoneksi tahun 2007 sebagaimana dimaksud ayat (3), seluruh penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi harus sudah menerapkan prinsip pengalokasian biaya sesuai dengan ketentuan dalam Lampiran 2 Peraturan Menteri ini;

  5. Pencatatan pengalokasian biaya dengan menggunakan daftar perkiraan sesuai dengan metode pengalokasian biaya Lampiran 2 Peraturan Menteri ini mulai berlaku efektif terhitung sejak tanggal 1 Januari 2007.

Pasal 41

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini maka :

  1. Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor KM. 46/PR.301/MPPT-98 tentang Tarif Interkoneksi Jaringan Telekomunikasi antar Penyelenggara Jasa Telekomunikasi;

  2. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 37 Tahun 1999 tentang Penyempurnaan Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor KM. 46/PR.301/MPPT-98 tentang Tarif Interkoneksi Jaringan Telekomunikasi antar Penyelenggara Jasa Telekomunikasi;

  3. Surat Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor KU.506/I/I/MPPT-97 tentang Perubahan Bagi Hasil Pendapatan antara PT. Telkom dan PT. Ratelindo;

  4. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 32 Tahun 2004 tentang Biaya Interkoneksi Penyelenggaraan Telekomunikasi.dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 42

Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak ditetapkan.

Ditetapkan di : J A K A R T A

Pada tanggal : 8 Pebruari 2006

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA.

SOFYAN A. DJALIL


PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
NOMOR 8 TAHUN 2006
TENTANG
INTERKONEKSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA,

menimbang

  1. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi telah diatur ketentuan tentang interkoneksi penyelenggaraan telekomunikasi;

  2. bahwa untuk menjamin kepastian dan transparansi penyediaan dan pelayanan interkoneksi antar penyelenggara telekomunikasi, perlu ditetapkan ketentuan tentang interkoneksi antar penyelenggara telekomunikasi dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika.

mengingat

  1. Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor : 154, Tambahan Lembaran Negara Nomor: 3881);

  2. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor : 107, Tambahan Lembaran Negara Nomor : 3980);

  3. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.4 Tahun 2001 tentang Penetapan Fundamental Technical Plan Nasional 2000 sebagaimana telah diubah dengan keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 28 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 6 Tahun 2005;

  4. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM.20 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM.29 Tahun 2004;

  5. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM.21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM.30 Tahun 2004;

  6. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM.23 Tahun 2002 tentang Internet Teleponi untuk Keperluan Publik sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 32 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 7 Tahun 2005;

  7. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM.31 Tahun 2003 tentang Penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia;

  8. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 01/P./M./KOMINFO/04/05 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Komunikasi dan Informatika;

  9. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM. 33 Tahun 2004 tentang Pengawasan Kompetisi yang Sehat dalam Penyelenggaraan Jaringan Tetap dan Jasa Teleponi Dasar;

  10. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 3/P./M. Kominfo/5/2005 tentang Penyesuaian Kata Sebutan pada Beberapa Keputusan/Peraturan Menteri Perhubungan yang Mengatur Materi Muatan Khusus di Bidang Pos dan Telekomunikasi;



memperhatikan

memutuskan

menetapkan

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG INTERKONEKSI

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Interkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda;

  2. Biaya interkoneksi adalah biaya yang dibebankan sebagai akibat adanya saling keterhubungan antar jaringan telekomunikasi yang berbeda, dan atau ketersambungan jaringan telekomunikasi dengan perangkat milik penyelenggara jasa telekomunikasi;

  3. Dokumen Penawaran Interkoneksi yang selanjutnya disebut DPI adalah dokumen yang memuat aspek teknis, aspek operasional dan aspek ekonomis dari penyediaan layanan interkoneksi yang ditawarkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi kepada penyelenggara jaringan dan atau penyelenggara jasa lainnya;

  4. Pencari akses adalah penyelenggara jaringan telekomunikasi atau penyelenggara jasa telekomunikasi yang mengajukan permohonan layanan interkoneksi dan akses terhadap fasilitas penting untuk interkoneksi kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya;

  5. Penyedia akses adalah penyelenggara jaringan telekomunikasi yang menyediakan layanan interkoneksi dan akses terhadap fasilitas penting untuk interkoneksi bagi penyelenggara jaringan atau penyelenggara jasa telekomunikasi lainnya;

  6. Penyelenggara asal adalah penyelenggara jaringan telekomunikasi dari mana trafik berasal atau yang membangkitkan trafik interkoneksi kepada penyelenggara telekomunikasi berikutnya dalam suatu panggilan interkoneksi;

  7. Penyelenggara tujuan adalah penyelenggara jaringan telekomunikasi yang mengakhiri suatu panggilan interkoneksi;

  8. Titik interkoneksi (Point of Interconnection) adalah titik atau lokasi dimana terjadi interkoneksi secara fisik, dan merupakan batas bagian yang menjadi milik penyelenggara jaringan yang satu dari bagian yang menjadi milik penyelenggara jaringan dan atau penyelenggara jasa yang lain, yang merupakan titik batas wewenang dan tanggung jawab mengenai penyediaan, pengelolaan dan pemeliharaan jaringan;

  9. Titik pembebanan (Point of Charge) adalah titik referensi yang merupakan lokasi geografis untuk menetapkan besaran biaya interkoneksi dan tanggung jawab terhadap panggilan interkoneksi;

  10. Originasi adalah pembangkitan panggilan interkoneksi dari jaringan penyelenggara asal;

  11. Transit adalah penyaluran panggilan interkoneksi dari penyelenggara asal kepada penyelenggara tujuan melalui penyelenggara jaringan lainnya;

  12. Terminasi adalah pengakhiran panggilan interkoneksi di jaringan penyelenggara tujuan;

  13. Formula perhitungan adalah formula yang ditetapkan dan digunakan dalam menghitung besaran biaya interkoneksi;

  14. Metode alokasi biaya dan laporan finansial kepada regulator untuk keperluan interkoneksi adalah tata cara dalam pencatatan segala aktivitas akuntansi dari suatu penyediaan layanan telekomunikasi;

  15. Laporan finansial kepada regulator (Regulatory Financial Report) adalah bentuk pelaporan keuangan yang harus dipenuhi oleh penyelenggara dalam rangka menghitung besaran biaya interkoneksi dari layanan interkoneksi yang disediakan oleh penyelenggara tersebut;

  16. Mediasi adalah penyelesaian perselisihan interkoneksi oleh BRTI yang bertindak sebagai mediator atau penengah;

  17. Arbitrase perselisihan interkoneksi adalah penyelesaian perselisihan interkoneksi yang dilaksanakan oleh BRTI;

  18. Hari kerja adalah hari Senin sampai dengan Jumat, kecuali hari hari libur nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah;

  19. Jam kerja adalah pukul 07.30 WIB sampai dengan 16.30 WIB;

  20. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi;

  21. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi;

  22. BRTI adalah Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia.

BAB II

INTERKONEKSI ANTAR PENYELENGGARA JARINGAN TELEKOMUNIKASI

Bagian Pertama

Penyelenggaraan Interkoneksi

Pasal 2

  1. Interkoneksi wajib dilaksanakan untuk memberikan jaminan kepada pengguna agar dapat mengakses jasa telekomunikasi;

  2. Interkoneksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disediakan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi berdasarkan permintaan.

Pasal 3

  1. Dalam memberikan jaminan kepada pengguna agar dapat mengakses jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), penyelenggara jaringan telekomunikasi menyediakan ketersambungan dengan perangkat milik penyelenggara jasa telekomunikasi.

  2. Ketersambungan perangkat milik penyelenggara jasa telekomunikasi dengan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara transparan dan tidak diskriminatif.

Bagian kedua

Jenis Layanan Interkoneksi

Pasal 4

Layanan dari interkoneksi dan ketersambungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dapat terdiri dari:

  1. Layanan originasi;

  2. Layanan transit;

  3. Layanan terminasi.

Pasal 5

  1. Layanan originasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 huruf a. merupakan pembangkitan panggilan yang berasal dari satu penyelenggara kepada penyelenggara lain;

  2. Pembangkitan panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari:

    1. Penyelenggara jaringan tetap lokal;

    2. Penyelenggara jaringan bergerak selular; atau

    3. Penyelenggara jaringan bergerak satelit.

  3. Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat memberikan layanan originasi :

    1. lokal;

    2. jarak jauh;

    3. internasional;

    4. bergerak selular; atau

    5. bergerak satelit.

  4. Layanan originasi lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a. merupakan pembangkitan panggilan oleh penyelenggara jaringan asal dimana titik interkoneksi berada pada area pembebanan yang sama dengan area pembebanan penyelenggara tujuan;

  5. Layanan originasi jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b. merupakan pembangkitan panggilan oleh penyelenggara jaringan asal dimana titik interkoneksi berada pada area pembebanan yang berbeda dengan area pembebanan penyelenggara tujuan;

  6. Layanan originasi internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c. merupakan pembangkitan panggilan oleh penyelenggara jaringan asal dengan menggunakan kode akses milik penyelenggara jasa teleponi dasar sambungan internasional;

  7. Layanan originasi bergerak selular sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d. merupakan pembangkitan panggilan yang berasal dari penyelenggara jaringan bergerak selular kepada penyelenggara tujuan;

  8. Layanan originasi bergerak satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e. merupakan pembangkitan panggilan yang berasal dari penyelenggara jaringan bergerak satelit kepada penyelenggara tujuan.

Pasal 6

  1. Layanan transit sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 huruf b. merupakan penyediaan jaringan atau elemen jaringan untuk keperluan penyaluran panggilan interkoneksi dari penyelenggara asal kepada penyelenggara tujuan panggilan interkoneksi;

  2. Layanan transit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri dari:

    1. lokal; atau

    2. jarak jauh.

  3. Layanan transit lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a. merupakan layanan transit dengan menggunakan 1 (satu) sentral atau trunk;

  4. Layanan transit jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. merupakan layanan transit dengan menggunakan 1 (satu) atau lebih sentral atau trunk dengan jaringan transmisi milik penyelenggara jaringan tetap jarak jauh.

Pasal 7

  1. Layanan terminasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 huruf c. merupakan pengakhiran panggilan interkoneksi dari penyelenggara asal kepada penyelenggara tujuan.

  2. Pengakhiran panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh penyelenggara jaringan:

    1. tetap lokal;

    2. bergerak selular; atau

    3. bergerak satelit.

  3. Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat memberikan layanan terminasi:

    1. lokal;

    2. jarak jauh;

    3. internasional;

    4. bergerak selular; atau

    5. bergerak satelit.

  4. Layanan terminasi lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a. merupakan pengakhiran panggilan interkoneksi oleh penyelenggara tujuan dimana titik interkoneksi berada dalam area pembebanan yang sama dengan area pembebanan penyelenggara asal;

  5. Layanan terminasi jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b. merupakan pengakhiran panggilan interkoneksi dimana titik interkoneksi berada pada area pembebanan yang berbeda dengan area pembebanan penyelenggara tujuan;

  6. Layanan terminasi internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c. merupakan pengakhiran panggilan jasa teleponi dasar sambungan internasional;

  7. Layanan terminasi bergerak selular sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d. merupakan pengakhiran panggilan interkoneksi oleh penyelenggara jaringan bergerak selular;

  8. Layanan terminasi bergerak satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e. merupakan pengakhiran panggilan interkoneksi oleh penyelenggara jaringan satelit.

Pasal 8

  1. Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib mencantumkan setiap jenis layanan interkoneksi yang disediakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dalam Dokumen Penawaran Interkoneksi;

  2. Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi menyediakan layanan interkoneksi yang tidak termasuk dalam interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka interkoneksi beserta layanannya harus dicantumkan dalam Dokumen Penawaran Interkoneksi;

  3. Pencantuman jenis layanan interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus menyertakan skenario panggilan dan letak titik interkoneksi;

  4. Tata cara perumusan Dokumen Penawaran Interkoneksi dilakukan berdasarkan Petunjuk Penyusunan Dokumen Penawaran Interkoneksi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 3 Peraturan Menteri ini.

Bagian Ketiga

Jenis Biaya Interkoneksi dan Perhitungannya

Pasal 9

  1. Biaya Interkoneksi merupakan biaya yang timbul akibat penyediaan layanan interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;

  2. Jenis biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri dari:

    1. Biaya originasi;

    2. Biaya transit; atau

    3. Biaya terminasi.

Pasal 10

Biaya originasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (2) huruf a. terdiri dari:

  1. lokal;

  2. jarak jauh;

  3. internasional;

  4. bergerak selular; atau

  5. bergerak satelit.

Pasal 11

Biaya transit sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (2) huruf b terdiri dari:

  1. Biaya transit lokal; atau

  2. Biaya transit jarak jauh.

Pasal 12

Biaya terminasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (2) huruf c terdiri dari:

  1. lokal;

  2. jarak jauh;

  3. Internasional;

  4. bergerak selular; atau

  5. bergerak satelit.

Pasal 13

  1. Perhitungan biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dilakukan secara transparan dan berdasarkan formula perhitungan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri ini;

  2. Perhitungan biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada:

    1. ketentuan metode pengalokasian biaya dan laporan finansial kepada regulator sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2 Peraturan Menteri ini;

    2. buku panduan dan perangkat lunak formula perhitungan biaya interkoneksi yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal.

Pasal 14

  1. Besaran biaya interkoneksi hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 merupakan biaya interkoneksi yang harus dicantumkan dalam DPI penyelenggara telekomunikasi;

  2. Besaran biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan dengan nilai ekonomis;

  3. Nilai ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disesuaikan dengan kapasitas permintaan dan jumlah trafik yang dikomitmenkan oleh penyelenggara telekomunikasi yang meminta layanan interkoneksi;

  4. Tata cara penetapan nilai ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dicantumkan dalam DPI.

Bagian Keempat

Pembebanan dan Penagihan Biaya Interkoneksi

Pasal 15

  1. Biaya interkoneksi dibebankan oleh penyelenggara tujuan panggilan kepada penyelenggara asal panggilan yang mempunyai tanggung jawab atas panggilan interkoneksi.

  2. Dalam hal tanggung jawab panggilan interkoneksi dimiliki oleh penyelenggara tujuan atau penyelenggara jasa telekomunikasi, biaya interkoneksi dibebankan oleh penyelenggara asal kepada penyelenggara tujuan;

  3. Tanggung jawab atas panggilan interkoneksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi tanggung jawab atas kualitas layanan, proses billing tarif pungut, penagihan kepada pengguna, dan piutang tak tertagih;

  4. Tanggung jawab selain kualitas layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan oleh penyelenggara yang menyalurkan trafik interkoneksi;

  5. Dalam hal tanggung jawab dilaksanakan oleh penyelenggara jaringan yang menyalurkan trafik interkoneksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara yang menyalurkan trafik interkoneksi dapat mengenakan biaya atas pelaksanaan tanggung jawab tersebut yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama;

  6. Besaran biaya pelaksanaan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan secara transparan dan tidak diskriminatif.

Pasal 16

Penagihan biaya interkoneksi dilakukan berdasarkan kesepakatan antar penyelenggara.

Pasal 17

Pembebanan dan penagihan biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 harus dicantumkan dalam DPI.

Bagian Kelima

Pelaporan Perhitungan Biaya Interkoneksi

Pasal 18

  1. Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib menyampaikan laporan perhitungan besaran biaya interkoneksinya kepada BRTI;

  2. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :

    1. Laporan finansial kepada regulator sebagaimana dimaksudpada Pasal 13 ayat (2);

    2. Dokumentasi perhitungan dan perangkat lunak perhitungan berupa spreadsheet; atau

    3. Alokasi biaya sebagaimana diatur dalam Metode Pengalokasian Biaya dan Pelaporan Finansial kepada Regulator sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (2).

  3. Laporan perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada BRTI dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sebelum diimplementasikan.

BAB III

DOKUMEN PENAWARAN INTERKONEKSI

Pasal 19

  1. Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan dan mempublikasikan DPI selambat-lambatnya 60 hari kerja sejak tanggal ditetapkan Peraturan Menteri ini sesuai pedoman sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 3 Peraturan Menteri ini;

  2. DPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dievaluasi oleh BRTI setiap tahun.

Pasal 20

  1. DPI milik penyelenggara jaringan telekomunikasi dengan pendapatan usaha (operating revenue) 25% atau lebih dari total pendapatan usaha seluruh penyelenggara telekomunikasi dalam segmentasi layanannya, wajib mendapatkan persetujuan BRTI;

  2. BRTI harus melakukan evaluasi dan menetapkan penyelenggara jaringan telekomunikasi dengan pendapatan usaha (operating revenue) 25% atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap tahun;

  3. BRTI melakukan evaluasi terhadap DPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 21

Evaluasi DPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dilakukan sebelum dipublikasikan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Usulan DPI diserahkan kepada BRTI selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak tanggal ditetapkan Peraturan Menteri ini;

  2. Persetujuan atau penolakan BRTI diberikan selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya usulan DPI;

  3. BRTI dalam menyetujui atau menolak sebagaimana dimaksud dalam butir b. wajib memperhatikan masukan dari publik;

  4. Publikasi usulan DPI penyelenggara dilakukan selambat-lambatnya 5 hari kerja sejak tanggal diterimanya usulan DPI penyelenggara dalam situs internet milik BRTI dan Direktorat Jenderal;

  5. Masukan sebagaimana dimaksud dalam butir c. harus diterima BRTI selambat-lambatnya 5 hari kerja terhitung sejak tanggal dipublikasikannya usulan DPI penyelenggara;

  6. Dalam hal masukan sebagaimana dimaksud dalam butir c. ditolak, BRTI harus menyampaikan alasan penolakannya selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya masukan dari publik;

  7. Dalam hal persetujuan atau penolakan tidak diberikan oleh BRTI dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam butir b. usulan DPI dianggap disetujui dan dapat dipublikasikan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi;

  8. Dalam hal usulan DPI ditolak oleh BRTI, usulan DPI wajib diperbaiki dan diserahkan kembali kepada BRTI selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya penolakan dari BRTI;

  9. Persetujuan atau penolakan oleh BRTI terhadap perbaikan usulan DPI diberikan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usulan DPI hasil perbaikan;

  10. Dalam hal persetujuan atau penolakan tidak diberikan oleh BRTI dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam butir h. usulan DPI dianggap disetujui dan dapat dipublikasikan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi;

  11. Dalam hal perbaikan sebagaimana dimaksud dalam butir h. ditolak oleh BRTI, maka BRTI menetapkan DPI dimaksud selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usulan DPI hasil perbaikan.

Pasal 22

  1. Setiap perubahan DPI sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 harus mendapat persetujuan BRTI;

  2. Persetujuan atau penolakan oleh BRTI terhadap usulan perubahan DPI diberikan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usulan perubahan DPI;

  3. Dalam hal persetujuan atau penolakan tidak diberikan oleh BRTI dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DPI dianggap disetujui dan penyelenggara dapat mempublikasikan perubahan DPI;

  4. Dalam hal perubahan DPI ditolak oleh BRTI, penyelenggara wajib memperbaiki DPI dimaksud dan menyerahkan kembali kepada BRTI selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya penolakan dari BRTI;

  5. Persetujuan atau penolakan oleh BRTI terhadap DPI hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya DPI;

  6. Dalam hal perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditolak oleh BRTI, maka BRTI menetapkan perubahan DPI penyelenggara dimaksud selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya DPI hasil perbaikan;

  7. Dalam hal persetujuan atau penolakan tidak diberikan oleh BRTI dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPI dianggap disetujui dan penyelenggara dapat mempublikasikan DPI;

  8. Publikasi perubahan DPI dilakukan melalui situs internet milik penyelenggara, BRTI dan Direktorat Jenderal.

Pasal 23

  1. Publik dapat mengusulkan perubahan atas DPI penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 yang telah disahkan dan dipublikasikan oleh BRTI, beserta alasannya, khususnya yang menyangkut kepentingan masyarakat pengguna layanan telekomunikasi;

  2. Usulan atas perubahan DPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan secara tertulis;

  3. Dalam hal usulan perubahan atas DPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterima, BRTI akan mempertimbangkan masukan tersebut pada evaluasi DPI sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2);

  4. Dalam hal usulan perubahan atas DPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, BRTI menyampaikan alasan penolakannya dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal usulan diterima.

BAB IV

PERMINTAAN DAN JAWABAN LAYANAN INTERKONEKSI

Bagian Pertama

Penyusunan Permintaan Layanan Interkoneksi

Pasal 24

Permintaan layanan interkoneksi harus disusun oleh pencari akses dengan mengacu kepada DPI penyedia akses.

Pasal 25

  1. Pencari akses dapat meminta informasi tambahan kepada penyedia akses terkait dengan DPI penyedia akses;

  2. Penyedia akses harus menyediakan informasi tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan disampaikan oleh pencari akses.

Pasal 26

Permintaan layanan interkoneksi oleh pencari akses sekurang-kurangnya harus dilampirkan:

  1. Nama penyelenggara dan nama pejabat yang berwenang;

  2. Izin penyelenggaraan telekomunikasi;

  3. Jenis layanan interkoneksi yang diminta;

  4. Penjelasan bahwa layanan interkoneksi yang diminta belum disediakan oleh penyedia akses;

  5. Penjelasan permintaan tambahan jenis dan kapasitas layanan interkoneksi apabila permintaan layanan interkoneksi yang diminta adalah penambahan jenis dan kapasitas layanan interkoneksi;

  6. Lokasi geografis dan tingkat fungsional dari titik interkoneksi yang dibutuhkan;

  7. Rencana kerangka waktu yang dibutuhkan dalam memenuhi kondisi dalam jaringan telekomunikasi;

  8. Proyeksi ke depan (forecast) atas kebutuhan kapasitas interkoneksi.

Bagian Kedua

Pemrosesan Permintaan Layanan Interkoneksi

Pasal 27

  1. Penyedia akses wajib menggunakan sistem antrian dengan mendahulukan pencari akses pertama yang menyampaikan permintaan layanan interkoneksi;

  2. Sistem antrian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyertakan permintaan interkoneksi oleh penyelenggara lain yang hak pengelolaannya berada pada pihak yang sama dengan penyedia akses.

Pasal 28

  1. Posisi antrian permintaan layanan interkoneksi dari pencari akses wajib disampaikan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan layanan interkoneksi;

  2. Posisi antrian permintaan layanan interkoneksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan penyedia akses dengan mempertimbangkan kemampuan dari pencari akses dalam memenuhi kondisi dan persyaratan yang ditetapkan;

  3. Dalam hal penyedia akses tidak menyampaikan posisi antrian permintaan layanan interkoneksi dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pencari akses dapat meminta mediasi untuk memperoleh status permintaan interkoneksinya;

  4. Permintaan mediasi dilakukan dengan mengacu kepada Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Interkoneksi yang ditetapkan dalam Lampiran 5 Peraturan Menteri ini.

Bagian Ketiga

Penolakan Permintaan Layanan Interkoneksi

Pasal 29

  1. Penyedia akses dapat menolak permintaan layanan interkoneksi yang disampaikan oleh pencari akses.

  2. Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bila:

    1. Pencari akses tidak menyampaikan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;

    2. Jenis dan layanan interkoneksi yang diminta tidak terdapat dalam DPI penyedia akses;

    3. Melebihi kapasitas interkoneksi yang tersedia.

Pasal 30

  1. Penolakan permintaan layanan interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 harus disampaikan:

    1. kepada pencari akses selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan layanan interkoneksi;

    2. secara tertulis disertai alasan penolakannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2).

  2. Dalam hal pencari akses keberatan, pencari akses dapat meminta penyelesaian sebagaimana ditetapkan dalam lampiran 5 Peraturan Menteri ini.

Bagian Keempat

Jawaban Permintaan Layanan Interkoneksi

Pasal 31

  1. Setiap penerimaan permintaan layanan interkoneksi yang memenuhi syarat wajib dijawab oleh penyedia akses;

  2. Jawaban penyedia akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain memuat:

    1. nama dan jabatan yang berwenang dari pihak penyedia akses;

    2. kondisi teknis dan operasional meliputi antara lain:
      1) jaringan pencari akses harus sesuai dengan persyaratan teknis penyedia akses;
      2) berbagai opsi yang berkaitan dengan interkoneksi yang diminta;
      3) indikasi tentang jangka waktu yang diperlukan untuk melakukan interkoneksi;
      4) daftar layanan interkoneksi dan kewajiban para pihak yang berinterkoneksi untuk melakukan pemesanan suatu kapasitas interkoneksi tertentu;
      5) diagram yang merupakan ringkasan prosedur untuk membangun interkoneksi, meliputi waktu dari setiap aktivitas dan acuan kepada tabel yang berisikan daftar setiap aktivitas;
      6) rincian dari seluruh titik interkoneksi yang tersedia meliputi jumlah, lokasi, dimensi dan spesifikasi lainnya.

    3. Daftar dan biaya layanan utama interkoneksi dan penjelasan cara memisahkan trafik untuk setiap layanan interkoneksi pada titik interkoneksi;

    4. Biaya langsung meliputi biaya pengadaan link interkoneksi, perubahan sistem pada penyedia akses, dan penggunaan sarana dan prasarana penunjang;

    5. Informasi pelaksanaan proses administrasi dalam penyediaan layanan interkoneksi.

Pasal 32

Penyedia akses wajib memberikan asistensi kepada pencari akses dalam memahami jawaban permintaan layanan interkoneksi.

Pasal 33

  1. Jawaban permintaan layanan interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) harus disampaikan selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permintaan layanan interkoneksi;

  2. Dalam hal penyedia akses tidak menjawab permintaan layanan interkoneksi kurun waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pencari akses dapat meminta mediasi dan atau arbitrase dengan mengacu kepada Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Interkoneksi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 5 Peraturan Menteri ini.

Bagian Kelima

Tanggapan atas Jawaban Permintaan Layanan Interkoneksi

Pasal 34

  1. Pencari akses wajib memberikan tanggapan atas jawaban permintaan layanan interkoneksi yang disampaikan oleh penyedia akses sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya jawaban permintaan layanan interkoneksi;

  2. Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi penjelasan posisi pencari akses atas jawaban permintaan layanan interkoneksi yang disampaikan oleh penyedia akses;

  3. Dalam hal pencari akses tidak memberikan tanggapan atas jawaban permintaan tidak disampaikan sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permintaan layanan interkoneksi tersebut dianggap gugur.

BAB V

NEGOSIASI PENYEDIAAN LAYANAN INTERKONEKSI

Pasal 35

  1. Berdasarkan jawaban permintaan layanan interkoneksi yang diberikan penyedia akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), pencari akses dapat mengajukan permohonan negosiasi kepada penyedia akses atas permintaan layanan interkoneksi atau akses terhadap fasilitas penting untuk interkoneksi.

  2. Negosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diselesaikan selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan negosiasi oleh penyedia akses;

Pasal 36

  1. Penyedia akses dan pencari akses yang sepakat untuk berinterkoneksi wajib mengesahkan Perjanjian Kerjasama Interkoneksi antara kedua belah pihak sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku;

  2. Penyedia akses dan pencari akses yang telah mengesahkan Perjanjian Kerjasama Interkoneksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melakukan negosiasi untuk menyepakati Perjanjian Pokok Akses terhadap Fasilitas Penting untuk Interkoneksi;

  3. Negosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan berdasarkan Aturan Pokok Akses Terhadap Fasilitas Penting untuk Interkoneksi sebagaimana tercantum dalam Lampiran 4 Peraturan Menteri ini.

Pasal 37

Dalam hal negosiasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 tidak dapat diselesaikan selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja akibat adanya ketidaksepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan permintaan mediasi dan atau arbitrase dengan mengacu kepada Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Interkoneksi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran 5 Peraturan Menteri ini.

BAB VI

PENGALIHAN TRAFIK

Pasal 38

  1. Setiap penyelenggara yang berinterkoneksi wajib menyediakan layanan akses secara langsung untuk keperluan penyaluran trafik interkoneksi;

  2. Dalam hal layanan akses secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memungkinkan, pengalihan trafik dapat dilakukan melalui penyelenggara jaringan lain yang disepakati kedua belah pihak;

  3. Setiap penyelenggara telekomunikasi yang berinterkoneksi dilarang melakukan pengalihan trafik dalam rangka memanfaatkan perbedaan biaya interkoneksi.

BAB VII

PELAPORAN

Pasal 39

  1. Pencari akses yang telah menandatangani perjanjian interkoneksi serta perjanjian pokok akses terhadap fasilitas penting dengan penyedia akses wajib menyampaikan laporan kepada BRTI;

  2. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain memuat:

    1. daftar layanan interkoneksi dan kewajiban para pihak yang berinterkoneksi;

    2. besaran biaya interkoneksi yang disepakati;

    3. penetapan nilai ekonomis dari besaran biaya interkoneksi yang disepakati;

    4. rincian dari seluruh titik interkoneksi yang tersedia meliputi jumlah, lokasi, dimensi dan spesifikasi lainnya; dan

    5. masa berlaku kesepakatan interkoneksi;

  3. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada BRTI selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditandatanganinya kesepakatan.

BAB VIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 40

  1. Perjanjian teknis interkoneksi antar penyelenggara telekomunikasi yang ada tetap dapat digunakan, sepanjang kedua belah pihak sepakat dan tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini;

  2. Dalam hal salah satu pihak menginginkan perubahan dari perjanjian teknis interkoneksi yang ada berdasarkan Peraturan Menteri ini, perubahan tersebut dapat dilakukan setelah diterbitkannya pengesahan DPI oleh BRTI;

  3. Pelaporan perhitungan biaya interkoneksi tahun 2007 selambat-lambatnya telah diserahkan akhir September 2006 dengan menggunakan data tahun 2005;

  4. Dalam melakukan perhitungan biaya interkoneksi tahun 2007 sebagaimana dimaksud ayat (3), seluruh penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi harus sudah menerapkan prinsip pengalokasian biaya sesuai dengan ketentuan dalam Lampiran 2 Peraturan Menteri ini;

  5. Pencatatan pengalokasian biaya dengan menggunakan daftar perkiraan sesuai dengan metode pengalokasian biaya Lampiran 2 Peraturan Menteri ini mulai berlaku efektif terhitung sejak tanggal 1 Januari 2007.

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 41

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini maka :

  1. Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor KM. 46/PR.301/MPPT-98 tentang Tarif Interkoneksi Jaringan Telekomunikasi antar Penyelenggara Jasa Telekomunikasi;

  2. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 37 Tahun 1999 tentang Penyempurnaan Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor KM. 46/PR.301/MPPT-98 tentang Tarif Interkoneksi Jaringan Telekomunikasi antar Penyelenggara Jasa Telekomunikasi;

  3. Surat Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor KU.506/I/I/MPPT-97 tentang Perubahan Bagi Hasil Pendapatan antara PT. Telkom dan PT. Ratelindo;

  4. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 32 Tahun 2004 tentang Biaya Interkoneksi Penyelenggaraan Telekomunikasi.
    dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 42

Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak ditetapkan.

Ditetapkan di : J A K A R T A

Pada tanggal : 8 Pebruari 2006

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA.

SOFYAN A. DJALIL


Meta Keterangan
Tipe Dokumen Peraturan Perundang-undangan
Judul Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 08/Per/M.KOMINFO/02/2006 tentang Interkoneksi

In English
Regulation Of Minister Of Communications and Informatics Number 08/Per/M.KOMINFO/02/2006
T.E.U. Badan/Pengarang Indonesia, Kementrian Komunikasi dan Informatika
Nomor Peraturan 8
Jenis / Bentuk Peraturan Peraturan Menteri
Singkatan Jenis/Bentuk Peraturan PERMEN
Tempat Penetapan Jakarta
Tanggal-Bulan-Tahun Penetapan/Pengundangan 08-02-2006  /  08-02-2006
Sumber
Subjek INTERKONEKSI
Status Peraturan Tidak Berlaku

Keterangan

Mencabut

- KEPMENPARPOSTEL No. KM. 46/PR.301/MPPT-98;
- KEPMENHUB No. KM. 37 Tahun 1999;
- SURAT MENPARPOSTEL No. KU.506/I/I/MPPT-97; dan
- KEPMENHUB No. KM. 32 Tahun 2004.

Repealed:

PERMENKOMINFO No. 5 Tahun 2021

Bahasa Indonesia
Lokasi BIRO HUKUM
Bidang Hukum -
Lampiran

Terjemahan