Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko

menimbang

bahwa untuk melaksanakan ketentuanPasal 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;

mengingat

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);

menetapkan

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO.

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Sektor perdagangan termasuk perdagangan berjangka komoditi, sistem resi gudang, pasar lelang komoditas, dan metrologi legal.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k

Cukup jelas.

Huruf 1

Cukup jelas.

Huruf m

Cukup jelas.

Huruf n

Cukup jelas.

Huruf o

Cukup jelas.

Huruf p

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Ayat 4

Yang dimaksud dengan:

1. "parameter Risiko" adalah parameter yang digunakan untuk menilai Risiko kegiatan usaha dan jenis Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang terdiri dari skala usaha dan luas lahan. Skala usaha adalah usaha mikro, kecil, menengah, dan besar.

2. "jangka waktu" adalah waktu yang dibutuhkan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk menerbitkan Perizinan Berusaha berdasarkan analisis Risiko dan Perizinan Berusaha untuk menunjang kegiatan usaha, terhitung sejak dokumen lengkap dan benar.

3. "masa berlaku" adalah masa berlaku Perizinan Berusaha berdasarkan analisis Risiko dan Perizinan Berusaha untuk menunjang kegiatan usaha.

Ayat 5

Yang dimaksud dengan:

1. "persyaratan" adalah suatu tindakan yang harus dilakukan oleh Pelaku Usaha sebelum memiliki Perizinan Berusaha.

2. "kewajiban" adalah tindakan yang harus dilakukan oleh Pelaku Usaha setelah memiliki Perizinan Berusaha.

Ayat 6

Cukup jelas.

Ayat 7

Cukup jelas.

Ayat 8

Cukup jelas.

Ayat 9

Cukup jelas.

Ayat 10

Cukup jelas.

Ayat 11

Cukup jelas.

Ayat 12

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Data dapat berupa statistik, literatur, berita, laporan publik, dan sumber lainnya yang dinilai relevan dalam menentukan dan melakukan analisis Risiko.

Ayat 4

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Ayat 4

Kewajiban bagi Pelaku Usaha untuk memenuhi standar kegiatan usaha ini selanjutnya dilakukan dalam bentuk Pengawasan oleh Pemerintah Pusat dan/ atau Pemerintah Daerah pada saat Pelaku Usaha melaksanakan kegiatan usaha.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Yang dimaksud dengan "lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi" adalah badan usaha atau orang perseorangan yang memiliki kompetensi berdasarkan akreditasi atau sertifikat yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Ayat 1

Huruf a

Yang dimaksud dengan:

1. "kapal penangkap ikan" adalah kapal yang digunakan untuk menangkap ikan, termasuk menampung, menyimpan, mendinginkan, dan/atau mengawetkan ikan.

2. "Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI)" adalah wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan, yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Yang dimaksud dengan:

1. "Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)" adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia.

2. "penangkapan ikan" adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/ atau mengawetkannya.

3. "laut lepas" adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan perairan pedalaman Indonesia.

Huruf c

Cukup jelas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Yang dimaksud dengan "Regional Fisheries Management Organizations (RFMO)" adalah organisasi pengelolaan perikanan regional yang memiliki ketentuan atau pengaturan tersendiri, khususnya untuk menjamin konservasi dan keberlanjutan sumber daya ikan di wilayah tertentu.

Ketentuan perjanjian internasional terkait pelabuhan perikanan yaitu port state measure agreement.

Pasal 30

Yang dimaksud dengan "andon penangkapan ikan" adalah kegiatan penangkapan ikan di laut yang dilakukan oleh nelayan dan nelayan kecil, dengan menggunakan kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 30 (tiga puluh) gross tonnage dengan daerah penangkapan ikan sesuai tanda daftar kapal perikanan andon atau surat tanda penangkapan ikan andon.

Pasal 31

Ayat 1

Yang dimaksud dengan "kapal pengangkut ikan" adalah kapal yang memiliki palkah dan/ atau secara khusus digunakan untuk mengangkut, memuat, menampung, mengumpulkan, menyimpan, mendinginkan, dan/atau mengawetkan ikan.

Yang dimaksud dengan "pengangkutan ikan" adalah kegiatan pengangkutan ikan yang menggunakan kapal yang khusus digunakan untuk melakukan pengangkutan ikan, baik di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia maupun di laut lepas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Ayat 4

Cukup jelas.

Ayat 5

Yang dimaksud dengan "pembudidayaan ikan" adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Ketentuan perjanjian internasional terkait pelabuhan perikanan yaitu port state measure agreement.

Pasal 34

Ayat 1

Yang dimaksud dengan "alih muatan" adalah pemindahan ikan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan ke kapal pengangkut ikan.

Ayat 2

Ketentuan perjanjian internasional terkait pelabuhan perikanan yaitu port state measure agreement.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Ayat 1

Pengertian atau istilah dalam sektor pertanian mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanian, perkebunan, tanaman pangan, hortikultura, peternakan dan kesehatan hewan, ketahanan pangan, dan sarana pertanian.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Huruf a

Cukup jelas.

Yang termasuk usaha perbenihan meliputi Benih Penjenis (BS), Benih Dasar (BD), Benih Pokok (BP), dan Benih Sebar (BR).

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Ayat 4

Jenis tanaman hortikultura disesuaikan dengan jenis komoditas binaan sektor pertanian.

Ayat 5

Cukup jelas.

Ayat 6

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Pengertian atau istilah dalam sektor lingkungan hidup dan kehutanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Pengertian atau istilah dalam sektor energi dan sumber daya mineral mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, mineral dan batubara, serta energi baru, terbarukan, dan konservasi energi.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Pengertian atau istilah dalam sektor ketenaganukliran mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenaga nukliran.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.

Pasal 60

Pengertian atau istilah dalam sektor perindustrian mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67 

  1. Dalam 1 (satu) Perizinan Berusaha hanya berlaku bagi 1 (satu) Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang:

    1. memiliki usaha industri dengan 1 (satu) kelompok usaha sesuai dengan KBLI 5 (lima) digit dan berada dalam 1 (satu) lokasi industri;

    2. memiliki beberapa usaha industri yang merupakan 1 (satu) unit produksi terpadu dengan KBLI 5 (lima) digit yang berbeda dalam 1 (satu) kawasan industri; atau

    3. memiliki beberapa usaha industri dengan 1 (satu) kelompok usaha sesuai dengan KBLI 5 (lima) digit yang sama dan berada di beberapa lokasi dalam 1 (satu) kawasan industri.

  2. Dalam hal Pelaku Usaha di sektor perindustrian memiliki usaha industri di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memiliki Perizinan Berusaha barn.

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69

Cukup jelas.

Pasal 70

Cukup jelas.

Pasal 71

Cukup jelas.

Pasal 72

Cukup jelas.

Pasal 73

Cukup jelas.

Pasal 74

Cukup jelas.

Pasal 75

Cukup jelas.

Pasal 76

Cukup jelas.

Pasal 77

Pengertian atau istilah dalam sektor perdagangan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perdagangan, perdagangan berjangka komoditi, sistem resi gudang, dan pasar lelang komoditas.

Pasal 78

Cukup jelas.

Pasal 79

Cukup jelas.

Pasal 80

Ayat 1

Pengertian atau istilah dalam sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi, arsitek, sumber daya air, dan jalan.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Pasal 81

Cukup jelas.

Pasal 82

Cukup jelas.

Pasal 83

Cukup jelas.

Pasal 84

Cukup jelas.

Pasal 85

Cukup jelas.

Pasal 86

Cukup jelas.

Pasal 87

Cukup jelas.

Pasal 88

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "Penanggung Jawab Teknis Badan Usaha (PJTBU)" adalah pegawai tetap yang bertanggung jawab terhadap aspek keteknikan dalam operasionalisasi BUJK.

Huruf c

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Ayat 4

Cukup jelas.

Ayat 5

Cukup jelas.

Ayat 6

Cukup jelas.

Ayat 7

Cukup jelas.

Pasal 89

Cukup jelas.

Pasal 90

Cukup jelas.

Pasal 91

Cukup jelas.

Pasal 92

Cukup jelas.

Pasal 93

Cukup jelas.

Pasal 94

Cukup jelas.

Pasal 95

Cukup jelas.

Pasal 96

Cukup jelas.

Pasal 97

Cukup jelas.

Pasal 98

Cukup jelas.

Pasal 99

Cukup jelas.

Pasal 100

Cukup jelas.

Pasal 101

Cukup jelas.

Pasal 102

Cukup jelas.

Pasal 103

Cukup jelas.

Pasal 104

Cukup jelas.

Pasal 105

Cukup jelas.

Pasal 106

Cukup jelas.

Pasal 107

Cukup jelas.

Pasal 108

Cukup jelas.

Pasal 109

Cukup jelas.

Pasal 110

Cukup jelas.

Pasal 111

Cukup jelas.

Pasal 112

Cukup jelas.

Pasal 113

Cukup jelas.

Pasal 114

Cukup jelas.

Pasal 115

Cukup jelas.

Pasal 116

Pengertian atau istilah dalam sektor transportasi mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan, pelayaran, penerbangan, dan perkeretaapian.

Pasal 117

Cukup jelas.

Pasal 118

Cukup jelas.

Pasal 119

Pengertian atau istilah dalam sektor kesehatan, obat dan makanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang narkotika, pangan, kesehatan, rumah sakit, dan kekarantinaan kesehatan.

Pasal 120

Cukup jelas.

Pasal 121

Cukup jelas.

Pasal 122

Cukup jelas.

Pasal 123

Cukup jelas.

Pasal 124

Cukup jelas.

Pasal 125

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Agar standar dan/atau persyaratan yang dihasilkan memenuhi kaidah yang baik, tim penyusun nantinya dibentuk oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan dengan mengikutsertakan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, akademisi, profesional, dan/atau asosiasi terkait.

Ayat 4

Cukup jelas.

Pasal 126

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Agar standar dan/atau persyaratan yang dihasilkan memenuhi kaidah yang baik, tim penyusun nantinya dibentuk oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan dengan mengikutsertakan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, akademisi, profesional, dan/atau asosiasi terkait.

Ayat 4

Cukup jelas.

Pasal 127

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Agar standar dan/atau persyaratan yang dihasilkan memenuhi kaidah yang baik, tim penyusun nantinya dibentuk oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan dengan mengikutsertakan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, akademisi, profesional, dan/ atau asosiasi terkait.

Ayat 4

Cukup jelas.

Pasal 128

Cukup jelas.

Pasal 129

Cukup jelas.

Pasal 130

Cukup jelas.

Pasal 131

Ayat 1

Penerapan cara yang baik ditujukan untuk Pelaku Usaha pangan agar dalam melaksanakan kegiatannya memperhatikan keamanan pangan, misalnya cara produksi pangan olahan yang baik, cara distribusi pangan olahan yang baik, cara produksi yang baik untuk pangan steril komersial, dan cara ritel pangan yang baik.

Ayat 2

Kajian Risiko mempertimbangkan antara lain karakteristik pangan olahan, profil Risiko sarana, dan target konsumen.

Yang dimaksud dengan "sistem jaminan keamanan pangan dan mutu pangan" merupakan upaya pencegahan yang perlu diperhatikan dan/atau dilaksanakan dalam rangka menghasilkan pangan yang aman bagi kesehatan manusia dan bermutu, yang lazimnya diselenggarakan sejak awal kegiatan produksi pangan sampai dengan siap untuk diperdagangkan dan merupakan sistem Pengawasan dan pengendalian mutu yang selalu berkembang menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 132

Cukup jelas.

Pasal 133

Cukup jelas.

Pasal 134

Ayat 1

Subsektor pendidikan dalam ketentuan ini termasuk subsektor pendidikan yang pembinaannya dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.

Yang dimaksud dengan kata "dapat' dalam ketentuan ini pada dasarnya kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha Berbasis Risiko tidak berlaku pada sektor pendidikan kecuali lembaga pendidikan formal di KEK yang diatur tersendiri.

Ayat 2

Selain Pasal 65 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan adalah:

1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;

2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen;

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi;

4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran; dan

5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

Ayat 3

Cukup jelas.

Ayat 4

Cukup jelas.

Ayat 5

Cukup jelas.

Pasal 135

Pengertian atau istilah dalam subsektor kebudayaan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perfilman.

Pasal 136

Cukup jelas.

Pasal 137

Cukup jelas.

Pasal 138

Cukup jelas.

Pasal 139

Cukup jelas.

Pasal 140

Pengertian atau istilah dalam sektor pariwisata mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepariwisataan.

Pasal 141

Cukup jelas.

Pasal 142

Cukup jelas.

Pasal 143

Cukup jelas.

Pasal 144

Pengertian atau istilah dalam sektor keagamaan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penyelenggaraan ibadah haji dan umrah.

Pasal 145

Cukup jelas.

Pasal 146

Cukup jelas.

Pasal 147

Cukup jelas.

Pasal 148

Cukup jelas.

Pasal 149

Ayat 1

Pengertian atau istilah dalam sektor pos, telekomunikasi, penyiaran, dan sistem dan transaksi elektronik mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pos, telekomunikasi, penyiaran, dan informasi dan transaksi elektronik.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Ayat 4

Cukup jelas.

Ayat 5

Cukup jelas.

Pasal 150

Cukup jelas.

Pasal 151

Cukup jelas.

Pasal 152

Cukup jelas.

Pasal 153

Pengertian atau istilah dalam subsektor industri pertahanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang industri pertahanan.

Pasal 154

Cukup jelas.

Pasal 155

Cukup jelas.

Pasal 156

Cukup jelas.

Pasal 157

Cukup jelas.

Pasal 158

Cukup jelas.

Pasal 159

Cukup jelas.

Pasal 160

Pengertian atau istilah dalam subsektor keamanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepolisian.

Pasal 161

Cukup jelas.

Pasal 162

Cukup jelas.

Pasal 163

Cukup jelas.

Pasal 164

Ayat 1

Pengertian atau istilah dalam sektor ketenagakerjaan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

Ayat 2

Cukup jelas.

Pasal 165

Cukup jelas.

Pasal 166

Cukup jelas.

Pasal 167

Cukup jelas.

Pasal 168

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Rencana tata ruang berupa rencana detail tata ruang, rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang kawasan strategis nasional, rencana tata ruang pulau/kepulauan, dan rencana tata ruang wilayah nasional.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Pasal 169

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Ayat 4

Yang dimaksud dengan "hak akses terbatas" adalah hak akses yang dibatasi hanya untuk informasi tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemberian hak akses terbatas dapat diberikan kepada perbankan, asuransi, lembaga pembiayaan dan lain-lain.

Pasal 170

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Ayat 4

Cukup jelas.

Ayat 5

Cukup jelas.

Ayat 6

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Yang termasuk badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara antara lain Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Lembaga Pengelola Investasi, dan Bank Tanah.

Huruf j

Cukup jelas.

Ayat 7

Cukup jelas.

Ayat 8

Cukup jelas.

Ayat 9

Cukup jelas.

Pasal 171

Ayat 1

Cukup jelas

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Contohnya: kepala DPMPTSP provinsi atau kepala DPMPTSP kabupaten / kota sebagai pengelola hak akses dapat memberikan hak akses turunan kepada dinas teknis provinsi/ kabupaten/ kota dalam rangka Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sesuai kewenangan masing-masing.

Pasal 172

Cukup jelas.

Pasal 173

Cukup jelas.

Pasal 174

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "badan usaha" tersebut termasuk badan usaha milik desa.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Yang dimaksud dengan "penanggung jawab yang berkewarganegaraan asing" termasuk pemberi waralaba dari luar negeri.

Pasal 175

Cukup jelas.

Pasal 176

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Ayat 4

Cukup jelas.

Ayat 5

Cukup jelas.

Ayat 6

Cukup jelas.

Ayat 7

Cukup jelas.

Ayat 8

Yang dimaksud dengan "tanda tangan elektronik" adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi, atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.

Pasal 177

Cukup jelas.

Pasal 178

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Yang dimaksud dengan "insentif dan / atau fasilitas Penanaman Modal", antara lain tax holiday, tax allowance, dan lain-lain.

Pasal 179

Cukup jelas.

Pasal 180

Cukup jelas.

Pasal 181

Ayat 1

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Ketentuan mengenai kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, termasuk izin lokasi yang diterbitkan sebelum diterbitkannya Peraturan Pemerintah ini.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Pasal 182

Cukup jelas.

Pasal 183

Ayat 1

Ketentuan ini diterapkan misalnya bagi Pelaku Usaha yang akan menggelar kabel laut atau optik di darat dan laut atau yang akan membangun pelabuhan.

Ayat 2

Cukup jelas.

Pasal 184

Cukup jelas.

Pasal 185

Cukup jelas.

Pasal 186

Cukup jelas.

Pasal 187

Cukup jelas.

Pasal 188

Cukup jelas.

Pasal 189

Cukup jelas.

Pasal 190

Cukup jelas.

Pasal 191

Cukup jelas.

Pasal 192

Cukup jelas.

Pasal 193

Cukup jelas.

Pasal 194

Cukup jelas.

Pasal 195

Cukup jelas.

Pasal 196

Cukup jelas.

Pasal 197

Cukup jelas.

Pasal 198

Cukup jelas.

Pasal 199

Cukup jelas.

Pasal 200

Cukup jelas.

Pasal 201

Ayat 1

NIB yang dimaksud adalah NIB dengan data terkini kegiatan usaha yang termasuk ke dalam tingkat Risiko tinggi.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Ayat 4

Cukup jelas.

Ayat 5

Cukup jelas.

Ayat 6

Cukup jelas.

Ayat 7

Cukup jelas.

Ayat 8

Cukup jelas.

Pasal 202

Cukup jelas.

Pasal 203

Cukup jelas.

Pasal 204

Cukup jelas.

Pasal 205

Cukup jelas.

Pasal 206

Cukup jelas.

Pasal 207

Cukup jelas.

Pasal 208

Cukup jelas.

Pasal 209

Cukup jelas.

Pasal 210

Cukup jelas.

Pasal 211

Cukup jelas.

Pasal 212

Cukup jelas.

Pasal 213

Cukup jelas.

Pasal 214

Cukup jelas.

Pasal 215

Cukup jelas.

Pasal 216

Cukup jelas.

Pasal 217

Cukup jelas.

Pasal 218

Cukup jelas.

Pasal 219

Cukup jelas.

Pasal 220

Cukup jelas.

Pasal 221

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Laporan terkait penyelenggaraan pelatihan dan alih teknologi kepada tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping dilakukan apabila Pelaku Usaha mempekerjakan tenaga kerja asing.

Pasal 222

Cukup jelas.

Pasal 223

Cukup jelas.

Pasal 224

Cukup jelas.

Pasal 225

Cukup jelas.

Pasal 226

Cukup jelas.

Pasal 227

Cukup jelas.

Pasal 228

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Ayat 4

Penghentian pelanggaran dapat dilakukan oleh pelaksana Pengawasan berdasarkan temuan di lapangan seperti pelarangan pembuangan air limbah dengan wajib menggunakan instalasi pengelolaan air limbah, penggunaan disinfektan di hotel, dan lainnya.

Pasal 229

Cukup jelas.

Pasal 230

Cukup jelas.

Pasal 231

Cukup jelas.

Pasal 232

Cukup jelas.

Pasal 233

Cukup jelas.

Pasal 234

Cukup jelas.

Pasal 235

Cukup jelas.

Pasal 236

Cukup jelas.

Pasal 237

Cukup jelas.

Pasal 238

Cukup jelas.

Pasal 239

Cukup jelas.

Pasal 240

Cukup jelas.

Pasal 241

Cukup jelas.

Pasal 242

Cukup jelas.

Pasal 243

Cukup jelas.

Pasal 244

Cukup jelas.

Pasal 245

Cukup jelas.

Pasal 246

Cukup jelas.

Pasal 247

Cukup jelas.

Pasal 248

Cukup jelas.

Pasal 249

Cukup jelas.

Pasal 250

Cukup jelas.

Pasal 251

Cukup jelas.

Pasal 252

Cukup jelas.

Pasal 253

Cukup jelas.

Pasal 254

Cukup jelas.

Pasal 255

Cukup jelas.

Pasal 256

Cukup jelas.

Pasal 257

Cukup jelas.

Pasal 258

Cukup jelas.

Pasal 259

Cukup jelas.

Pasal 260

Cukup jelas.

Pasal 261

Cukup jelas.

Pasal 262

Cukup jelas.

Pasal 263

Cukup jelas.

Pasal 264

Ayat 1

Yang dimaksud dengan "berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan" yaitu Pengawasan atas ditaatinya ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Ayat 2

Cukup jelas.

Pasal 265

Cukup jelas.

Pasal 266

Cukup jelas.

Pasal 267

Cukup jelas.

Pasal 268

Cukup jelas.

Pasal 269

Cukup jelas.

Pasal 270

Cukup jelas.

Pasal 271

Cukup jelas.

Pasal 272

Cukup jelas.

Pasal 273

Cukup jelas.

Pasal 274

Cukup jelas.

Pasal 275

Cukup jelas.

Pasal 276

Cukup jelas.

Pasal 277

Cukup jelas.

Pasal 278

Cukup jelas.

Pasal 279

Cukup jelas.

Pasal 280

Cukup jelas.

Pasal 281

Cukup jelas.

Pasal 282

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Yang dimaksud dengan "masa puncak angkutan" atau peak season antara lain lebaran, natal, tahun baru, dan liburan sekolah.

Pasal 283

Cukup jelas.

Pasal 284

Cukup jelas.

Pasal 285

Cukup jelas.

Pasal 286

Cukup jelas.

Pasal 287

Cukup jelas.

Pasal 288

Cukup jelas.

Pasal 289

Cukup jelas.

Pasal 290

Cukup jelas.

Pasal 291

Cukup jelas.

Pasal 292

Cukup jelas.

Pasal 293

Cukup jelas.

Pasal 294

Cukup jelas.

Pasal 295

Cukup jelas.

Pasal 296

Cukup jelas.

Pasal 297

Cukup jelas.

Pasal 298

Cukup jelas.

Pasal 299

Cukup jelas.

Pasal 300

Cukup jelas.

Pasal 301

Cukup jelas.

Pasal 302

Cukup jelas.

Pasal 303

Cukup jelas.

Pasal 304

Cukup jelas.

Pasal 305

Cukup jelas.

Pasal 306

Cukup jelas.

Pasal 307

Cukup jelas.

Pasal 308

Cukup jelas.

Pasal 309

Cukup jelas.

Pasal 310

Cukup jelas.

Pasal 311

Cukup jelas.

Pasal 312

Cukup jelas.

Pasal 313

Cukup jelas.

Pasal 314

Cukup jelas.

Pasal 315

Cukup jelas.

Pasal 316

Cukup jelas.

Pasal 317 

  1. Setiap Pelaku Usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Perizinan Berusaha di sektor kelautan dan perikanan berupa:

    1. pemanfaatan ruang dari perairan yang tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut;

    2. pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka Penanaman Modal Asing yang tidak memiliki Perizinan Berusaha;

    3. pemanfaatan ruang perairan dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut yang diberikan;

    4. pemanfaatan ruang laut secara menetap di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut;

    5. pemanfaatan ruang laut secara menetap yang tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut;

    6. usaha pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan;

    7. memiliki dan/ atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia untuk melakukan penangkapan ikan di WPPNRI dan/atau di laut lepas yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha;

    8. mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di WPPNRI yang tidak membawa dokumen Perizinan Berusaha;

    9. memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI tanpa memiliki Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat;

    10. mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI tanpa membawa dokumen Perizinan Berusaha;

    11. membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan tanpa persetujuan;

    12. pelanggaran terhadap kewajiban menggunakan nakhoda dan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia;

    13. pelanggaran terhadap kewajiban pendaftaran kapal;

    14. pelanggaran terhadap kewajiban melakukan bongkar muat ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk; dan

    15. mengimpor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman yang tidak se suai dengan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib yang ditetapkan, dikenai sanksi administratif.

  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari atas:

    1. peringatan/teguran tertulis;

    2. paksaan pemerintah;

    3. denda administratif;

    4. pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau

    5. pencabutan Perizinan Berusaha.

  3. Jenis sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan secara kumulatif atau bertahap, kecuali pelanggaran tertentu yang sanksi administratifnya ditentukan secara limitatif oleh peraturan perundang-undangan.

  4. Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengedepankan upaya pembinaan kepatuhan Pelaku Usaha di bidang kelautan dan perikanan.

Pasal 318

Cukup jelas.

Pasal 319

Cukup jelas.

Pasal 320

Cukup jelas.

Pasal 321

Cukup jelas.

Pasal 322

Cukup jelas.

Pasal 323

Cukup jelas.

Pasal 324 

Setiap perusahaan perkebunan yang melakukan kegiatan usaha tanpa memiliki Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha dan/atau Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha dikenai sanksi administratif berupa:

  1. penghentian sementara kegiatan;

  2. pengenaan denda administratif; dan/atau

  3. paksaan Pemerintah Pusat.

Pasal 325

Cukup jelas.

Pasal 326

Cukup jelas.

Pasal 327 

Setiap perusahaan perkebunan yang melanggar ketentuan Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha, dikenai sanksi administratif berupa:

  1. penghentian sementara kegiatan;

  2. pengenaan denda administratif; dan/atau

  3. pencabutan Perizinan Berusaha perkebunan.

Pasal 328

Cukup jelas.

Pasal 329

Cukup jelas.

Pasal 330 

Setiap Pelaku Usaha perkebunan yang melanggar ketentuan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha, dikenai sanksi administratif berupa:

  1. peringatan tertulis;

  2. penghentian sementara kegiatan; dan/ atau

  3. pencabutan Perizinan Berusaha.

Pasal 331

Cukup jelas.

Pasal 332 

  1. Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 330 huruf a dikenai terhadap Pelaku Usaha yang melakukan:

    1. pemasukan benih tanaman perkebunan:

      1. yang tidak melaporkan realisasi pemasukan benih paling lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak diterbitkannya sertifikat pelepasan, untuk instansi pemerintah, pemerhati tanaman, dan perseorangan;

      2. yang tidak melaporkan realisasi pemasukan benih paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak diterbitkannya sertifikat pelepasan, untuk badan usaha;

      3. yang tidak memenuhi standar mutu varietas; dan/ atau

      4. yang tidak melakukan pemusnahan terhadap sisa benih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang karantina tumbuhan;

    2. pengeluaran benih tanaman perkebunan yang tidak melaporkan realisasi pengeluaran benih paling lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak diterbitkannya sertifikat kesehatan;

    3. sertifikasi benih tanaman perkebunan yang tidak memenuhi standar mutu benih dan/atau tidak memiliki dokumen sertifikasi benih;

    4. impor tembakau yang tidak melaporkan rekapitulasi realisasi paling lama 5 (lima) Hari terhitung sejak diterbitkannya sertifikat pelepasan; dan

    5. pelepasan varietas tanaman perkebunan yang tidak melaporkan peredaran varietas selama 2 (dua) triwulan berturut-turut.

  2. Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Pelaku Usaha untuk menyesuaikan dengan standar dalam waktu paling lama 7 (tujuh) Hari.

Pasal 333

Cukup jelas.

Pasal 334

Cukup jelas.

Pasal 335 

Setiap Pelaku Usaha tanaman pangan yang melanggar ketentuan Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan basil analisis Risiko kegiatan usaha, dikenai sanksi administratif berupa:

  1. peringatan tertulis;

  2. denda administratif;

  3. penghentian sementara kegiatan usaha;

  4. penarikan produk dari peredaran;

  5. pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau

  6. penutupan usaha.

Pasal 336 

  1. Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  2. Sanksi administratif berupa peringatan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 huruf a diberikan kepada Pelaku Usaha 1 (satu) kali dalam jangka waktu 1 (satu) tahun untuk menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha pada subsektor tanaman pangan.

  3. Dalam hal Pelaku Usaha tidak dapat menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 huruf b untuk:

    1. skala kecil, paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);

    2. skala menengah, paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); atau

    3. skala besar, paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

  4. Dalam hal Pelaku Usaha tidak dapat menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 huruf c paling lama 1 (satu) bulan.

  5. Dalam hal pelanggaran ketentuan Perizinan Berusaha menimbulkan Risiko keamanan, kesehatan, keselamatan, dan lingkungan, Pelaku Usaha dikenai sanksi administratif berupa penarikan produk dari peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 huruf d.

  6. Sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 huruf e dilakukan apabila Pelaku Usaha tetap tidak dapat menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha setelah dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5).

  7. Pelaku Usaha yang menggunakan lahan hak ulayat tanpa persetujuan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha.

  8. Sanksi administratif berupa penutupan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 huruf f dilakukan apabila Pelaku Usaha tidak melakukan perbaikan setelah dilakukan pencabutan Perizinan Berusaha.

Pasal 337

Cukup jelas.

Pasal 338

Cukup jelas.

Pasal 339 

Setiap Pelaku Usaha hortikultura yang melanggar ketentuan Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha, dikenai sanksi administratif berupa:

  1. peringatan secara tertulis;

  2. denda administratif;

  3. penghentian sementara kegiatan;

  4. penarikan produk dan peredaran oleh Pelaku Usaha;

  5. pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau

  6. penutupan usaha.

Pasal 340

Cukup jelas.

Pasal 341

Cukup jelas.

Pasal 342

Cukup jelas.

Pasal 343 

Setiap Pelaku Usaha peternakan dan kesehatan hewan yang melanggar ketentuan Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha, dikenai sanksi administratif berupa:

  1. peringatan secara tertulis;

  2. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;

  3. penarikan obat hewan, pakan, alat dan mesin, atau produk hewan dari peredaran;

  4. pengenaan denda administratif; dan/atau

  5. pencabutan Perizinan Berusaha.

Pasal 344

Cukup jelas.

Pasal 345

Cukup jelas.

Pasal 346 

  1. Pelaku Usaha peternakan dan kesehatan hewan:

    1. pada Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha berupa:

      1. izin pemasukan dan/atau pengeluaran benih tanaman pakan ternak;

      2. izin pemasukan dan/atau pengeluaran bahan pakan asal tumbuhan;

      3. izin pemasukan dan/atau pengeluaran pakan;

      4. rekomendasi pemasukan dan/atau pengeluaran karkas, daging, jeroan, dan/atau olahannya untuk pangan;

      5. rekomendasi pemasukan daging tanpa tulang;

      6. rekomendasi pemasukan dan pengeluaran produk pangan asal hewan;

      7. rekomendasi pemasukan dan pengeluaran produk hewan nonpangan;

      8. rekomendasi pemasukan dan/atau pengeluaran benih dan/atau bibit ternak;

      9. rekomendasi pengeluaran ternak (nonbibit ternak);

      10. izin pemasukan dan/atau pengeluaran bahan pakan asal hewan;

      11. rekomendasi pemasukan dan/atau pengeluaran ruminansia besar;

      12. izin pemasukan dan pengeluaran hewan kesayangan dan satwa;

      13. izin pemasukan hewan laboratorium;

      14. izin pemasukan dan/atau pengeluaran obat hewan;

      15. izin pemasukan dan/ atau pengeluaran peralatan kesehatan hewan; dan

      16. izin pemasukan telur specific phatogen free, yang tidak melaporkan realisasi pemasukan dan/atau pengeluaran;

    2. pada Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha berupa pendaftaran pakan yang:

      1. tidak menyampaikan laporan produksi dan peredaran pakan;

      2. menggunakan hormon sintetis; dan/atau

      3. mengedarkan pakan yang telah habis masa berlaku nomor pendaftaran;

    3. pada Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha berupa pendaftaran obat hewan yang tidak menjamin obat hewan yang beredar sesuai dengan:

      1. standar keamanan, khasiat, dan mutu;

      2. masa berlaku nomor pendaftaran;

      3. isi atau kandungan pada saat pendaftaran; dan

      4. label dan tanda pada saat pendaftaran;

    4. pada Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha berupa pelepasan varietas tanaman pakan ternak yang tidak melaporkan kegiatan usaha; atau

    5. pada Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha berupa registrasi produk hewan yang tidak melaporkan kegiatan usaha dan kelayakan produk hewan, dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis.

  2. Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing paling lama 10 (sepuluh) Hari untuk menyesuaikan dengan standar.

Pasal 347

Cukup jelas.

Pasal 348

Cukup jelas.

Pasal 349

Cukup jelas.

Pasal 350

Cukup jelas.

Pasal 351

Cukup jelas.

Pasal 352

Cukup jelas.

Pasal 353

Cukup jelas.

Pasal 354

Cukup jelas.

Pasal 355

Cukup jelas.

Pasal 356

Cukup jelas.

Pasal 357

Cukup jelas.

Pasal 358 

Setiap Pelaku Usaha ketahanan pangan yang melanggar ketentuan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha, dikenai sanksi administratif berupa:

  1. peringatan tertulis;

  2. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran disertai pembekuan nomor pendaftaran atau izin;

  3. pencabutan nomor pendaftaran atau izin; dan/atau

  4. penarikan produk dari peredaran.

Pasal 359

Cukup jelas.

Pasal 360 

Setiap Pelaku Usaha sarana pertanian yang melanggar ketentuan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha, dikenai sanksi administratif berupa:

  1. peringatan tertulis;

  2. penghentian sementara kegiatan produksi dan/atau peredaran;

  3. pencabutan izin; dan

  4. penarikan produk dan peredaran.

Pasal 361

Cukup jelas.

Pasal 362

Cukup jelas.

Pasal 363 

Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap Perizinan Berusaha di sektor lingkungan hidup dan kehutanan, dikenai sanksi administratif berupa:

  1. teguran tertulis;

  2. paksaan pemerintah;

  3. denda administratif;

  4. pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau

  5. pencabutan Perizinan Berusaha.

Pasal 364

Cukup jelas.

Pasal 365

Cukup jelas.

Pasal 366 

  1. Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha hilir tanpa Perizinan Berusaha, dikenai sanksi administratif dengan tahapan sebagai berikut:

    1. penghentian usaha dan/ atau kegiatan; dan

    2. denda administratif.

  2. Penghentian usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan bersamaan dengan paksaan Pemerintah Pusat.

  3. Paksaan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:

    1. pembongkaran sarana dan fasilitas;

    2. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran;

    3. paksaan badan; dan/atau

    4. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.

  4. Dalam melakukan paksaan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melibatkan aparat penegak hukum.

  5. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 367

Cukup jelas.

Pasal 368 

  1. Badan usaha yang dikenai sanksi administratif berupa penghentian usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 366 ayat (1) huruf a, dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari wajib mengajukan permohonan Perizinan Berusaha sejak penghentian usaha dan/atau kegiatan.

  2. Dalam hal permohonan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diajukan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari sejak penghentian usaha dan/atau kegiatan, Pemerintah Pusat dapat mengenakan denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 366 ayat (1) huruf b.

Pasal 369

Cukup jelas.

Pasal 370

Cukup jelas.

Pasal 371

Cukup jelas.

Pasal 372

Cukup jelas.

Pasal 373

Cukup jelas.

Pasal 374 

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 373 berupa:

  1. teguran tertulis;

  2. pembekuan kegiatan usaha; dan

  3. pencabutan Perizinan Berusaha.

Pasal 375

Cukup jelas.

Pasal 376 

  1. Dalam hal setelah berakhirnya jangka waktu teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 375, pemegang Perizinan Berusaha belum melaksanakan kewajibannya, dikenai sanksi administratif berupa pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 374 huruf b.

  2. Sanksi administratif berupa pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) Hari.

Pasal 377 

Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 376 ayat (2), pemegang Perizinan Berusaha tetap tidak melaksanakan kewajibannya, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral mencabut Perizinan Berusaha.

Pasal 378

Cukup jelas.

Pasal 379

Cukup jelas.

Pasal 380 

  1. Setiap Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan mengenai kewajiban, persyaratan, dan/atau standar pada subsektor ketenagalistrikan dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. pembekuan kegiatan sementara;

    3. denda; dan/atau

    4. pencabutan Perizinan Berusaha.

  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau gubernur sesuai dengan wilayah kerjanya.

  3. Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu:

    1. paling lama 2 (dua) bulan untuk teguran kesatu;

    2. paling lama 1 (satu) bulan untuk teguran kedua; dan

    3. paling lama 2 (dua) minggu untuk teguran ketiga.

  4. Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dicabut sewaktu-waktu apabila Pelaku Usaha memenuhi kewajibannya dalam masa pengenaan sanksi administratif.

  5. Dalam hal Pelaku Usaha yang telah mendapatkan sanksi teguran tertulis belum atau tidak melaksanakan kewajibannya setelah berakhirnya jangka waktu teguran ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau gubernur sesuai dengan wilayah kerjanya mengenakan sanksi administratif berupa pembekuan kegiatan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.

  6. Dalam hal Pelaku Usaha yang telah mendapatkan sanksi pembekuan kegiatan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) belum atau tidak melaksanakan kewajibannya dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau gubernur sesuai dengan wilayah kerjanya mengenakan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dengan tidak menggugurkan pemenuhan kewajiban yang harus dilakukan oleh Pelaku Usaha.

  7. Dalam hal Pelaku Usaha yang mendapatkan sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak membayar denda dan/atau tidak melaksanakan kewajibannya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau gubernur sesuai dengan wilayah kerjanya mengenakan sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.

Pasal 381

Cukup jelas.

Pasal 382

Cukup jelas.

Pasal 383

Cukup jelas.

Pasal 384 

Setiap Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung yang melanggar ketentuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan/atau pajak dan retribusi daerah dikenai sanksi administratif berupa:

  1. peringatan tertulis;

  2. penghentian sementara seluruh kegiatan usaha pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung; dan/ atau

  3. pencabutan Perizinan Berusaha.

Pasal 385

Cukup jelas.

Pasal 386 

  1. Sanksi administratif berupa penghentian sementara terhadap seluruh kegiatan pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 384 huruf b diberikan apabila Pelaku Usaha tidak melakukan kewajiban pengendalian pencemaran dan / atau kerusakan lingkungan hidup.

  2. Dalam hal Pelaku Usaha tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, gubernur atau bupati/wali kota memberikan sanksi pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 384 huruf c.

  3. Dalam hal Pelaku Usaha dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, gubernur, atau bupati/wali kota mencabut sanksi penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan membolehkan Pelaku Usaha untuk melanjutkan kegiatan usaha pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung.

Pasal 387

Cukup jelas.

Pasal 388 

  1. Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral mengenakan sanksi administratif kepada pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain.

  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

    1. peringatan tertulis;

    2. penghentian sementara terhadap kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain; dan/atau

    3. pencabutan Perizinan Berusaha.

  3. Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diberikan paling banyak 2 (dua) kali, dengan jangka waktu peringatan tertulis masing-masing paling lama 1 (satu) bulan.

  4. Dalam hal Pelaku Usaha yang telah mendapatkan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum melaksanakan kewajibannya, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral mengenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dalam jangka waktu 60 (enam puluh) Hari untuk:

    1. memperbaiki atas pelanggaran; atau

    2. memenuhi persyaratan.

  5. Dalam hal Pelaku Usaha tidak melakukan upaya perbaikan atas pelanggaran atau pemenuhan persyaratan dalam jangka waktu 60 (enam puluh) Hari sebagaimana dimaksud pada ayat (4), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral memberikan sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.

  6. Kewenangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral dalam memberikan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 389

Cukup jelas.

Pasal 390

Cukup jelas.

Pasal 391

Cukup jelas.

Pasal 392

Cukup jelas.

Pasal 393

Cukup jelas.

Pasal 394

Cukup jelas.

Pasal 395

Cukup jelas.

Pasal 396

Cukup jelas.

Pasal 397

Cukup jelas.

Pasal 398 

  1. Pemegang Perizinan Berusaha yang melanggar ketentuan subsektor pertambangan bahan galian nuklir dikenai sanksi berupa peringatan tertulis.

  2. Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sebanyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu masing-masing 10 (sepuluh) Hari.

  3. Apabila jangka waktu telah terlampaui dan pemegang Perizinan Berusaha tidak mematuhi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran membekukan Perizinan Berusaha.

  4. Pemegang Perizinan Berusaha wajib menghentikan sementara kegiatan pertambangannya terhitung sejak ditetapkannya keputusan pembekuan Perizinan Berusaha.

  5. Pemegang Perizinan Berusaha wajib memperbaiki dan menindaklanjuti pembekuan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak ditetapkannya keputusan pembekuan Perizinan Berusaha.

  6. Dalam hal pemegang Perizinan Berusaha memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan keputusan pemberlakuan kembali Perizinan Berusaha.

  7. Apabila selama jangka waktu pembekuan Perizinan Berusaha pemegang Perizinan Berusaha tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan tetap melakukan kegiatan pertambangan bahan galian nuklir, kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mencabut Perizinan Berusaha.

Pasal 399

Cukup jelas.

Pasal 400

Cukup jelas.

Pasal 401

Cukup jelas.

Pasal 402

Cukup jelas.

Pasal 403

Cukup jelas.

Pasal 404

Cukup jelas.

Pasal 405 

  1. Setiap Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang tidak memiliki Perizinan Berusaha industri dikenai sanksi administratif berupa:

    1. peringatan tertulis;

    2. denda administratif; dan/atau

    3. penutupan sementara.

  2. Setiap Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang tidak berlokasi di kawasan industri dan/atau Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang dikecualikan yang tidak berlokasi di kawasan peruntukan industri dikenai sanksi administratif berupa:

    1. peringatan tertulis;

    2. denda administratif;

    3. penutupan sementara;

    4. pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau

    5. pencabutan Perizinan Berusaha.

  3. Setiap Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dikenai sanksi administratif berupa:

    1. peringatan tertulis;

    2. denda administratif;

    3. penutupan sementara;

    4. pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau

    5. pencabutan Perizinan Berusaha.

  4. Pengenaan sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dapat langsung dikenakan sepanjang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 406 

Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 405 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) Hari.

Pasal 407 

  1. Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang telah dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan tidak melakukan perbaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 406 dikenai sanksi administratif berupa denda administratif.

  2. Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 1% (satu persen) dari nilai investasi.

  3. Nilai investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk kawasan industri berdasarkan hasil audit lembaga independen.

  4. Pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak surat pengenaan denda administratif diterima.

Pasal 408 

  1. Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang tidak memenuhi kewajibannya dan tidak membayar denda administratif dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 407 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara.

  2. Dalam hal Pelaku Usaha di sektor perindustrian telah membayar denda administratif tetapi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari sejak tanggal batas waktu pembayaran denda administratif tidak memenuhi kewajibannya dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara.

  3. Sanksi administratif berupa penutupan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bagi:

    1. Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang tidak memiliki Perizinan Berusaha dikenakan sampai dengan perusahaan yang bersangkutan memperoleh Perizinan Berusaha se suai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    2. Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang tidak berlokasi di kawasan industri, Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang dikecualikan yang tidak berlokasi di kawasan peruntukan industri, dan Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dikenakan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak tanggal surat penutupan sementara diterima.

Pasal 409 

  1. Dalam hal sejak tanggal berakhirnya sanksi administratif berupa penutupan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (3) huruf b Pelaku Usaha di sektor perindustrian tidak memenuhi kewajibannya dan/atau tidak membayar denda administratif dikenai sanksi administratif berupa pembekuan Perizinan Berusaha.

  2. Pembekuan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterbitkan surat penetapan pembekuan.

Pasal 410

Cukup jelas.

Pasal 411

Cukup jelas.

Pasal 412

Cukup jelas.

Pasal 413 

  1. Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap Perizinan Berusaha di sektor perdagangan, dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. penarikan barang dari distribusi;

    3. penghentian sementara kegiatan usaha;

    4. penutupan gudang;

    5. denda administratif; dan/ atau

    6. pencabutan Perizinan Berusaha.

  2. Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan tingkat kepatuhan atas hasil Pengawasan.

  3. Tata cara pengenaan sanksi administratif terhadap pelanggaran selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan 2 (dua) mekanisme:

    1. secara bertahap; dan

    2. secara tidak bertahap.

  4. Pengenaan sanksi administratif berupa penarikan barang dari distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, penutupan gudang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dapat dilakukan secara tidak bertahap.

Pasal 414

Cukup jelas.

Pasal 415 

  1. Setiap Pelaku Usaha dapat dikenai sanksi administratif atas pelanggaran terhadap kewajiban:

    1. melaporkan setiap penggantian tenaga kerja konstruksi;

    2. memenuhi persyaratan minimal jumlah peralatan utama untuk setiap subklasifikasi;

    3. memiliki dan memperpanjang SBU konstruksi bagi BUJK;

    4. memiliki dan memperpanjang SKK konstruksi bagi tenaga kerja konstruksi;

    5. menyampaikan laporan kegiatan usaha tahunan melalui aplikasi usaha jasa konstruksi sistem informasi jasa konstruksi terintegrasi;

    6. melakukan pencatatan pengalaman badan usaha dan usaha orang perseorangan;

    7. memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan bagi kantor perwakilan BUJKA dan BUJK Penanaman Modal Asing.

  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

    1. peringatan tertulis;

    2. pengenaan denda administratif;

    3. penghentian sementara kegiatan berusaha;

    4. daftar hitam; dan/atau

    5. pencabutan Perizinan Berusaha.

  3. Tata cara pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui mekanisme penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  4. Pelaku Usaha yang dikenai denda administratif wajib menyerahkan bukti bayar denda administratif kepada pimpinan instansi yang mengenakan sanksi.

Pasal 416

Cukup jelas.

Pasal 417

Cukup jelas.

Pasal 418

Cukup jelas.

Pasal 419

Cukup jelas.

Pasal 420

Cukup jelas.

Pasal 421

Cukup jelas.

Pasal 422

Cukup jelas.

Pasal 423

Cukup jelas.

Pasal 424

Cukup jelas.

Pasal 425

Cukup jelas.

Pasal 426

Cukup jelas.

Pasal 427

Cukup jelas.

Pasal 428

Cukup jelas.

Pasal 429

Cukup jelas.

Pasal 430

Cukup jelas.

Pasal 431 

  1. Pemegang Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air wajib mematuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha Berbasis Risiko subsektor sumber daya air.

  2. Pemegang Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air dilarang:

    1. menyewakan dan/atau memindahtangankan sebagian atau seluruh Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air kepada pihak lain;

    2. menguasai sumber air; dan/atau

    3. menutup akses masyarakat terhadap sumber air yang diusahakan.

  3. Selain larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air dilarang menghalangi dan harus membuka akses bagi kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sumber daya air dalam melakukan tugas pengelolaan sumber daya air, termasuk pemantauan, evaluasi, Pengawasan dan pemeriksaan pada sumber air.

  4. Pemegang Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa:

    1. peringatan tertulis;

    2. penghentian sementara;

    3. pembekuan; dan/atau

    4. pencabutan.

Pasal 432

Cukup jelas.

Pasal 433 

  1. Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 431 ayat (4) huruf a dapat dikenakan sebanyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut masing-masing untuk jangka waktu 7 (tujuh) Hari.

  2. Selama pemegang Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis kesatu sampai dengan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air tetap berlaku dan alokasi air tetap diberikan.

Pasal 434 

  1. Dalam hal pemegang Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air tidak melaksanakan kewajibannya sampai dengan 7 (tujuh) Hari setelah menerima surat peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 433 ayat (1), Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 431 ayat (4) huruf b.

  2. Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan untuk jangka waktu 14 (empat belas) Hari terhitung sejak berakhirnya peringatan tertulis ketiga.

  3. Selama pemegang Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kegiatan penggunaan sumber daya air dihentikan dan alokasi air diperhitungkan namun tidak diberikan.

  4. Dalam hal pemegang Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air melaksanakan kewajibannya sebelum jangka waktu penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, kegiatan penggunaan sumber daya air dapat dilakukan dan alokasi air diberikan.

  5. Dalam hal pemegang Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air tidak melaksanakan kewajibannya sampai dengan jangka waktu penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, pemegang Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 431 ayat (4) huruf c.

  6. Pembekuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenakan untuk jangka waktu 14 (empat belas) Hari terhitung sejak berakhirnya jangka waktu penghentian sementara.

  7. Selama pemegang Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), kegiatan penggunaan sumber daya air dihentikan dan alokasi air tidak diperhitungkan.

  8. Dalam hal pemegang Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air melaksanakan kewajibannya sebelum jangka waktu pembekuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berakhir, kegiatan penggunaan sumber daya air dapat dilakukan dan alokasi air diberikan setelah berakhirnya jangka waktu pembekuan.

Pasal 435

Cukup jelas.

Pasal 436

Cukup jelas.

Pasal 437

Cukup jelas.

Pasal 438

Cukup jelas.

Pasal 439 

  1. Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap Perizinan Berusaha di sektor transportasi, dikenai sanksi administratif berupa:

    1. peringatan;

    2. pembekuan Perizinan Berusaha;

    3. pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau

    4. denda administratif.

  2. Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan tingkat kesalahan yang ditemukan pada kegiatan Pengawasan.

Pasal 440

Cukup jelas.

Pasal 441

Cukup jelas.

Pasal 442

Cukup jelas.

Pasal 443

Cukup jelas.

Pasal 444 

  1. Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap Perizinan Berusaha di subsektor kesehatan, dikenai sanksi administratif berupa:

    1. peringatan;

    2. penghentian sementara kegiatan berusaha;

    3. pengenaan denda administratif; dan/atau

    4. pencabutan Perizinan Berusaha.

  2. Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap kegiatan usaha yang terkait dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan rumah tangga diberikan sanksi administratif berupa paksaan pemerintah meliputi:

    1. penghentian penayangan iklan;

    2. perintah penarikan produk; dan/atau

    3. perintah pemusnahan produk.

  3. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan tidak secara berjenjang.

Pasal 445

Cukup jelas.

Pasal 446

Cukup jelas.

Pasal 447

Cukup jelas.

Pasal 448

Cukup jelas.

Pasal 449

Cukup jelas.

Pasal 450

Cukup jelas.

Pasal 451 

  1. Setiap Pelaku Usaha, yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap Perizinan Berusaha subsektor obat dan makanan, dikenai sanksi administratif berupa:

    1. peringatan;

    2. penghentian sementara kegiatan usaha melalui pembekuan Perizinan Berusaha;

    3. pengenaan denda administratif;

    4. pengenaan daya paksa polisional; dan/atau

    5. pencabutan Perizinan Berusaha.

  2. Pengenaan daya paksa polisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas:

    1. penarikan dari peredaran;

    2. ganti rugi;

    3. pemusnahan;

    4. penutupan atau pemblokiran sistem elektronik dan/atau media internet lain yang dipergunakan untuk kegiatan perdagangan obat dan makanan secara daring; dan/atau

    5. Penutupan akses permohonan Perizinan Berusaha.

  3. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara kumulatif atau bertahap berdasarkan tingkat Risiko pelanggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  4. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, kepala Lembaga OSS, gubernur, dan bupati/wali kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 452

Cukup jelas.

Pasal 453

Cukup jelas.

Pasal 454

Cukup jelas.

Pasal 455

Cukup jelas.

Pasal 456

Cukup jelas.

Pasal 457

Cukup jelas.

Pasal 458

Cukup jelas.

Pasal 459 

  1. Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 458 huruf a, diberikan kepada penyelenggara ibadah haji khusus yang melakukan tindakan sebagai berikut:

    1. tidak memfasilitasi pengurusan dokumen perjalanan ibadah haji khusus;

    2. tidak memberikan bimbingan dan pembinaan ibadah haji khusus;

    3. tidak memberikan pelayanan kesehatan, transportasi, akomodasi, konsumsi, dan pelindungan sesuai perjanjian tertulis;

    4. tidak memberangkatkan penanggung jawab penyelenggara ibadah haji khusus, petugas kesehatan, dan pembimbing ibadah haji khusus sesuai dengan ketentuan pelayanan haji khusus;

    5. tidak memfasilitasi pemindahan calon jemaah haji khusus kepada penyelenggara ibadah haji khusus lain atas permohonan jemaah;

    6. tidak melaporkan jumlah jemaah haji khusus yang akan dibadalhajikan sebelum pelaksanaan wukuf kepada petugas penyelenggara ibadah haji Arab Saudi;

    7. tidak melaporkan keberangkatan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah;

    8. tidak melakukan pembaharuan perubahan pemegang saham, komisaris, direksi, alamat perubahan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK), dan pembukaan kantor cabang pada Sistem OSS; dan/atau

    9. tidak melaporkan pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji khusus kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.

  2. Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 458 huruf b, diberikan kepada penyelenggara ibadah haji khusus yang melakukan tindakan sebagai berikut:

    1. melakukan pelanggaran kedua kali atas sanksi teguran tertulis;

    2. gagal memberangkatkan jemaah haji khusus;

    3. tidak menyediakan layanan akomodasi, transportasi, dan konsumsi kepada jemaah haji khusus; dan/ atau

    4. gagal memulangkan jemaah haji khusus.

  3. Sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 458 huruf c diberikan kepada penyelenggara ibadah haji khusus yang melakukan tindakan sebagai berikut:

    1. gagal memberangkatkan jemaah haji khusus melewati batas waktu 1 (satu) kali 24 (dua puluh empat) jam;

    2. tidak menyediakan layanan akomodasi, transportasi, dan konsumsi kepada jemaah haji khusus melewati batas waktu 1 (satu) kali 24 (dua puluh empat) jam; dan/atau

    3. gagal memulangkan jemaah haji khusus melewati batas waktu 1 (satu) kali 24 (dua puluh empat) jam.

  4. Sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 458 huruf d diberikan kepada penyelenggara ibadah haji khusus yang melakukan tindakan sebagai berikut:

    1. gagal memberangkatkan jemaah haji khusus;

    2. tidak menyediakan layanan akomodasi, transportasi, dan konsumsi kepada jemaah haji khusus; dan/atau

    3. gagal memulangkan jemaah haji khusus.

  5. Sanksi administratif berupa pembekuan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 458 huruf e diberikan kepada penyelenggara ibadah haji khusus yang melakukan tindakan sebagai berikut:

    1. melakukan pengulangan ketiga kali atas sanksi teguran tertulis;

    2. melakukan pengulangan kedua kali atas sanksi denda administratif;

    3. tidak memberangkatkan, melayani, dan memulangkan jemaah haji khusus sesuai dengan perjanjian;

    4. gagal memberangkatkan jemaah haji khusus melewati batas waktu 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam;

    5. tidak mampu menyediakan akomodasi, transportasi, dan konsumsi kepada jemaah haji khusus melewati batas waktu 1 (satu) kali 24 (dua puluh empat) jam;

    6. gagal memulangkan jemaah haji khusus melewati batas waktu 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam; dan/ atau

    7. gagal memberangkatkan dan memulangkan jemaah haji visa mujamalah.

  6. Sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 458 huruf f diberikan kepada penyelenggara ibadah haji khusus yang melakukan tindakan sebagai berikut:

    1. melakukan pengulangan keempat kali atas sanksi teguran tertulis;

    2. melakukan pengulangan ketiga kali atas sanksi denda administratif;

    3. melakukan pengulangan kedua kali atas sanksi pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau

    4. jika penyelenggara ibadah haji khusus melakukan pengulangan pelanggaran gagal memberangkatkan, menelantarkan, dan gagal memulangkan jemaah haji khusus.

Pasal 460 

  1. Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 458 huruf a diberikan kepada penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang melakukan tindakan sebagai berikut:

    1. tidak menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang pembimbing ibadah setiap 45 (empat puluh lima) orang jemaah umrah;

    2. tidak memberikan pelayanan dokumen perjalanan, akomodasi, konsumsi, dan transportasi kepada jemaah sesuai dengan perjanjian tertulis yang disepakati antara penyelenggara perjalanan ibadah umrah dan jemaah umrah;

    3. tidak menyampaikan rencana perjalanan umrah kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama secara tertulis sebelum keberangkatan;

    4. tidak melapor kepada perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat datang di Arab Saudi dan pada saat akan kembali ke Indonesia;

    5. tidak membuat laporan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama paling lambat 10 (sepuluh) Hari setelah tiba kembali di tanah air;

    6. tidak mengikuti standar pelayanan minimal dan harga referensi;

    7. tidak mengikuti prinsip syariat;

    8. tidak melaporkan pembukaan rekening penampungan bagi dana jemaah untuk kegiatan umrah;

    9. tidak melaporkan jemaah umrah yang telah menyetorkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Umrah (BPIU) ke rekening penampungan BPIU pada Bank Penerima Setoran (BPS);

    10. tidak melaporkan jemaah umrah yang telah didaftarkan asuransi;

    11. tidak melaporkan paket di bawah harga referensi; dan/ atau

    12. tidak melakukan pembaharuan perubahan pemegang saham, komisaris, direksi, alamat perubahan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU), dan pembukaan kantor cabang pada Sistem 0 SS .

  2. Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 458 huruf b diberikan kepada penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang melakukan tindakan sebagai berikut:

    1. melakukan pengulangan pelanggaran kedua kali atas sanksi teguran tertulis;

    2. tidak memiliki perjanjian kerjasama dengan fasilitas pelayanan kesehatan di Arab Saudi;

    3. tidak memberangkatkan jemaah umrah yang terdaftar pada tahun hijriah berjalan;

    4. meminjamkan legalitas Perizinan Berusaha kepada biro perjalanan yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagai penyelenggara perjalanan ibadah umrah;

    5. gagal memberangkatkan jemaah umrah;

    6. tidak menyediakan layanan akomodasi, transportasi, dan konsumsi kepada jemaah umrah; dan/atau

    7. gagal memulangkan jemaah umrah.

  3. Sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 458 huruf c diberikan kepada penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang melakukan tindakan sebagai berikut:

    1. gagal memberangkatkan jemaah umrah melewati batas waktu 1 (satu) kali 24 (dua puluh empat) jam;

    2. tidak menyediakan layanan akomodasi, transportasi, dan konsumsi kepada jemaah umrah melewati batas waktu 1 (satu) kali 24 (dua puluh empat) jam; dan/atau

    3. gagal memulangkan jemaah umrah melewati batas waktu 1 (satu) kali 24 (dua puluh empat) jam.

  4. Sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 458 huruf d diberikan kepada penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang melakukan tindakan sebagai berikut:

    1. gagal memberangkatkan jemaah umrah;

    2. tidak menyediakan layanan akomodasi, transportasi, dan konsumsi kepada jemaah umrah; dan/atau

    3. gagal memulangkan jemaah umrah.

  5. Sanksi administratif berupa pembekuan Perizinan Berusaha sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 458 huruf e diberikan kepada penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang melakukan tindakan sebagai berikut:

    1. melakukan pengulangan pelanggaran ketiga kali atas sanksi teguran tertulis;

    2. melakukan pengulangan pelanggaran kedua kali atas sanksi denda administratif;

    3. tidak memberangkatkan dan memulangkan jemaah umrah sesuai dengan masa berlaku visa umrah di Arab Saudi;

    4. tidak membuka rekening penampungan yang digunakan untuk menampung dana jemaah umrah untuk kegiatan umrah;

    5. gagal memberangkatkan dan memulangkan jemaah sesuai perjanjian tertulis;

    6. gagal memberangkatkan jemaah melewati batas waktu 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam;

    7. jika penyelenggara perjalanan ibadah umrah tidak mampu menyediakan akomodasi, transportasi, dan konsumsi kepada jemaah umrah melewati batas waktu 1 (satu) kali 24 (dua puluh empat) jam; dan/ atau

    8. jika penyelenggara perjalanan ibadah umrah gagal memulangkan jemaah umrah melewati batas waktu 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam.

  6. Sanksi administratif pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 458 huruf f diberikan kepada penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang melakukan tindakan sebagai berikut:

    1. melakukan pengulangan pelanggaran keempat kali atas sanksi teguran tertulis;

    2. melakukan pengulangan pelanggaran ketiga kali atas sanksi denda administratif;

    3. melakukan pengulangan pelanggaran kedua kali atas sanksi pembekuan Perizinan Berusaha; dan/ atau

    4. melakukan pengulangan pelanggaran gagal memberangkatkan, menelantarkan, dan gagal memulangkan jemaah umrah.

Pasal 461

Cukup jelas.

Pasal 462 

  1. Dalam hal ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran atas pemenuhan persyaratan dan/atau kewajiban oleh Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan pos, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika mengenakan sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. pengenaan denda administratif;

    3. penghentian sementara kegiatan usaha;

    4. daya paksa polisional; dan/atau

    5. pencabutan Perizinan Berusaha.

  2. Dalam hal berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran atas pemenuhan persyaratan dan/atau kewajiban oleh Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha agen kurir, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika mengenakan sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. penghentian sementara kegiatan usaha; dan/atau

    3. pencabutan Perizinan Berusaha.

Pasal 463 

  1. Dalam hal ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran atas pemenuhan persyaratan dan/atau kewajiban oleh Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan jaringan telekomunikasi atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika mengenakan sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. pengenaan denda administratif:

    3. penghentian sementara kegiatan usaha;

    4. pemutusan akses;

    5. daya paksa polisional;

    6. pencabutan layanan; dan/atau

    7. pencabutan Perizinan Berusaha.

  2. Dalam hal ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran atas pemenuhan persyaratan dan/atau kewajiban oleh Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan badan hukum, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika mengenakan sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. penghentian sementara kegiatan usaha; dan/atau

    3. pencabutan Perizinan Berusaha.

  3. Pencabutan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f merupakan pencabutan jenis penyelenggaraan tertentu yang tercantum dalam Perizinan Berusaha pada kegiatan usaha penyelenggaraan jaringan telekomunikasi atau kegiatan usaha penyelenggaraan jasa telekomunikasi sesuai dengan jenis penyelenggaraan yang dilanggarnya dan tidak berakibat pada pencabutan jenis penyelenggaraan yang lain.

Pasal 464 

Dalam hal ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran atas pemenuhan persyaratan dan/atau kewajiban oleh Pelaku Usaha yang memperoleh penetapan penomoran telekomunikasi, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika mengenakan sanksi administratif yang berupa:

  1. teguran tertulis;

  2. pemutusan akses; dan/atau

  3. pencabutan penetapan penomoran.

Pasal 465 

  1. Dalam hal ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran atas pemenuhan persyaratan dan/atau kewajiban oleh lembaga penyiaran atau penyelenggara multipleksing penyiaran, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dapat mengenakan sanksi administratif yang berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. pengenaan denda administratif;

    3. penghentian sementara kegiatan usaha;

    4. daya paksa polisional; dan/atau

    5. pencabutan Perizinan Berusaha.

  2. Dalam hal ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran oleh lembaga penyiaran atas pemenuhan persyaratan dan/atau kewajiban yang terkait dengan pelanggaran isi siaran, Komisi Penyiaran Indonesia mengenakan sanksi administratif yang berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. pengenaan denda administratif;

    3. penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu;

    4. pembatasan durasi dan waktu siaran; dan/atau

    5. pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu.

  3. Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran atas persyaratan dan/atau kewajiban yang terkait dengan pelanggaran isi siaran dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika berdasarkan rekomendasi Komisi Penyiaran Indonesia setelah adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.

  4. Pengenaan sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan setelah pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan/atau huruf e tidak dipatuhi oleh Pelaku Usaha.

Pasal 466 

Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 462 ayat (1), Pasal 462 ayat (2), Pasal 463 ayat (1), Pasal 463 ayat (2), Pasal 464, Pasal 465 ayat (1), dan Pasal 465 ayat (2) dilakukan secara langsung atau secara bertahap.

Pasal 467

Cukup jelas.

Pasal 468

Cukup jelas.

Pasal 469

Cukup jelas.

Pasal 470

Cukup jelas.

Pasal 471

Cukup jelas.

Pasal 472 

Pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 462 ayat (1) huruf e, Pasal 462 ayat (2) huruf c, Pasal 463 ayat (1) huruf g, Pasal 463 ayat (2) huruf c, Pasal 464 huruf c, dan Pasal 465 ayat (1) huruf e dikenakan sebagai tahap paling akhir dalam tahapan pengenaan sanksi administratif.

Pasal 473 

  1. Direksi, pengurus, perorangan dan/ atau badan hukum Pelaku Usaha dapat ditetapkan dalam daftar hitam dalam hal Pelaku Usaha dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha dan/atau pencabutan layanan.

  2. Pihak yang ditetapkan dalam daftar hitam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilarang terlibat dalam kegiatan usaha dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha yang bersangkutan.

  3. Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikeluarkan dari daftar hitam setelah:

    1. 2 (dua) tahun sejak tanggal ditetapkan dalam daftar hitam; dan/atau

    2. kewajiban yang menjadi piutang negara dipenuhi.

Pasal 474

Cukup jelas.

Pasal 475 

  1. Pemegang hak labuh satelit yang dengan sengaja menyampaikan data yang tidak benar dan/atau dokumen yang tidak valid dalam pemenuhan persyaratan dan/atau kewajiban hak labuh satelit dikenai sanksi administratif berupa pencabutan hak labuh satelit yang diikuti dengan pencabutan izin stasiun radio.

  2. Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang hak labuh satelit yang menyampaikan data yang tidak benar dan/atau dokumen yang tidak valid dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 476

Cukup jelas.

Pasal 477 

  1. Pelaku Usaha yang menggunakan spektrum frekuensi radio tanpa Perizinan Berusaha dan/atau persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika, dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. denda administratif; dan

    3. pengenaan daya paksa polisional.

  2. Sanksi administratif pengenaan daya paksa polisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari:

    1. penghentian operasional pemancaran spektrum frekuensi radio; dan/atau

    2. penyitaan alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang digunakan untuk pemancaran frekuensi radio.

  3. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai secara kumulatif dan bersamaan.

  4. Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelanggaran penggunaan spektrum frekuensi radio tanpa Perizinan Berusaha dan/atau persetujuan dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 478 

  1. Pemegang izin pita frekuensi radio yang menggunakan alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang belum bersertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. penghentian penggunaan alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang belum mempunyai sertifikat; dan

    3. denda administratif.

  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai secara kumulatif dan bersamaan.

  3. Sanksi penghentian penggunaan alat dan/atau perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dicabut jika alat dan/atau perangkat telekomunikasi telah mempunyai sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi.

Pasal 479 

  1. Pemegang izin pita frekuensi radio yang tidak memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan dalam dokumen seleksi dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. denda administratif; dan/atau

    3. diumumkan melalui media cetak dan/atau media elektronik.

  2. Kewajiban yang dipersyaratkan dalam dokumen seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk kewajiban pembayaran biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio.

  3. Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) Hari.

  4. Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemegang izin pita frekuensi radio belum memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan dalam dokumen seleksi, dikenai sanksi denda administratif.

  5. Dalam hal setelah 30 (tiga puluh) hari kalender, pemegang izin pita frekuensi radio yang dikenai sanksi denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan dalam dokumen seleksi dan/atau belum memenuhi kewajiban pembayaran denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa diumumkan melalui:

    1. media cetak; dan/atau

    2. media elektronik.

Pasal 480 

  1. Pemegang izin pita frekuensi radio yang tidak menyampaikan laporan penggunaan pita frekuensi radio secara berkala dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. penghentian layanan perizinan penggunaan spektrum frekuensi radio; dan/atau

    3. diumumkan melalui media cetak dan/atau media elektronik.

  2. Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) Hari.

  3. Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang izin pita frekuensi radio belum menyampaikan laporan penggunaan pita frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa:

    1. penghentian layanan perizinan penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; dan

    2. diumumkan melalui media cetak dan/atau media elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c.

  4. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicabut dalam hal pemegang izin pita frekuensi radio telah menyampaikan laporan penggunaan pita frekuensi radio.

Pasal 481 

  1. Pemegang izin pita frekuensi radio yang tidak melunasi biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio untuk izin pita frekuensi radio sampai dengan tanggal jatuh tempo dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. denda administratif keterlambatan pembayaran penerimaan negara bukan pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    3. penghentian layanan perizinan penggunaan spektrum frekuensi radio;

    4. penghentian sementara operasional penggunaan pita frekuensi radio; dan/atau

    5. pencabutan izin pita frekuensi radio.

  2. Sanksi administratif berupa teguran tertulis dan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dikenai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Sanksi administratif berupa penghentian layanan perizinan penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dikenai bersamaan dengan teguran tertulis pertama.

  4. Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran tertulis kedua, pemegang izin pita frekuensi radio belum melunasi biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio untuk izin pita frekuensi radio dan/atau denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional penggunaan pita frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang pengenaannya bersamaan dengan teguran tertulis ketiga.

  5. Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran tertulis ketiga, pemegang izin pita frekuensi radio belum melunasi biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio untuk izin pita frekuensi radio dan/atau denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin pita frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e.

Pasal 482 

  1. Pemegang izin pita frekuensi radio yang menggunakan pita frekuensi radio tidak sesuai dengan peruntukannya dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. denda administratif; dan

    3. penghentian sementara operasional stasiun radio yang tidak sesuai dengan peruntukan.

  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai secara kumulatif dan bersamaan.

  3. Sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dicabut jika pemegang izin pita frekuensi radio telah menyesuaikan penggunaan pita frekuensi radio sesuai dengan peruntukannya.

Pasal 483 

  1. Pemegang izin pita frekuensi radio yang menimbulkan gangguan yang merugikan (harmful interference) dalam penggunaan pita frekuensi radio dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis; dan

    2. penghentian sementara operasional stasiun radio yang menimbulkan gangguan yang merugikan (harmful interference).

  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai secara kumulatif dan bersamaan.

  3. Sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dicabut jika pemegang izin pita frekuensi radio dalam penggunaan pita frekuensi radionya tidak lagi menimbulkan gangguan yang merugikan.

  4. Dalam hal penggunaan pita frekuensi radio yang menimbulkan gangguan yang merugikan (harmful interference), berpotensi menimbulkan bahaya bagi keamanan negara dan/ atau keselamatan jiwa manusia, selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 484 

  1. Pemegang izin pita frekuensi radio yang melakukan kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio tanpa persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. denda administratif;

    3. penghentian kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio; dan/atau

    4. pencabutan izin pita frekuensi radio.

  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c dikenai secara kumulatif dan bersamaan.

  3. Dalam hal setelah 30 (tiga puluh) hari kalender pemegang izin pita frekuensi radio yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, belum mengajukan permohonan persetujuan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika, melunasi denda administratif, dan/atau menghentikan kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin pita frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.

Pasal 485 

  1. Pemegang izin pita frekuensi radio yang melakukan pengalihan penggunaan frekuensi radio tanpa persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. denda administratif;

    3. penghentian layanan perizinan penggunaan spektrum frekuensi radio;

    4. penghentian sementara operasional penggunaan pita frekuensi radio; dan/atau

    5. pencabutan izin pita frekuensi radio.

  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d dikenai secara kumulatif dan bersamaan.

  3. Dalam hal setelah 30 (tiga puluh) hari kalender pemegang izin pita frekuensi radio yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d, belum mengajukan permohonan persetujuan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika, melunasi denda administratif, dan/atau menghentikan sementara operasional penggunaan pita frekuensi radio, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin pita frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e.

Pasal 486 

  1. Pemegang izin stasiun radio yang dengan sengaja menyampaikan data yang tidak benar dan/atau dokumen yang tidak valid dalam pemenuhan persyaratan izin stasiun radio dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. penghentian layanan perizinan penggunaan spektrum frekuensi radio;

    3. penghentian sementara operasional pemancaran spektrum frekuensi radio; dan/atau

    4. pencabutan izin stasiun radio.

  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dikenai secara kumulatif dan bersamaan.

  3. Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, pemegang izin stasiun radio tidak memberikan bukti mengenai kebenaran data dan/atau validitas dokumen, diberikan sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional pemancaran spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c selama 1 (satu) bulan.

  4. Dalam hal sampai dengan batas waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemegang izin stasiun radio tidak memberikan bukti mengenai kebenaran data/atau validitas dokumen, diberikan sanksi administratif berupa pencabutan izin stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.

  5. Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang izin stasiun radio yang menyampaikan data yang tidak benar dan/atau dokumen yang tidak valid dapat dikenai sanksi pidana se suai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 487 

  1. Pemegang izin stasiun radio yang tidak melunasi biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio untuk izin stasiun radio sampai dengan tanggal jatuh tempo dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. denda administratif keterlambatan pembayaran penerimaan negara bukan pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    3. penghentian layanan perizinan penggunaan spektrum frekuensi radio;

    4. penghentian sementara operasional stasiun radio; dan/ atau

    5. pencabutan izin stasiun radio.

  2. Sanksi administratif berupa teguran tertulis dan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dikenai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  3. Sanksi administratif berupa penghentian layanan perizinan penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dikenai bersamaan dengan teguran tertulis kesatu.

  4. Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran tertulis kedua pemegang izin stasiun radio belum melunasi biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio untuk izin stasiun radio dan/atau denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang pengenaannya bersamaan dengan teguran tertulis ketiga.

  5. Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran tertulis ketiga pemegang izin stasiun radio belum melunasi biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio untuk izin stasiun radio dan/atau denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e.

Pasal 488 

  1. Pemegang izin stasiun radio untuk dinas radio komunikasi tertentu yang tidak menggunakan sinyal identifikasi atau identitas stasiun radio pada setiap pemancaran spektrum frekuensi radio dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. penghentian sementara operasional stasiun radio; dan/atau

    3. pencabutan izin stasiun radio.

  2. Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) hari kalender.

  3. Jika dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender setelah teguran tertulis diberikan pemegang izin stasiun radio tetap tidak menggunakan sinyal identifikasi atau identitas stasiun radio pada setiap pemancaran spektrum frekuensi radio, diberikan sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b selama 30 (tiga puluh) hari kalender.

  4. Jika dalam waktu setelah penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir, pemegang izin stasiun radio tetap tidak menggunakan sinyal identifikasi atau identitas stasiun radio pada setiap pemancaran spektrum frekuensi radio, diberikan sanksi administratif berupa pencabutan izin stasiun radio.

Pasal 489 

  1. Pemegang izin stasiun radio yang menggunakan frekuensi radio tidak sesuai dengan peruntukannya dan/atau mengoperasikan stasiun radio tidak sesuai dengan parameter teknis yang ditetapkan dalam izin stasiun radio dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. denda administratif; dan

    3. penghentian sementara operasional stasiun radio yang tidak sesuai dengan peruntukan dan/atau tidak sesuai dengan parameter teknis.

  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai secara kumulatif dan bersamaan.

  3. Sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dicabut jika pemegang izin stasiun radio telah menyesuaikan penggunaan frekuensi radio sesuai dengan peruntukannya dan/atau sesuai parameter teknisnya.

Pasal 490 

  1. Pemegang izin stasiun radio yang menimbulkan gangguan yang merugikan (harmful interference) dalam penggunaan frekuensi radio dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis; dan

    2. penghentian sementara operasional stasiun radio yang menimbulkan gangguan yang merugikan (harmful interference).

  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai secara kumulatif dan bersamaan.

  3. Sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dicabut jika pemegang izin stasiun radio dalam penggunaan frekuensi radionya tidak lagi menimbulkan gangguan yang merugikan.

  4. Dalam hal penggunaan pita frekuensi radio yang menimbulkan gangguan yang merugikan (harmful interference), berpotensi menimbulkan bahaya bagi keamanan negara dan/ atau keselamatan jiwa manusia, selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 491 

  1. Pemegang izin stasiun radio angkasa yang tidak mendaftarkan stasiun bumi secara berkala setiap tahun dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. denda administratif;

    3. penghentian sementara operasional stasiun bumi yang tidak terdaftar; dan/ atau

    4. pencabutan izin stasiun radio.

  2. Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) hari kalender.

  3. Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran kesatu, pemegang izin stasiun radio belum mendaftarkan stasiun bumi, diberikan sanksi administratif berupa:

    1. denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; dan

    2. penghentian sementara operasional stasiun bumi yang tidak terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c selama 30 (tiga puluh) hari kalender.

  4. Dalam hal sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, pemegang izin stasiun radio belum mendaftarkan stasiun bumi, diberikan sanksi administratif berupa pencabutan izin stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.

Pasal 492 

  1. Pelaku Usaha yang membuat, merakit, memasukkan alat dan/atau perangkat telekomunikasi untuk diperdagangkan dan/atau digunakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak memenuhi standar teknis, dikenai sanksi administratif berupa:

    1. denda administratif;

    2. pengenaan daya paksa polisional berupa penyitaan alat dan/atau perangkat telekomunikasi;

    3. pencabutan sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi;

    4. menarik kembali seluruh alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang telah diperdagangkan dan/atau digunakan oleh masyarakat; dan/atau

    5. penghentian layanan sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi selama 1 (satu) tahun.

  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, dikenakan kepada Pelaku Usaha yang tidak memiliki sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi.

  3. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai kepada Pelaku Usaha secara kumulatif dan bersamaan.

  4. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf e dikenakan kepada Pelaku Usaha yang membuat, merakit, dan/atau memasukkan alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang tidak sesuai dengan sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang dimiliki.

  5. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan kepada Pelaku Usaha secara alternatif dan/atau kumulatif, dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. sanksi administratif berupa denda administratif, pencabutan sertifikat alat dan/ atau perangkat telekomunikasi, dan menarik kembali seluruh alat dan/ atau perangkat telekomunikasi yang telah diperdagangkan dan/atau digunakan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf d dikenai kepada Pelaku Usaha secara kumulatif dan berbarengan.

    2. pemegang sertifikat alat dan/ atau perangkat telekomunikasi tidak menarik kembali seluruh alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang telah diperdagangkan dan/atau digunakan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dalam jangka waktu yang ditentukan, dikenai sanksi administratif berupa penghentian layanan sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi selama 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e.

  6. Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha yang tidak memiliki sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 493 

  1. Setiap orang yang memperdagangkan dan/atau menggunakan alat dan / atau perangkat telekomunikasi yang tidak memiliki sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi dan/atau tidak memenuhi standar teknis, dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. denda administratif;

    3. pengenaan daya paksa polisional berupa penyitaan alat dan/ atau perangkat telekomunikasi; dan/ atau

    4. menarik kembali seluruh alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang telah diperdagangkan dan/atau digunakan oleh masyarakat.

  2. Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan 1 (satu) kali.

  3. Jika dalam waktu 7 (tujuh) hari kalender setelah teguran tertulis, masih memperdagangkan dan / atau menggunakan alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang tidak memiliki sertifikat dan/atau tidak memenuhi standar teknis, dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf d secara kumulatif dan bersamaan.

  4. Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap orang yang memperdagangkan dan/atau menggunakan alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang tidak memenuhi standar teknis dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 494 

  1. Pemegang sertifikat alat dan/ atau perangkat telekomunikasi yang dengan sengaja menyampaikan data yang tidak benar dan/atau dokumen yang tidak valid dalam pemenuhan persyaratan sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi dikenai sanksi administratif berupa:

    1. pencabutan sertifikat alat dan / atau perangkat telekomunikasi;

    2. penghentian layanan sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi selama 2 (dua) tahun; dan

    3. menarik kembali seluruh alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang telah diperdagangkan dan/atau digunakan oleh masyarakat.

  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara kumulatif dan bersamaan.

  3. Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha yang menyampaikan data tidak benar dan/atau dokumen yang tidak valid dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 495

Cukup jelas.

Pasal 496 

  1. Pemegang sertifikat alat dan / atau perangkat telekomunikasi yang dengan sengaja tidak memasang label pada alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan dan/atau dipergunakan dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis; dan/atau

    2. penghentian layanan sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi selama 6 (enam) bulan.

  2. Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) hari kalender.

  3. Jika dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender setelah teguran tertulis ketiga diberikan, pemegang sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi tetap tidak memasang label pada alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan dan/ atau dipergunakan, dikenai sanksi administratif berupa penghentian layanan sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi selama 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.

  4. Pemegang sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang tidak melaporkan bukti pembuatan label alat dan/atau perangkat telekomunikasi sampai dengan batas waktu yang ditetapkan, dikenai sanksi administratif peringatan tertulis.

Pasal 497 

  1. Pemegang sertifikat alat dan / atau perangkat telekomunikasi yang tidak mengajukan perubahan data administrasi sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi sampai dengan batas waktu yang ditetapkan, dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis; dan/atau

    2. penghentian layanan sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi selama 1 (satu) tahun.

  2. Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) hari kalender.

  3. Jika dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender, setelah teguran tertulis ketiga diberikan, pemegang sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi tetap tidak mengajukan perubahan data administrasi sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi sampai dengan batas waktu yang ditetapkan, dikenai sanksi administratif berupa penghentian layanan sertifikat alat dan/atau perangkat telekomunikasi selama 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.

Pasal 498

Cukup jelas.

Pasal 499 

  1. Penyelenggara sertifikasi elektronik dapat dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. penghentian sementara pendaftaran pemilik sertifikat elektronik; dan/atau

    3. dikeluarkan dari daftar penyelenggara sertifikasi elektronik yang mendapat pengakuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.

  2. Penyelenggara sertifikasi elektronik dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a apabila penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia yang telah mendapat pengakuan tidak melakukan kewajiban:

    1. memeriksa kebenaran identitas calon pemilik dan/atau pemilik sertifikat elektronik;

    2. melakukan validasi sertifikat elektronik;

    3. membuat daftar sertifikat elektronik yang aktif dan yang dicabut dengan mengelola sistem verifikasi sertifikat elektronik pemilik sertifikat elektronik (validation authority);

    4. memperbarui tanda lulus penyelenggara sertifikasi elektronik yang akan habis masa berlakunya;

    5. mengelola dan mengamankan sistem yang menyimpan identitas pemilik sertifikat elektronik;

    6. memberitahukan pernyataan penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification practice statement) penyelenggaraan sertifikasi elektroniknya kepada pihak lain yang menggunakan jasa penyelenggara sertifikasi elektronik;

    7. memublikasikan pernyataan penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification practice statement) penyelenggaraan sertifikasi elektroniknya di situs resmi layanannya;

    8. memberitahukan kontrak berlangganan (subscriber agreement) dan kebijakan privasi penyelenggaraan sertifikasi elektroniknya kepada calon pemilik dan/atau pemilik sertifikat elektronik;

    9. memberikan edukasi kepada calon pemilik dan/atau pemilik sertifikat elektronik mengenai penggunaan dan pengamanan sertifikat elektronik;

    10. menjamin kerugian akibat kegagalan layanan penyelenggaraan sertifikasi elektronik, kesengajaan, dan/atau kelalaian kepada orang, badan usaha, atau instansi karena kegagalannya dalam mematuhi kewajiban sebagai penyelenggara sertifikasi elektronik se suai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    11. meminta persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dalam hal terjadi perubahan layanan penyelenggara sertifikasi elektronik yang berbeda dengan ketentuan dalam kebijakan sertifikat elektronik (certificate policy) penyelenggara sertifikasi elektronik induk;

    12. melaksanakan audit terhadap otoritas pendaftarannya (registration authority);

    13. memelihara dokumen arsip secara sistematik dan dapat dipertanggungjawabkan baik dalam bentuk tertulis (paper based) dan/atau elektronik (electronic based);

    14. menyampaikan laporan kegiatan penyelenggara sertifikasi elektronik kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun berjalan atau apabila diminta; dan

    15. menyetorkan setiap pendapatan dari biaya layanan penggunaan sertifikat elektronik yang dihitung dari persentase pendapatan kepada negara.

  3. Penyelenggara sertifikasi elektronik dapat dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara pendaftaran pemilik sertifikat elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b apabila penyelenggara sertifikasi elektronik yang telah mendapat pengakuan tidak melakukan kewajiban:

    1. melakukan pemeriksaan terhadap permohonan penerbitan sertifikat elektronik; dan

    2. melakukan pemeriksaan permohonan perpanjangan masa berlaku, pemblokiran, dan/atau pencabutan sertifikat elektronik.

  4. Dalam hal penyelenggara sertifikasi elektronik tidak mengindahkan surat teguran yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang sudah disampaikan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut, penyelenggara sertifikasi elektronik dapat dikenai sanksi administratif berupa dikeluarkan dari daftar penyelenggara sertifikasi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c.

  5. Dalam hal penyelenggara sertifikasi elektronik tidak melakukan perbaikan setelah dikenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara pendaftaran pemilik sertifikat elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kalender, penyelenggara sertifikasi elektronik dapat dikenai sanksi administratif berupa dikeluarkan dari daftar penyelenggara sertifikasi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c.

  6. Penyelenggara sertifikasi elektronik dapat dikeluarkan dari daftar penyelenggara sertifikasi elektronik yang diakui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila:

    1. tidak dapat memperbaharui tanda lulus penilaian kelaikan sistem penyelenggara sertifikasi elektronik yang akan habis masa berlakunya;

    2. adanya putusan pengadilan terkait pelanggaran peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia; dan/ atau

    3. atas permintaan penyelenggara sertifikasi elektronik sendiri.

Pasal 500 

  1. Penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dapat dikenai sanksi administratif berupa:

    1. teguran tertulis;

    2. denda administratif;

    3. penghentian sementara;

    4. pemutusan akses; dan/atau

    5. dikeluarkan dari daftar.

  2. Penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis apabila:

    1. telah mempunyai tanda daftar tetapi tidak melaporkan perubahan terhadap informasi pendaftaran;

    2. tidak melakukan penghapusan terhadap konten yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau

    3. tidak memberikan akses terhadap data elektronik dan sistem elektronik dalam rangka Pengawasan dan penegakan hukum.

  3. Penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dapat dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara apabila:

    1. tidak mengindahkan surat teguran yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b yang sudah disampaikan selama 7 (tujuh) hari kalender; dan

    2. tidak memberikan akses terhadap data elektronik dan sistem elektronik dalam rangka Pengawasan dan penegakan hukum.

  4. Penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dapat dikenai sanksi administratif berupa pemutusan akses melalui pemblokiran akses (access blocking) apabila:

    1. tidak melakukan pendaftaran;

    2. tidak memberikan konfirmasi dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kalender setelah penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a; dan

    3. tidak melaksanakan pemutusan akses (takedown) terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang pada sistem elektroniknya berupa penutupan akun dan/atau penghapusan konten.

  5. Penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dapat dikenai sanksi administratif berupa denda apabila penyelenggara sistem elektronik lingkup privat user generated content tidak melaksanakan penutupan akun dan/atau penghapusan konten (takedown) terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang.

  6. Penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dapat dikeluarkan dari daftar penyelenggara sistem elektroniknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e apabila:

    1. tidak memberikan konfirmasi dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kalender setelah penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a; dan/ atau

    2. tidak memberikan akses terhadap data elektronik dan sistem elektronik dalam rangka pengawasan dan penegakan hukum.

Pasal 501

Cukup jelas.

Pasal 502

Cukup jelas.

Pasal 503 

  1. Pelaku Usaha pada subsektor industri pertahanan yang memperoleh:

    1. izin produksi alat peralatan pertahanan dan keamanan;

    2. izin ekspor alat peralatan pertahanan dan keamanan; dan

    3. izin impor alat peralatan pertahanan dan keamanan,yang tidak memenuhi kewajiban dikenakan sanksi administratif.

  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:

    1. peringatan tertulis pertama;

    2. peringatan tertulis kedua;

    3. pencabutan izin produksi alat peralatan pertahanan dan keamanan; dan/atau

    4. pencabutan penetapan sebagai industri pertahanan.

  3. Sanksi administratif berupa peringatan tertulis pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diberikan kepada Pelaku Usaha nonperseorangan sejak diketahuinya pelanggaran.

  4. Sanksi administratif berupa peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan kepada Pelaku Usaha nonperseorangan setelah tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak peringatan tertulis pertama tidak diindahkan.

  5. Sanksi administratif berupa pencabutan izin produksi alat peralatan pertahanan dan keamanan dan/atau pencabutan penetapan sebagai industri pertahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d diberikan kepada Pelaku Usaha nonperseorangan setelah tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak peringatan tertulis kedua tidak diindahkan.

  6. Sanksi pencabutan izin produksi alat peralatan pertahanan dan keamanan dan/atau pencabutan penetapan sebagai industri pertahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat ditindaklanjuti dengan proses hukum perdata dan/atau hukum pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 504

Cukup jelas.

Pasal 505

Cukup jelas.

Pasal 506 

  1. Badan usaha jasa pengamanan yang tidak melaksanakan persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha sektor keamanan dikenai sanksi administratif berupa:

    1. peringatan tertulis;

    2. pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau

    3. pencabutan Perizinan Berusaha.

  2. Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan apabila badan usaha jasa pengamanan tidak membuat laporan setiap semester selama 2 (dua) kali berturut-turut.

  3. Sanksi administratif berupa pembekuan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan apabila badan usaha jasa pengamanan tidak memperpanjang Perizinan Berusaha dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya masa berlaku Perizinan Berusaha.

  4. Sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah penetapan sanksi administratif berupa pembekuan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) badan usaha jasa pengamanan tidak mengajukan perpanjangan Perizinan Berusaha.

Pasal 507

Cukup jelas.

Pasal 508 

  1. Pelaku Usaha sektor ketenagakerjaan yang tidak melaksanakan kewajiban dan/atau persyaratan Perizinan Berusaha dan standar pelaksanaan kegiatan usaha dikenai sanksi administratif berupa:

    1. peringatan tertulis;

    2. penghentian sementara kegiatan;

    3. pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau

    4. denda administratif.

  2. Sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c dikenakan untuk kegiatan usaha:

    1. pelatihan kerja;

    2. penyeleksian dan penempatan tenaga kerja dalam negeri;

    3. penempatan pekerja rumah tangga;

    4. penempatan tenaga kerja daring (job portal);

    5. penyeleksian dan penempatan tenaga kerja luar negeri (penempatan pekerja migran Indonesia);

    6. jasa sertifikasi (lingkup kegiatan usaha lembaga audit SMK3);

    7. jasa pengujian laboratorium (lingkup kegiatan usaha pemeriksaan dan pengujian K3);

    8. jasa inspeksi periodik (lingkup kegiatan usaha pemeriksaan dan pengujian K3); dan

    9. pelatihan kerja kejuruan lainnya swasta (lingkup kegiatan usaha pembinaan dan konsultasi K3).

  3. Sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, pencabutan Perizinan Berusaha, dan/atau denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan untuk kegiatan usaha penempatan pekerja migran Indonesia.

  4. Sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dikenakan untuk kegiatan usaha alih daya.

  5. Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Pasal 509

Cukup jelas.

Pasal 510

Cukup jelas.

Pasal 511

Cukup jelas.

Pasal 512

Cukup jelas.

Pasal 513

Cukup jelas.

Pasal 514

Cukup jelas.

Pasal 515 

  1. Perusahaan yang melakukan kegiatan usaha alih daya yang melanggar kewajiban Perizinan Berusaha dikenakan sanksi administratif berupa:

    1. peringatan tertulis; dan/atau

    2. penghentian sementara kegiatan usaha.

  2. Dalam hal perusahaan alih daya dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemenuhan hak pekerja/buruh tetap menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya yang bersangkutan.

Pasal 516

Cukup jelas.

Pasal 517

Cukup jelas.

Pasal 518 

  1. Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha penyeleksian dan penempatan tenaga kerja dalam negeri yang tidak melaksanakan kewajiban Perizinan Berusaha dikenakan sanksi administratif berupa:

    1. peringatan tertulis;

    2. penghentian sementara kegiatan usaha; dan/ atau

    3. pencabutan Perizinan Berusaha.

  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.

  3. Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berdasarkan rekomendasi perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pengaduan masyarakat.

Pasal 519 

  1. Pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 518 ayat (1) huruf a diberikan dalam hal Pelaku Usaha:

    1. tidak melakukan penempatan tenaga kerja selama 1 (satu) tahun sejak Perizinan Berusaha diterbitkan;

    2. tidak melaksanakan orientasi pra pemberangkatan;

    3. tidak menyampaikan laporan penempatan tenaga kerja secara berkala setiap 3 (tiga) bulan;

    4. tidak mengajukan surat persetujuan penempatan dalam melakukan pengerahan tenaga kerja;

    5. tidak melaporkan penyelenggaraan pameran kesempatan kerja (job fair); dan/atau

    6. menempatkan tenaga kerja ke luar negeri.

  2. Sanksi administratif peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) bulan.

  3. Sanksi administratif peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Pelaku Usaha terhadap pelanggaran yang telah dilakukan.

  4. Sanksi administratif peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berlaku bagi Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran kesempatan kerja (job fair).

  5. Dalam hal Pelaku Usaha tidak melaksanakan kewajiban dalam jangka waktu yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan menjatuhkan sanksi penghentian sementara.

Pasal 520 

  1. Sanksi administratif penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 518 ayat (1) huruf b diberikan dalam hal Pelaku Usaha:

    1. tidak melaksanakan kewajiban dalam waktu yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 519 ayat (2); dan/atau

    2. menempatkan tenaga kerja selama dijatuhi sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 518 ayat (1) huruf a.

  2. Sanksi administratif penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) bulan.

  3. Sanksi administratif penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Pelaku Usaha terhadap pelanggaran yang telah dilakukan.

  4. Dalam hal Pelaku Usaha tidak melaksanakan kewajiban dalam jangka waktu yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan menjatuhkan sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha.

Pasal 521

Cukup jelas.

Pasal 522

Cukup jelas.

Pasal 523

Cukup jelas.

Pasal 524 

  1. Pengenaan sanksi administratif peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 523 ayat (1) huruf a diberikan dalam hal Pelaku Usaha:

    1. tidak melaksanakan penempatan pekerja rumah tangga paling lambat 1 (satu) tahun sejak Perizinan Berusaha diterbitkan;

    2. tidak mengajukan surat persetujuan penempatan dalam hal melakukan pengerahan tenaga kerja;

    3. tidak melaporkan data penempatan pekerja rumah tangga secara berkala setiap 3 (tiga) bulan;

    4. tidak memonitor pekerja rumah tangga yang telah disalurkan kepada pengguna;

    5. memungut imbalan jasa kepada pekerja rumah tangga;

    6. menyalurkan pekerja rumah tangga pada pengguna perusahaan atau badan usaha lainnya; dan/atau

    7. menempatkan pekerja rumah tangga ke luar negeri.

  2. Sanksi administratif peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) bulan.

  3. Sanksi administratif peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat kewajiban yang hams dilaksanakan oleh Pelaku Usaha terhadap pelanggaran yang telah dilakukan.

  4. Dalam hal Pelaku Usaha tidak melaksanakan kewajiban dalam jangka waktu yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan menjatuhkan sanksi administratif penghentian sementara.

Pasal 525 

  1. Pengenaan sanksi administratif penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 523 ayat (1) huruf b diberikan dalam hal Pelaku Usaha:

    1. tidak melaksanakan kewajiban dalam waktu yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 524 ayat (2); dan/ atau

    2. menempatkan pekerja rumah tangga selama dijatuhi sanksi peringatan tertulis.

  2. Sanksi administratif penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) bulan.

  3. Sanksi administratif penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Pelaku Usaha terhadap pelanggaran yang telah dilakukan.

  4. Dalam hal Pelaku Usaha tidak melaksanakan kewajiban dalam jangka waktu yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan menjatuhkan sanksi administratif pencabutan Perizinan Berusaha.

Pasal 526

Cukup jelas.

Pasal 527

Cukup jelas.

Pasal 528 

  1. Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha penempatan tenaga kerja daring yang tidak melaksanakan kewajiban dikenakan sanksi administratif berupa:

    1. peringatan tertulis;

    2. penghentian sementara; dan/atau

    3. pencabutan Perizinan Berusaha.

  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.

  3. Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berdasarkan rekomendasi perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan provinsi atau kabupaten/ kota dan/atau pengaduan masyarakat.

Pasal 529 

  1. Pengenaan sanksi administratif peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 528 ayat (1) huruf a diberikan dalam hal Pelaku Usaha:

    1. tidak melaksanakan penempatan tenaga kerja daring (job portal) paling lambat 1 (satu) tahun sejak Perizinan Berusaha diterbitkan;

    2. tidak menyampaikan laporan penempatan tenaga kerja secara berkala setiap 3 (tiga) bulan; dan/atau

    3. tidak melaporkan penyelenggaraan pameran kesempatan kerja (job fair).

  2. Sanksi administratif peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) bulan.

  3. Sanksi administratif peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Pelaku Usaha terhadap pelanggaran yang telah dilakukan.

  4. Sanksi administratif peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berlaku bagi Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran kesempatan kerja (job fair).

  5. Dalam hal Pelaku Usaha tidak melaksanakan kewajiban dalam jangka waktu yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan menjatuhkan sanksi administratif penghentian sementara.

Pasal 530 

  1. Sanksi administratif penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 528 ayat (1) huruf b diberikan dalam hal Pelaku Usaha:

    1. tidak melaksanakan kewajiban dalam waktu yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 529 ayat (3); dan/atau

    2. menempatkan tenaga kerja selama dijatuhi sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 528 ayat (1) huruf a.

  2. Sanksi administratif penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) bulan.

  3. Sanksi administratif penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Pelaku Usaha terhadap pelanggaran yang telah dilakukan.

  4. Dalam hal Pelaku Usaha tidak melaksanakan kewajiban dalam jangka waktu yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan menjatuhkan sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha.

Pasal 531

Cukup jelas.

Pasal 532

Cukup jelas.

Pasal 533

Cukup jelas.

Pasal 534

Cukup jelas.

Pasal 535

Cukup jelas.

Pasal 536

Cukup jelas.

Pasal 537

Cukup jelas.

Pasal 538

Cukup jelas.

Pasal 539 

  1. Pengenaan sanksi administratif pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 533 ayat (1) huruf c diberikan dalam hal Pelaku Usaha:

    1. tidak melaksanakan kegiatan penempatan pekerja migran Indonesia paling lama 1 (satu) tahun sejak Perizinan Berusaha diterbitkan;

    2. tidak melaksanakan kewajiban dalam waktu yang telah ditetapkan dalam sanksi administratif penghentian sementara;

    3. melakukan pelanggaran kembali selama menjalani masa sanksi administratif penghentian sementara;

    4. melakukan seleksi atau kegiatan penempatan selama sanksi administratif penghentian sementara; dan/ atau

    5. mendapatkan pengenaan sanksi sebanyak 2 (dua) kali selama periode 12 (dua belas) bulan.

  2. Dalam hal Perizinan Berusaha telah dicabut, Pelaku Usaha yang bersangkutan tetap berkewajiban untuk:

    1. memberangkatkan calon pekerja migran Indonesia yang telah menandatangani perjanjian penempatan; dan/ atau

    2. menyelesaikan permasalahan yang dialami pekerja migran Indonesia di negara tujuan penempatan sampai dengan berakhirnya perjanjian kerja pekerja migran Indonesia yang terakhir diberangkatkan.

Pasal 540

Cukup jelas.

Pasal 541

Cukup jelas.

Pasal 542 

  1. Penghitungan sanksi administratif denda keterlambatan diberikan sejak hari ke-31 (tiga puluh satu) dan dibatasi sampai dengan hari ke-90 (sembilan puluh) sejak akta pembaharuan data diterbitkan oleh instansi yang berwenang.

  2. Be saran sanksi administratif denda keterlambatan dikenakan setiap 1 (satu) Hari sebesar Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah).

Pasal 543

Cukup jelas.

Pasal 544

Cukup jelas.

Pasal 545 

  1. Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha jasa pengujian laboratorium (lingkup kegiatan usaha pemeriksaan dan pengujian K3), jasa inspeksi periodik (lingkup kegiatan usaha pemeriksaan dan pengujian K3), dan pelatihan kerja kejuruan lainnya swasta (lingkup kegiatan usaha pembinaan dan konsultasi K3) yang tidak melaksanakan kewajiban Perizinan Berusaha dikenakan sanksi administratif berupa:

    1. peringatan tertulis;

    2. penghentian sementara kegiatan; dan/atau

    3. pencabutan Perizinan Berusaha.

  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.

  3. Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berdasarkan rekomendasi dari perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pengawas ketenagakerjaan.

Pasal 546

Cukup jelas.

Pasal 547 

  1. Sanksi administratif penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 545 ayat (1) huruf b diberikan dalam hal Pelaku Usaha tidak melaporkan kegiatan usahanya kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.

  2. Sanksi administratif penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) bulan.

  3. Sanksi administratif penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Pelaku Usaha terhadap pelanggaran yang telah dilakukan.

  4. Dalam hal Pelaku Usaha tidak melaksanakan kewajiban dalam jangka waktu yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan menjatuhkan sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha.

Pasal 548

Cukup jelas.

Pasal 549

Cukup jelas.

Pasal 550

Cukup jelas.

Pasal 551 

  1. Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha lembaga audit SMK3 yang tidak melaksanakan kewajiban Perizinan Berusaha dikenai sanksi administratif berupa:

    1. peringatan tertulis;

    2. penghentian sementara kegiatan; dan/ atau

    3. pencabutan Perizinan Berusaha.

  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.

  3. Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berdasarkan rekomendasi dari perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pengawas ketenagakerjaan.

Pasal 552

Cukup jelas.

Pasal 553 

  1. Sanksi administratif penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 551 ayat (1) huruf b diberikan dalam hal Pelaku Usaha tidak melaporkan kegiatan usahanya kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.

  2. Sanksi administratif penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) bulan.

  3. Dalam sanksi administratif penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), memuat kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Pelaku Usaha terhadap pelanggaran yang telah dilakukan.

  4. Dalam hal Pelaku Usaha tidak melaksanakan kewajiban dalam jangka waktu yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan mengenakan sanksi administratif pencabutan Perizinan Berusaha.

Pasal 554

Cukup jelas.

Pasal 555 

Pengenaan sanksi administratif pencabutan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 551 ayat (1) huruf c diberikan dalam hal Pelaku Usaha:

  1. tidak melaksanakan kewajiban dalam waktu yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 553 ayat (2);

  2. tidak melaksanakan kegiatan audit SMK3 paling lama 1 (satu) tahun sejak Perizinan Berusaha diterbitkan;

  3. melakukan pelanggaran kembali selama menjalani masa sanksi administratif penghentian sementara;

  4. melakukan kegiatan audit SMK3 selama sanksi administratif penghentian sementara; dan/ atau

  5. mendapatkan pengenaan sanksi sebanyak 2 (dua) kali selama periode 12 (dua belas) bulan.

Pasal 556

Cukup jelas.

Pasal 557

Cukup jelas.

Pasal 558

Cukup jelas.

Pasal 559

Cukup jelas

Pasal 560

Cukup jelas.

Pasal 561

Cukup jelas.

Pasal 562

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Ketentuan ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 184 huruf c Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Pasal 563

Cukup jelas.

Pasal 564

Cukup jelas.

Pasal 565

Cukup jelas.

Pasal 566

Cukup jelas.

Pasal 567

Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas.

Pasal 317

Cukup jelas.

Pasal 324

Cukup jelas.

Pasal 327

Cukup jelas.

Pasal 330

Cukup jelas.

Pasal 332

Cukup jelas.

Pasal 335

Cukup jelas.

Pasal 336

Cukup jelas.

Pasal 339

Cukup jelas.

Pasal 343

Cukup jelas.

Pasal 346

Cukup jelas.

Pasal 358

Cukup jelas.

Pasal 360

Cukup jelas.

Pasal 363

Cukup jelas.

Pasal 366

Cukup jelas.

Pasal 368

Cukup jelas.

Pasal 374

Cukup jelas.

Pasal 376

Cukup jelas.

Pasal 377

Cukup jelas.

Pasal 380

Cukup jelas.

Pasal 384

Cukup jelas.

Pasal 386

Cukup jelas.

Pasal 388

Cukup jelas.

Pasal 398

Cukup jelas.

Pasal 405

Cukup jelas.

Pasal 406

Cukup jelas.

Pasal 407

Cukup jelas.

Pasal 408

Cukup jelas.

Pasal 409

Cukup jelas.

Pasal 413

Cukup jelas.

Pasal 415

Cukup jelas.

Pasal 431

Cukup jelas.

Pasal 433

Cukup jelas.

Pasal 434

Cukup jelas.

Pasal 439

Cukup jelas.

Pasal 444

Cukup jelas.

Pasal 451

Cukup jelas.

Pasal 459

Cukup jelas.

Pasal 460

Cukup jelas.

Pasal 462

Cukup jelas.

Pasal 463

Cukup jelas.

Pasal 464

Cukup jelas.

Pasal 465

Cukup jelas.

Pasal 466

Cukup jelas.

Pasal 472

Cukup jelas.

Pasal 473

Cukup jelas.

Pasal 475

Cukup jelas.

Pasal 477

Cukup jelas.

Pasal 478

Cukup jelas.

Pasal 479

Cukup jelas.

Pasal 480

Cukup jelas.

Pasal 481

Cukup jelas.

Pasal 482

Cukup jelas.

Pasal 483

Cukup jelas.

Pasal 484

Cukup jelas.

Pasal 485

Cukup jelas.

Pasal 486

Cukup jelas.

Pasal 487

Cukup jelas.

Pasal 488

Cukup jelas.

Pasal 489

Cukup jelas.

Pasal 490

Cukup jelas.

Pasal 491

Cukup jelas.

Pasal 492

Cukup jelas.

Pasal 493

Cukup jelas.

Pasal 494

Cukup jelas.

Pasal 496

Cukup jelas.

Pasal 497

Cukup jelas.

Pasal 499

Cukup jelas.

Pasal 500

Cukup jelas.

Pasal 503

Cukup jelas.

Pasal 506

Cukup jelas.

Pasal 508

Cukup jelas.

Pasal 515

Cukup jelas.

Pasal 518

Cukup jelas.

Pasal 519

Cukup jelas.

Pasal 520

Cukup jelas.

Pasal 524

Cukup jelas.

Pasal 525

Cukup jelas.

Pasal 528

Cukup jelas.

Pasal 529

Cukup jelas.

Pasal 530

Cukup jelas.

Pasal 539

Cukup jelas.

Pasal 542

Cukup jelas.

Pasal 545

Cukup jelas.

Pasal 547

Cukup jelas.

Pasal 551

Cukup jelas.

Pasal 553

Cukup jelas.

Pasal 555

Cukup jelas.


PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 5 TAHUN 2021
TENTANG
PENYELENGGARAAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

menimbang

bahwa untuk melaksanakan ketentuanPasal 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;

mengingat

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);



memperhatikan

memutuskan

menetapkan

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

  1. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.

  2. Risiko adalah potensi terjadinya cedera atau kerugian dari suatu bahaya atau kombinasi kemungkinan dan akibat bahaya.

  3. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko adalah Perizinan Berusaha berdasarkan tingkat Risiko kegiatan usaha.

  4. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk menunjang kegiatan usaha.

  5. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  6. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

  7. Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan ekonomi khusus sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kawasan ekonomi khusus.

  8. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disingkat KPBPB adalah kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.

  9. Administrator Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disebut Administrator KEK adalah administrator sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kawasan ekonomi khusus.

  10. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Badan Pengusahaan KPBPB adalah Badan Pengusahaan KPBPB sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.

  11. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.

  12. Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB adalah bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya.

  13. Sertifikat Standar adalah pernyataan dan/atau bukti pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha.

  14. Izin adalah persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.

  15. Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat SPPL adalah Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

  16. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat UKL-UPL adalah Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

  17. Pengawasan adalah upaya untuk memastikan pelaksanaan kegiatan usaha sesuai dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan melalui pendekatan berbasis Risiko dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pelaku Usaha.

  18. Usaha Mikro dan Kecil yang selanjutnya disingkat UMK adalah usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

  19. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disingkat UMK-M adalah usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

  20. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia yang selanjutnya disingkat KBLI adalah kode klasifikasi yang diatur oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik.

  21. Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission) yang selanjutnya disebut Sistem OSS adalah sistem elektronik terintegrasi yang dikelola dan diselenggarakan oleh Lembaga OSS untuk penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

  22. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS yang selanjutnya disebut Lembaga OSS adalah lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.

  23. Penanaman Modal adalah penanaman modal sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.

  24. Penanaman Modal Asing adalah penanaman modal asing sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.

  25. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang selanjutnya disingkat DPMPTSP adalah organisasi perangkat daerah pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang penanaman modal.

  26. Hari adalah hari kerja sesuai dengan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Pasal 2

Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko meliputi:

  1. pengaturan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;

  2. norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;

  3. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui layanan Sistem OSS;

  4. tata cara Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;

  5. evaluasi dan reformasi kebijakan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;

  6. pendanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;

  7. penyelesaian permasalahan dan hambatan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; dan

  8. sanksi.

Pasal 3

Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertujuan untuk meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, melalui:

  1. pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha secara lebih efektif dan sederhana; dan

  2. Pengawasan kegiatan usaha yang transparan, terstruktur, dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 4

Untuk memulai dan melakukan kegiatan usaha, Pelaku Usaha wajib memenuhi:

  1. persyaratan dasar Perizinan Berusaha; dan/atau

  2. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

Pasal 5

  1. Persyaratan dasar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, persetujuan bangunan gedung, dan sertifikat laik fungsi.

  2. Ketentuan mengenai persyaratan dasar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang, lingkungan hidup, dan bangunan gedung.

Pasal 6

  1. Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b.

  2. Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sektor:

    1. kelautan dan perikanan;

    2. pertanian;

    3. lingkungan hidup dan kehutanan;

    4. energi dan sumber daya mineral;

    5. ketenaganukliran;

    6. perindustrian;

    7. perdagangan;

    8. pekerjaan umum dan perumahan rakyat;

    9. transportasi;

    10. kesehatan, obat, dan makanan;

    11. pendidikan dan kebudayaan;

    1

    pariwisata;

    1. keagamaan;

    2. pos, telekomunikasi, penyiaran, dan sistem dan transaksi elektronik;

    3. pertahanan dan keamanan; dan

    4. ketenagakerjaan.

  3. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko pada masing-masing sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pengaturan:

    1. kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha;

    2. persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;

    3. pedoman Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; dan

    4. standar kegiatan usaha dan/atau standar produk.

  4. Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

  5. Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha Berbasis Risiko pada masing-masing sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

  6. Pedoman Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

  7. Standar kegiatan usaha dan/atau standar produk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d pada masing-masing sektor diatur dengan peraturan menteri/kepala lembaga.

  8. Penyusunan standar kegiatan usaha dan/atau standar produk sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan secara transparan, memperhatikan kesederhanaan persyaratan, dan kemudahan proses bisnis dengan melibatkan Pelaku Usaha.

  9. Penyusunan standar kegiatan usaha dan/ atau standar produk sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilaksanakan berdasarkan pedoman sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

  10. Peraturan menteri/ kepala lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan setelah mendapat persetujuan Presiden dan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.

  11. Kementerian/ lembaga, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, Administrator KEK dan Badan Pengusahaan KPBPB dilarang menerbitkan Perizinan Berusaha di luar Perizinan Berusaha yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.

  12. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko pada masing-masing sektor dilakukan pembinaan dan Pengawasan oleh menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan masing-masing.

BAB II

PENGATURAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO

Bagian Kesatu

Analisis Risiko

Pasal 7

  1. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dilakukan berdasarkan penetapan tingkat Risiko dan peringkat skala kegiatan usaha meliputi UMK-M dan/atau usaha besar.

  2. Penetapan tingkat Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil analisis Risiko.

  3. Analisis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan secara transparan, akuntabel, dan mengedepankan prinsip kehati-hatian berdasarkan data dan/atau penilaian profesional.

  4. Tingkat Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menentukan jenis Perizinan Berusaha.

Pasal 8

Pelaksanaan analisis Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui:

  1. pengidentifikasian kegiatan usaha;

  2. penilaian tingkat bahaya;

  3. penilaian potensi terjadinya bahaya;

  4. penetapan tingkat Risiko dan peringkat skala usaha; dan

  5. penetapan jenis Perizinan Berusaha.

Pasal 9

  1. Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dilakukan terhadap aspek:

    1. kesehatan;

    2. keselamatan;

    3. lingkungan; dan/atau

    4. pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya.

  2. Untuk kegiatan tertentu, penilaian tingkat bahaya dapat mencakup aspek lainnya sesuai dengan sifat kegiatan usaha.

  3. Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan memperhitungkan:

    1. jenis kegiatan usaha;

    2. kriteria kegiatan usaha;

    3. lokasi kegiatan usaha;

    4. keterbatasan sumber daya; dan/atau

    5. Risiko volatilitas.

  4. Penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c terdiri dari:

    1. hampir tidak mungkin terjadi;

    2. kemungkinan kecil terjadi;

    3. kemungkinan terjadi; atau

    4. hampir pasti terjadi.

  5. Penetapan tingkat Risiko dan peringkat skala usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d diperoleh berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya.

Pasal 10

  1. Berdasarkan penilaian tingkat bahaya, penilaian potensi terjadinya bahaya, tingkat Risiko, dan peringkat skala usaha kegiatan usaha, kegiatan usaha diklasifikasikan menjadi:

    1. kegiatan usaha dengan tingkat Risiko rendah;

    2. kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah; dan

    3. kegiatan usaha dengan tingkat Risiko tinggi.

  2. Kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terbagi atas:

    1. tingkat Risiko menengah rendah; dan

    2. tingkat Risiko menengah tinggi.

Pasal 11

Mekanisme pelaksanaan analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 12

  1. Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a berupa NIB yang merupakan identitas Pelaku Usaha sekaligus legalitas untuk melaksanakan kegiatan usaha.

  2. NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko rendah yang dilakukan oleh UMK, berlaku juga sebagai:

    1. Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian; dan/atau

    2. pernyataan jaminan halal sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang jaminan produk halal.

Pasal 13

  1. Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a berupa:

    1. NIB; dan

    2. Sertifikat Standar.

  2. Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan legalitas untuk melaksanakan kegiatan usaha dalam bentuk pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha yang diberikan melalui Sistem OSS.

  3. Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi Pelaku Usaha untuk melakukan persiapan, operasional, dan/atau komersial kegiatan usaha.

  4. Standar pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha pada saat melaksanakan kegiatan usaha.

Pasal 14

  1. Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b berupa:

    1. NIB; dan

    2. Sertifikat Standar.

  2. Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Sertifikat Standar pelaksanaan kegiatan usaha yang diterbitkan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha oleh Pelaku Usaha.

  3. Setelah memperoleh NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Pelaku Usaha membuat pernyataan melalui Sistem OSS untuk memenuhi standar pelaksanaan kegiatan usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha dan kesanggupan untuk dilakukan verifikasi oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing.

  4. Terhadap pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Lembaga OSS menerbitkan Sertifikat Standar yang belum terverifikasi.

  5. Sertifikat Standar yang belum terverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi dasar bagi Pelaku Usaha untuk melakukan persiapan kegiatan usaha.

  6. NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan Sertifikat Standar yang telah terverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Perizinan Berusaha bagi Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan operasional dan/atau komersial kegiatan usaha.

  7. Dalam hal Pelaku Usaha:

    1. tidak memperoleh Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai jangka waktu yang ditetapkan dalam norma, standar, prosedur, dan kriteria; dan

    2. berdasarkan hasil Pengawasan, tidak melakukan persiapan kegiatan usaha dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak NIB terbit,

  8. Lembaga OSS membatalkan Sertifikat Standar yang belum terverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

Pasal 15

  1. Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c berupa:

    1. NIB; dan

    2. Izin.

  2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.

  3. Sebelum memperoleh Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha dapat menggunakan NIB untuk persiapan kegiatan usaha.

  4. NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Perizinan Berusaha bagi Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan operasional dan/atau komersial kegiatan usaha.

  5. Dalam hal kegiatan usaha dengan tingkat Risiko tinggi memerlukan pemenuhan standar usaha dan/atau standar produk, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing menerbitkan Sertifikat Standar usaha dan Sertifikat Standar produk berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar.

Pasal 16

Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (5) dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing dan dapat menugaskan lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi.

Pasal 17

  1. Tahapan pelaksanaan kegiatan usaha terdiri dari tahap:

    1. persiapan; dan

    2. operasional dan/atau komersial.

  2. Tahap persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari kegiatan:

    1. pengadaan tanah;

    2. pembangunan bangunan gedung;

    3. pengadaan peralatan atau sarana;

    4. pengadaan sumber daya manusia;

    5. pemenuhan standar usaha; dan/atau

    6. kegiatan lain sebelum dilakukannya operasional dan/atau komersial, termasuk:

      1. prastudi kelayakan atau studi kelayakan; dan

      2. pembiayaan operasional selama masa konstruksi.

  3. Dalam hal Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha dengan tingkat Risiko tinggi diwajibkan memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup, kegiatan pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan setelah persetujuan lingkungan diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  4. Tahap operasional dan/atau komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari kegiatan:

    1. produksi barang/jasa;

    2. logistik dan distribusi barang/jasa;

    3. pemasaran barang/jasa; dan/ atau

    4. kegiatan lain dalam rangka operasional dan/atau komersial.

Bagian Kedua

Langkah langkah Analisis Risiko Kegiatan Usaha

Pasal 18

Analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dilakukan terhadap setiap kegiatan usaha.

Pasal 19

  1. Analisis Risiko dilakukan dengan melibatkan:

    1. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan;

    2. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan;

    3. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup;

    4. menteri dan/atau kepala lembaga sektor terkait; dan

    5. Pelaku Usaha dan/atau masyarakat.

  2. Keterlibatan menteri dan/atau kepala lembaga sektor terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi pengaturan kegiatan usaha yang bersifat lintas sektor dan / atau beririsan antarkementerian/lembaga.

  3. Keterlibatan Pelaku Usaha dan/atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dapat berupa:

    1. memberikan masukan terhadap tingkat Risiko kegiatan usaha;

    2. memberikan data dan informasi terkait kegiatan usaha dalam penetapan tingkat Risiko; dan

    3. meningkatkan pemahaman kegiatan usaha untuk melakukan manajemen Risiko.

Pasal 20

  1. Dalam hal tahap operasional dan/atau komersial kegiatan usaha diperlukan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha, kementerian/lembaga mengidentifikasi Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha dengan tetap mempertimbangkan tingkat Risiko kegiatan usaha dan/atau produk pada saat pelaksanaan tahap operasional dan/atau komersial kegiatan usaha.

  2. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II.

BAB III

NORMA STANDAR PROSEDUR DAN KRITERIA PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 21

  1. Pemerintah Pusat menyusun dan menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha Berbasis Risiko pada setiap sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).

  2. Norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi acuan tunggal bagi pelaksanaan pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

  3. Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan peraturan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada kepala daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.

  4. Peraturan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat peraturan internal bagi aparat Pemerintah Daerah dalam melaksanakan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

Pasal 22

  1. Perizinan Berusaha diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

  2. Pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:

    1. Lembaga OSS;

    2. Lembaga OSS atas nama menteri/kepala lembaga;

    3. kepala DPMPTSP provinsi atas nama gubernur;

    4. kepala DPMPTSP kabupaten/kota atas nama bupati/wali kota;

    5. Administrator KEK; dan

    6. kepala Badan Pengusahaan KPBPB, sesuai dengan kewenangan masing-masing yang tercantum dalam Lampiran I.

  3. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d:

    1. dalam hal kegiatan usaha terdapat:

      1. Penanaman Modal Asing; dan/atau

      2. Penanaman Modal yang menggunakan modal asing berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah negara lain,

    2. dalam hal kegiatan usaha terdapat:

      1. Penanaman Modal Asing; dan/atau

      2. Penanaman Modal yang menggunakan modal asing berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah negara lain,
        a. kewenangan penerbitan Perizinan Berusaha dilakukan oleh kepala lembaga pemerintah yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi Penanaman Modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    3. dalam hal kegiatan usaha dilakukan pada wilayah KEK, kewenangan penerbitan Perizinan Berusaha dilakukan oleh Administrator KEK sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang KEK; atau

    4. dalam hal kegiatan usaha dilakukan pada wilayah KPBPB, kewenangan penerbitan Perizinan Berusaha dilakukan oleh kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang KPBPB.

Pasal 23

  1. Menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, Administrator KEK, dan/ atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing dalam:

    1. melakukan pemeriksaan persyaratan Perizinan Berusaha harus sesuai dengan jangka waktu; dan

    2. memberikan Perizinan Berusaha harus sesuai dengan masa berlaku, sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.

  2. Pelaku Usaha hams mematuhi persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.

Bagian Kedua

Sektor Kelautan dan Perikanan

Paragraf 1

Perizinan Berusaha

Pasal 24

  1. Perizinan Berusaha sektor kelautan dan perikanan terdiri atas subsektor:

    1. pengelolaan ruang laut;

    2. penangkapan ikan;

    3. pengangkutan ikan;

    4. pembudidayaan ikan;

    5. pengolahan ikan; dan

    6. pemasaran ikan.

  2. Perizinan Berusaha pada subsektor pengelolaan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

    1. pengusahaan pariwisata alam perairan di kawasan konservasi;

    2. pengangkatan benda muatan kapal tenggelam;

    3. produksi garam;

    4. biofarmakologi;

    5. bioteknologi;

    6. pemanfaatan air laut selain energi;

    7. pelaksanaan reklamasi;

    8. pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dalam rangka Penanaman Modal Asing;

    9. pemanfaatan jenis ikan yang dilindungi dan/atau yang termasuk dalam appendix Convention on International Trade Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), selain appendix I; dan

    10. pemanfaatan pasir laut.

  3. Perizinan Berusaha pada subsektor penangkapan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas kegiatan usaha penangkapan ikan.

  4. Perizinan Berusaha pada subsektor pengangkutan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas kegiatan usaha pengangkutan ikan.

  5. Perizinan Berusaha pada subsektor pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

    1. pembenihan ikan; dan/atau

    2. pembesaran ikan.

  6. Perizinan Berusaha pada subsektor pengolahan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas kegiatan usaha pengolahan ikan.

  7. Perizinan Berusaha pada subsektor pemasaran ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas kegiatan usaha pemasaran ikan.

Pasal 25

Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada sektor kelautan dan perikanan meliputi:

  1. penunjang operasional dan/atau komersial kegiatan usaha; dan

  2. ekspor dan impor.

Pasal 26

  1. Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 tercantum dalam Lampiran I.

  2. Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor kelautan dan perikanan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 tercantum dalam Lampiran II.

Paragraf 2

Norma dan Kriteria

Pasal 27

  1. Batasan ukuran kapal penangkap ikan:

    1. kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 5 (lima) gross tonnage diberikan daerah penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) di:

      1. perairan darat; atau

      2. wilayah laut sampai dengan 12 (dua belas) mil laut atau lebih dari 12 (dua belas) mil laut;

    2. kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 5 (lima) gross tonnage sampai dengan 30 (tiga puluh) gross tonnage diberikan daerah penangkapan ikan lebih dari 4 (empat) mil laut sampai dengan 12 (dua belas) mil laut, lebih dari 12 (dua belas) mil laut, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), atau laut lepas;

    3. kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 30 (tiga puluh) gross tonnage diberikan daerah penangkapan ikan di wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil laut, dengan ketentuan:

      1. kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 100 (seratus) gross tonnage diberikan daerah penangkapan ikan di perairan kepulauan, ZEEI, atau laut lepas;

      2. kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 100 (seratus) gross tonnage diberikan daerah penangkapan ikan di ZEEI atau laut lepas;

      3. kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 300 (tiga ratus) gross tonnage diberikan daerah penangkapan ikan di ZEEI lebih dari 150 (seratus lima puluh) mil laut dan laut lepas; dan

      4. kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 300 (tiga ratus) gross tonnage yang beroperasi di WPPNRI diberikan daerah penangkapan ikan di ZEEI.

  2. Batasan ukuran kapal penangkap ikan di kawasan konservasi berukuran paling besar 5 (lima) gross tonnage.

Pasal 28

  1. Kapal penangkap ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf a diberikan daerah penangkapan ikan di 1 (satu) atau 2 (dua) WPPNRI yang berdampingan.

  2. Kapal penangkap ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf b dan huruf c diberikan daerah penangkapan ikan di:

    1. 1 (satu) atau 2 (dua) WPPNRI yang berdampingan; atau

    2. laut lepas, yaitu Samudera Hindia atau Samudera Pasifik.

Pasal 29

  1. Kapal penangkap ikan dari daerah penangkapan ikan diberikan 4 (empat) pelabuhan pangkalan di WPPNRI yang menjadi daerah penangkapan ikannya dan 1 (satu) pelabuhan pangkalan sesuai dengan domisili usaha atau domisili tempat tinggal.

  2. Kapal penangkap ikan dari daerah penangkapan ikan yang beroperasi di laut lepas diberikan 1 (satu) pelabuhan pangkalan sesuai dengan domisili usaha atau domisili tempat tinggal dan paling banyak 40 (empat puluh) pelabuhan negara tujuan yang menjadi negara anggota Regional Fisheries Management Organizations (RFMO) pada wilayah RFMO yang sama dan melaksanakan ketentuan perjanjian internasional terkait pelabuhan perikanan.

Pasal 30

Andon penangkapan ikan dilakukan oleh kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 30 (tiga puluh) gross tonnage.

Pasal 31

  1. Kapal pengangkut ikan yang melakukan pengangkutan ikan dari pelabuhan pangkalan ke pelabuhan pangkalan lain diberikan paling banyak 20 (dua puluh) pelabuhan muat di 2 (dua) WPPNRI yang berdampingan dan 2 (dua) pelabuhan pangkalan.

  2. Kapal pengangkut ikan yang melakukan pengangkutan ikan dari pelabuhan pangkalan ke pelabuhan negara tujuan diberikan 1 (satu) pelabuhan pangkalan dan 1 (satu) pelabuhan negara tujuan.

  3. Kapal pengangkut ikan yang melakukan pengangkutan ikan hidup dari pelabuhan muat ke pelabuhan pangkalan di dalam negeri diberikan paling banyak 50 (lima puluh) pelabuhan muat dan 5 (lima) pelabuhan pangkalan.

  4. Kapal pengangkut ikan yang melakukan pengangkutan ikan hidup ke luar negeri untuk tujuan ekspor diberikan paling banyak 10 (sepuluh) pelabuhan muat dan 6 (enam) pelabuhan negara tujuan.

  5. Kapal pengangkut ikan yang melakukan pengangkutan ikan hidup di dalam negeri dapat mengangkut sarana pembudidayaan ikan, khusus untuk usaha pembudidayaan mutiara.

Pasal 32

Batasan ukuran kapal pengangkut ikan:

  1. kapal pengangkut ikan dari pelabuhan pangkalan ke pelabuhan pangkalan lainnya, tidak diberikan batasan;

  2. kapal pengangkut ikan dari pelabuhan pangkalan ke pelabuhan negara tujuan, berukuran lebih dari 20 (dua puluh) gross tonnage;

  3. kapal pengangkut ikan dari daerah penangkapan ikan di perairan kepulauan ke pelabuhan pangkalan di dalam negeri, berukuran sampai dengan 300 (tiga ratus) gross tonnage;

  4. kapal pengangkut ikan dari daerah penangkapan ikan di ZEEI dan laut lepas ke pelabuhan pangkalan di dalam negeri, berukuran lebih dari 30 (tiga puluh) gross tonnage;

  5. kapal pengangkut ikan dari daerah penangkapan ikan di laut lepas ke pelabuhan negara tujuan yang menjadi negara anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama dan melaksanakan ketentuan port state measure agreement, berukuran lebih dari 300 (tiga ratus) gross tonnage;

  6. kapal pengangkut ikan yang melakukan pengangkutan ikan hidup dari pelabuhan muat ke pelabuhan pangkalan di dalam negeri, berukuran paling besar 300 (tiga ratus) gross tonnage; dan

  7. kapal pengangkut ikan yang melakukan pengangkutan ikan hidup ke luar negeri untuk tujuan ekspor, berukuran paling besar 500 (lima ratus) gross tonnage.

Pasal 33

  1. Kapal pengangkut ikan dari daerah penangkapan ikan diberikan 4 (empat) pelabuhan pangkalan di WPPNRI yang menjadi daerah penangkapan ikannya dan 1 (satu) pelabuhan pangkalan sesuai dengan domisili usaha atau domisili tempat tinggal.

  2. Kapal pengangkut ikan dari daerah penangkapan ikan yang beroperasi di laut lepas diberikan 1 (satu) pelabuhan pangkalan sesuai dengan domisili usaha atau domisili tempat tinggal dan paling banyak 40 (empat puluh) pelabuhan negara tujuan yang menjadi negara anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama dan melaksanakan ketentuan perjanjian internasional terkait pelabuhan perikanan.

Pasal 34

  1. Kapal penangkap ikan yang beroperasi di WPPNRI dapat melakukan alih muatan ke kapal pengangkut ikan.

  2. Kapal penangkap ikan dan/ atau kapal pengangkut ikan dapat melakukan alih muatan di laut lepas maupun di pelabuhan di negara tujuan yang menjadi negara anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama dan melaksanakan ketentuan perjanjian internasional terkait pelabuhan perikanan dan resolusi RFMO.

Pasal 35

  1. Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak surat izin usaha perikanan pertama kali diterbitkan hanya merealisasikan sebagian rencana usaha yang tercantum dalam surat izin usaha perikanan, surat izin usaha perikanan dilakukan perubahan tanpa adanya permohonan sesuai dengan realisasi yang dilakukan.

  2. Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak surat izin usaha perikanan pertama kali diterbitkan tidak merealisasikan rencana usaha yang tercantum dalam surat izin usaha perikanan, surat izin usaha perikanan dicabut tanpa adanya permohonan.

Bagian Ketiga

Sektor Pertanian

Pasal 36

  1. Perizinan Berusaha pada sektor pertanian terdiri atas subsektor:

    1. perkebunan;

    2. tanaman pangan;

    3. hortikultura;

    4. peternakan dan kesehatan hewan;

    5. ketahanan pangan; dan

    6. sarana pertanian.

  2. Perizinan Berusaha pada subsektor perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

    1. budi daya;

    2. pengolahan hasil perkebunan yang terintegrasi dengan budi daya perkebunan;

    3. pengolahan hasil perkebunan skala UMK-M; dan

    4. produksi benih perkebunan.

  3. Perizinan Berusaha pada subsektor tanaman pangan sebagaimana pada ayat (1) huruf b yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

    1. budi daya;

    2. perbenihan;

    3. pascapanen;

    4. pengolahan;

    5. jasa; dan

    6. keterpaduan.

  4. Perizinan Berusaha pada subsektor hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

    1. budi daya; dan

    2. produksi perbenihan hortikultura.

  5. Perizinan Berusaha pada subsektor peternakan dan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

    1. peternakan;

    2. hijauan pakan ternak;

    3. rumah potong hewan;

    4. penanganan daging dan hasil ikutan;

    5. veteriner; dan

    6. obat hewan.

  6. Perizinan Berusaha pada subsektor ketahanan pangan dan subsektor sarana pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f tidak memiliki Perizinan Berusaha yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko.

Pasal 37

Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada sektor pertanian meliputi:

  1. penunjang operasional dan/atau komersial kegiatan usaha; dan

  2. ekspor dan impor.

Pasal 38

  1. Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 tercantum dalam Lampiran I.

  2. Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor pertanian yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 tercantum dalam Lampiran II.

Bagian Keempat

Sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Pasal 39

  1. Perizinan Berusaha sektor lingkungan hidup dan kehutanan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha meliputi kegiatan usaha:

    1. pemanfaatan hutan;

    2. pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun;

    3. pengelolaan air limbah;

    4. pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan konservasi;

    5. pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar; dan

    6. perbenihan tanaman hutan.

  2. Perizinan Berusaha pada subsektor pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

    1. pemanfaatan hutan produksi;

    2. pemanfaatan hutan lindung;

    3. pengolahan hasil hutan skala besar;

    4. pengolahan hasil hutan skala menengah; dan

    5. pengolahan hasil hutan skala kecil.

  3. Perizinan Berusaha pada subsektor pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

    1. pengumpulan limbah bahan berbahaya dan beracun;

    2. pemanfaatan limbah bahan berbahaya dan beracun;

    3. pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun; dan

    4. penimbunan limbah bahan berbahaya dan beracun.

  4. Perizinan Berusaha pada subsektor pengelolaan air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

    1. pengangkutan air limbah tidak berbahaya;

    2. pengangkutan air limbah berbahaya;

    3. pengolahan air limbah tidak berbahaya; dan

    4. pengolahan air limbah berbahaya.

  5. Perizinan Berusaha pada subsektor pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

    1. pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi tahap eksplorasi;

    2. pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi tahap eksploitasi dan pemanfaatan;

    3. pemanfaatan jasa lingkungan air skala mikro;

    4. pemanfaatan jasa lingkungan air skala kecil;

    5. pemanfaatan jasa lingkungan air skala menengah;

    6. pemanfaatan jasa lingkungan air skala besar;

    7. pemanfaatan jasa lingkungan energi air skala mikro;

    8. pemanfaatan jasa lingkungan energi air skala kecil;

    9. pemanfaatan jasa lingkungan energi air skala menengah;

    10. pemanfaatan jasa lingkungan energi air skala besar;

    11. pengusahaan sarana jasa lingkungan wisata alam;

    1

    penyediaan jasa wisata alam;

    1. penyediaan jasa lingkungan air;

    2. penyediaan jasa lingkungan energi air; dan

    3. pengusahaan taman buru.

  6. Perizinan Berusaha pada subsektor pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

    1. lembaga konservasi untuk kepentingan umum;

    2. penangkaran jenis tumbuhan dan satwa liar;

    3. peredaran jenis tumbuhan dan satwa liar dalam negeri;

    4. peredaran jenis tumbuhan dan satwa liar luar negeri; dan

    5. peragaan tumbuhan dan satwa liar.

  7. Perizinan Berusaha pada subsektor perbenihan tanaman hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

    1. pengadaan dan pengedaran benih:

    2. pengadaan dan pengedaran bibit;

    3. pengadaan dan pengedaran benih dan bibit;

    4. pemasukan benih dan/atau bibit tanaman hutan dari luar negeri; dan

    5. pengeluaran benih dan/atau bibit tanaman hutan ke luar negeri.

Pasal 40

  1. Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 tercantum dalam Lampiran I.

  2. Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor lingkungan hidup dan kehutanan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 tercantum dalam Lampiran II.

Bagian Kelima

Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral

Paragraf 1

Perizinan Berusaha

Pasal 41

  1. Perizinan Berusaha sektor energi dan sumber daya mineral terdiri atas subsektor:

    1. minyak dan gas bumi;

    2. ketenagalistrikan;

    3. mineral dan batubara; dan

    4. energi baru, terbarukan, dan konservasi energi.

  2. Perizinan Berusaha pada subsektor minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

    1. kegiatan survei umum;

    2. kegiatan usaha hulu; dan

    3. kegiatan usaha hilir.

  3. Perizinan Berusaha pada subsektor ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

    1. penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum; dan

    2. jasa penunjang tenaga listrik.

  4. Perizinan Berusaha pada subsektor mineral dan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

    1. pertambangan;

    2. pertambangan khusus;

    3. pertambangan khusus sebagai kelanjutan operasi kontrak/ perjanjian;

    4. pertambangan rakyat;

    5. penambangan batuan;

    6. pengangkutan dan penjualan;

    7. jasa pertambangan; dan

    8. pertambangan untuk penjualan.

  5. Perizinan Berusaha subsektor energi baru, terbarukan, dan konservasi energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

    1. pengusahaan panas bumi; dan

    2. niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain.

Pasal 42

  1. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a meliputi:

    1. surat kemampuan usaha penunjang jasa dan industri minyak dan gas bumi;

    2. rencana impor barang operasi minyak dan gas bumi;

    3. penandasahan hasil verifikasi tingkat komponen dalam negeri pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi;

    4. rekomendasi ekspor dan impor minyak mentah;

    5. rekomendasi ekspor hasil kilang;

    6. rekomendasi pertimbangan tertulis pabrikasi pelumas;

    7. rekomendasi ekspor dan impor niaga minyak dan gas bumi untuk badan usaha niaga dan pengguna langsung;

    8. pelaporan penyalur badan usaha niaga minyak dan gas bumi meliputi penyalur bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan liquid petroleum gas;

    9. izin pembangunan dan pengoperasian pipa gas bumi serta fasilitas dan sarana pendukung untuk kepentingan sendiri;

    10. izin usaha pengangkutan minyak dan gas bumi;

    11. rekomendasi ekspor minyak dan gas bumi hasil kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi;

    12. persetujuan penyisihan wilayah kerja minyak dan gas bumi;

    13. persetujuan pengalihan partisipasi interes;

    14. penetapan alokasi dan pemanfaatan serta harga gas bumi;

    15. persetujuan rencana pengembangan lapangan minyak dan gas bumi yang pertama kali dan perubahannya;

    16. persetujuan pemanfaatan data minyak dan gas bumi;

    17. persetujuan survei keluar wilayah kerja minyak dan gas bumi;

    18. rekomendasi penggunaan wilayah kerja minyak dan gas bumi untuk kegiatan lainnya;

    19. rekomendasi penetapan lokasi;

    20. persetujuan pengalihan partisipasi interes 10% (sepuluh persen);

    21. persetujuan pemroduksian minyak bumi pada sumur tua;

    22. persetujuan penunjukan pihak lain untuk pengelolaan data kontraktor;

    23. persetujuan penyimpanan salinan data di luar wilayah hukum pertambangan Indonesia;

    24. izin gudang bahan peledak;

    25. penetapan daerah terbatas terlarang pada kegiatan usaha minyak dan gas bumi;

    26. rekomendasi teknis injeksi air limbah;
      aa. persetujuan dokumen rencana tanggap darurat penanggulangan tumpahan minyak;
      bb. persetujuan pelaksanaan kegiatan pascaoperasi pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi;
      cc. persetujuan layak operasi;
      dd. pengesahan kualifikasi prosedur dan ahli las;
      ee. nomor pelumas terdaftar;
      ff. pengesahan perusahaan inspeksi; dan
      gg. persetujuan pengalihan sisa komitmen pasti ke wilayah terbuka.

  2. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf b meliputi:

    1. kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum;

    2. kegiatan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri; dan

    3. kegiatan usaha jasa penunjang tenaga listrik.

  3. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor mineral dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf c meliputi:

    1. persetujuan program kemitraan;

    2. persetujuan konsultasi dan/atau perencanaan pada usaha jasa pertambangan; dan

    3. persetujuan penggunaan keikutsertaan anak perusahaan dan/atau afiliasi dalam usaha jasa pertambangan.

  4. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor energi baru, terbarukan, dan konservasi energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf d meliputi:

    1. registrasi usaha penunjang panas bumi;

    2. izin gudang bahan peledak;

    3. sertifikasi peralatan, instalasi, welding procedure specification/procedure qualification record, dan juru las panas bumi;

    4. Perizinan Berusaha pengusahaan panas bumi;

    5. persetujuan studi kelayakan proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi;

    6. penandasahan impor barang panas bumi; dan

    7. rekomendasi ekspor dan/atau impor bahan bakar nabati.

Pasal 43

  1. Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 tercantum dalam Lampiran I.

  2. Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor energi dan sumber daya mineral yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 tercantum dalam Lampiran II.

Paragraf 2

Norma dan Kriteria

Pasal 44

  1. Untuk menunjang penyiapan wilayah kerja, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral melakukan kegiatan survei umum.

  2. Kegiatan survei umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada wilayah terbuka di dalam wilayah hukum pertambangan.

  3. Kegiatan survei umum paling sedikit meliputi survei geologi, survei geofisika, dan survei geokimia.

  4. Pelaksanaan survei umum oleh badan usaha dilaksanakan atas biaya dan Risiko sendiri.

  5. Sebelum melaksanakan survei umum, badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib menyampaikan terlebih dahulu jadwal dan prosedur pelaksanaan survei umum kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.

Pasal 45

  1. Kegiatan usaha hulu dilaksanakan oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap berdasarkan kontrak kerja sama.

  2. Dalam penerapan Perizinan Berusaha pada kegiatan usaha hulu:

    1. kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlakukan sebagai Izin dalam kegiatan usaha hulu; dan

    2. badan usaha atau bentuk usaha tetap yang menandatangani kontrak kerja sama wajib memiliki NIB.

  3. Penerapan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghapus keberlakuan seluruh ketentuan dalam kontrak kerja sama.

Pasal 46

Kegiatan usaha hilir meliputi:

  1. kegiatan usaha pengolahan yang meliputi kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah minyak dan gas bumi yang menghasilkan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, hasil olahan, liquified petroleum gas, dan/atau liquified natural gas tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan;

  2. kegiatan usaha pengangkutan yang meliputi kegiatan pemindahan minyak bumi, gas bumi, bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau hasil olahan baik melalui darat, air, dan/atau udara termasuk pengangkutan gas bumi melalui pipa dari suatu tempat ke tempat lain untuk tujuan komersial;

  3. kegiatan usaha penyimpanan yang meliputi kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan, dan pengeluaran minyak bumi, bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau hasil olahan pada lokasi di atas dan/atau di bawah permukaan tanah dan/atau permukaan air untuk tujuan komersial; dan

  4. kegiatan usaha niaga yang meliputi kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, dan impor minyak bumi, bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau hasil olahan, termasuk gas bumi melalui pipa.

Pasal 47

  1. Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (5) huruf b wajib memiliki Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain.

  2. Pengajuan Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan dan/ atau kewajiban.

Pasal 48

Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain dapat diperpanjang berdasarkan kinerja perusahaan dan evaluasi tahunan.

Pasal 49

  1. Pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain wajib memiliki dan/atau menguasai fasilitas dan sarana kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain.

  2. Fasilitas dan sarana kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas penyediaan, pendistribusian, dan pemasaran.

  3. Dalam melaksanakan pembangunan fasilitas dan sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain wajib:

    1. menggunakan barang dan peralatan yang memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    2. menggunakan kaidah keteknikan yang baik;

    3. mengutamakan pemanfaatan barang, peralatan, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;

    4. mengutamakan penggunaan tenaga kerja warga negara Indonesia dengan memperhatikan pemanfaatan tenaga kerja setempat sesuai dengan standar kompetensi yang dipersyaratkan;

    5. menjamin keselamatan dan kesehatan kerja serta lingkungan hidup; dan

    6. membantu pengembangan masyarakat setempat.

Pasal 50

Dalam melaksanakan kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain, badan usaha wajib:

  1. menjamin dan bertanggung jawab sampai ke tingkat penyalur/ konsumen akhir atas standar dan mutu bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain yang diniagakan sesuai standar dan mutu/ spesifikasi yang ditetapkan;

  2. menjamin harga jual bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain pada tingkat yang wajar;

  3. menjamin penyediaan fasilitas dan sarana kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain yang memadai;

  4. menjamin dan bertanggung jawab atas penggunaan peralatan, keakuratan, dan sistem alat ukur yang digunakan yang memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

  5. mempunyai dan menggunakan nama dan merek dagang tertentu bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain;

  6. mengutamakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri; dan

  7. menyampaikan data dan laporan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral mengenai pelaksanaan kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain termasuk harga jual bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain setiap 1 (satu) bulan sekali atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.

Pasal 51

  1. Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dapat meniagakan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain kepada konsumen akhir.

  2. Terhadap bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain yang dicampur dengan bahan bakar minyak hanya dapat diniagakan oleh badan usaha pemegang izin usaha niaga bahan bakar minyak.

Pasal 52

  1. Dengan mempertimbangkan kebutuhan dan pemenuhan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain di dalam negeri, Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dapat melaksanakan ekspor dan/atau impor bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain berdasarkan rekomendasi.

  2. Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan kapasitas produksi dan jaminan pemenuhan kebutuhan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain di dalam negeri.

  3. Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan:

    1. 1 (satu) kali untuk 1 (satu) tahun pelaksanaan ekspor; dan/atau

    2. untuk setiap kali pelaksanaan impor.

  4. Rekomendasi ekspor dan/atau impor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya permohonan rekomendasi ekspor dan/atau impor dari Pelaku Usaha.

  5. Pelaku Usaha wajib melaporkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral mengenai pelaksanaan ekspor dan/atau impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Bagian Keenam

Sektor Ketenaganukliran

Paragraf 1

Perizinan Berusaha

Pasal 53

  1. Perizinan Berusaha pada sektor ketenaganukliran terdiri atas subsektor:

    1. pemanfaatan sumber radiasi pengion;

    2. instalasi nuklir dan bahan nuklir;

    3. pertambangan bahan galian nuklir; dan

    4. pendukung sektor ketenaganukliran.

  2. Perizinan Berusaha pada subsektor pemanfaatan sumber radiasi pengion sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

    1. produksi radioisotop;

    2. produksi radioisotop dan radiofarmaka;

    3. produksi radiofarmaka;

    4. produksi peralatan yang menggunakan zat radioaktif;

    5. produksi barang konsumen;

    6. kalibrasi yang menggunakan sumber radiasi pengion;

    7. pengelolaan limbah radioaktif;

    8. ekspor zat radioaktif;

    9. impor dan/atau pengalihan zat radioaktif;

    10. pengalihan pembangkit radiasi pengion;

    11. produksi pembangkit radiasi pengion;

    1

    impor atau ekspor pembangkit radiasi pengion;

    1. ekspor barang konsumen;

    2. impor dan/atau pengalihan barang konsumen;

    3. pendidikan, penelitian dan/ atau pengembangan untuk penggunaan sumber radiasi pengion; dan

    4. penggunaan, yang meliputi:

      1. kedokteran nuklir, yang meliputi:
        (a) kedokteran nuklir terapi; dan
        (b) kedokteran nuklir diagnostik in vivo;

      2. radioterapi;

      3. iradiasi dengan iradiator, yang meliputi:
        (a) iradiator kategori II menggunakan sumber radioaktif;
        (b) iradiator kategori II menggunakan pembangkit radiasi pengion;
        (c) iradiator kategori III menggunakan sumber radioaktif; dan
        (d) iradiator kategori IV menggunakan sumber radioaktif;

      4. radiologi diagnostik dan/atau intervensional;

      5. iradiasi dengan iradiator, yang meliputi:
        (a) iradiator kategori I menggunakan sumber radioaktif; dan
        (b) iradiator kategori I menggunakan pembangkit radiasi pengion;

      6. uji tak rusak, yang meliputi:
        (a) uji tak rusak menggunakan sumber radiasi pengion mobile atau portabel; dan
        (b) uji tak rusak menggunakan sumber radiasi pengion terpasang tetap;

      7. perekaman data dalam sumur pengeboran (well logging);

      8. penanda dan/atau perunut;

      9. pengukuran (gauging) yang meliputi:
        (a) pengukuran menggunakan sumber radiasi pengion portabel dan/atau mobile; dan
        (b) pengukuran menggunakan sumber radiasi pengion terpasang tetap;

      10. pemindaian bagasi menggunakan pembangkit radiasi pengion portabel;

      11. pemeriksaan nonmedik pada manusia dengan pembangkit radiasi pengion;

      12. pemeriksaan kargo dan/atau peti kemas menggunakan sumber radiasi pengion;

      13. fasilitas penyimpanan sumber radioaktif;

      14. penyimpanan sementara zat radioaktif;

      15. radiologi diagnostik yang meliputi:
        (a) pengukuran densitas tulang; dan
        (b) pesawat gigi intra oral;

      16. kedokteran nuklir diagnostik in vitro;

      17. pemeriksaan unjuk kerja peralatan dengan zat radioaktif;

      18. analisis menggunakan sumber radiasi pengion;

      19. pemindaian bagasi dengan pembangkit radiasi pengion terpasang tetap; dan

      20. penyimpanan sementara pembangkit radiasi pengion.

  3. Perizinan Berusaha pada subsektor instalasi nuklir dan bahan nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

    1. reaktor nuklir;

    2. instalasi nuklir nonreaktor; dan

    3. pemanfaatan bahan nuklir.

  4. Perizinan Berusaha pada subsektor pertambangan bahan galian nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

    1. penyelidikan umum;

    2. eksplorasi;

    3. studi kelayakan;

    4. konstruksi;

    5. penambangan;

    6. pengolahan;

    7. penyimpanan;

    8. pengalihan; dan / atau

    9. dekomisioning.

  5. Perizinan Berusaha pada subsektor pendukung sektor ketenaganukliran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

    1. lembaga uji ketenaganukliran:

      1. lembaga uji kesesuaian pesawat sinar-X radiologi diagnostik dan intervensional;

      2. labotorium dosimetri;

      3. laboratorium uji bungkusan zat radioaktif;

      4. laboratorium uji peralatan radiografi industri; dan

      5. laboratorium uji radioaktivitas lingkungan;

    2. lembaga pelatihan ketenaganukliran.

Pasal 54

  1. Perizinan Berusaha untuk kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf f dan huruf p angka 1 sampai dengan angka 3, diterbitkan sesuai tahapan kegiatan.

  2. Tahapan kegiatan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. tahap kegiatan konstruksi;

    2. tahap kegiatan operasi; dan

    3. tahap kegiatan dekomisioning fasilitas sumber radiasi pengion.

Pasal 55

  1. Perizinan Berusaha untuk pengelolaan limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf g, diterbitkan sesuai tahapan:

    1. tahap kegiatan penentuan tapak;

    2. tahap kegiatan konstruksi;

    3. tahap kegiatan operasi; dan

    4. tahap kegiatan dekomisioning fasilitas sumber radiasi pengion.

  2. Permohonan Perizinan Berusaha untuk kegiatan pengelolaan limbah radioaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh badan pelaksana.

  3. Badan pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan badan pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai ketenaganukliran.

Pasal 56

Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada sektor ketenaganukliran meliputi:

  1. izin produksi radioisotop dan radiofarmaka;

  2. izin produksi radiofarmaka;

  3. izin produksi peralatan yang menggunakan zat radioaktif;

  4. izin produksi barang konsumen;

  5. izin kalibrasi yang menggunakan sumber radiasi pengion;

  6. izin kedokteran nuklir terapi dan diagnostic in vivo;

  7. izin radioterapi;

  8. izin iradiator kategori II menggunakan sumber radioaktif;

  9. izin iradiator kategori II menggunakan pembangkit radiasi pengion;

  10. izin iradiator kategori III menggunakan sumber radioaktif;

  11. izin iradiator kategori IV menggunakan sumber radioaktif;

  12. izin pemanfaatan sumber radiasi pengion untuk tujuan pendidikan;

  13. izin ekspor zat radioaktif;

  14. izin impor dan/atau pengalihan zat radioaktif;

  15. izin pengalihan pembangkit radiasi pengion;

  16. izin produksi pembangkit radiasi pengion;

  17. izin radiologi diagnostik dan/atau intervensional;

  18. izin iradiator kategori I menggunakan sumber radioaktif;

  19. izin iradiator kategori I menggunakan pembangkit radiasi pengion;

  20. izin uji tak rusak terpasang tetap/ mobile;

  21. izin perekaman data dalam sumur pengeboran (well logging);

  22. izin penanda dan/atau perunut;

  23. izin pengukuran (gauging);

  24. izin pemindaian bagasi menggunakan pembangkit radiasi pengion portabel;

  25. izin pemeriksaan nonmedik pada manusia dengan pembangkit radiasi pengion;

  26. izin pemeriksaan kargo dan/atau peti kemas menggunakan sumber radiasi pengion;
    aa. izin fasilitas penyimpanan sumber radioaktif;
    bb. izin menyimpan sementara zat radioaktif;
    cc. impor atau ekspor pembangkit radiasi pengion;
    dd. ekspor barang konsumen; dan
    ee. impor dan/atau pengalihan barang konsumen.

Pasal 57

  1. Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tercantum dalam Lampiran I.

  2. Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor ketenaganukliran yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risilai kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tercantum dalam Lampiran II.

Paragraf 2

Norma dan Kriteria

Pasal 58

  1. Perizinan Berusaha pemanfaatan sumber radiasi pengion dikenakan biaya yang be sarnya ditetapkan dalam peraturan pemerintah tersendiri.

  2. Dalam hal tertentu, pemanfaatan sumber radiasi pengion untuk pemanfaatan yang menggunakan zat radioaktif atau pemanfaatan yang menggunakan pembangkit radiasi pengion dan barang konsumen dikecualikan dari Perizinan Berusaha.

Pasal 59

  1. Ketentuan mengenai norma dan kriteria pemanfaatan sumber radiasi pengion, instalasi nuklir dan bahan nuklir, pertambangan bahan galian nuklir, dan pendukung sektor ketenaganukliran diatur dalam peraturan kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran.

  2. Peraturan kepala lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setelah mendapat persetujuan Presiden dan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.

Bagian Ketujuh

Sektor Perindustrian

Paragraf 1

Perizinan Berusaha

Pasal 60

  1. Perizinan Berusaha pada sektor perindustrian meliputi kegiatan usaha:

    1. penyelenggaraan industri yang mengolah bahan baku dan/ atau memanfaatkan sumber daya industri; dan

    2. kawasan industri.

  2. Perizinan Berusaha pada kegiatan usaha penyelenggaraan industri yang mengolah bahan baku dan/ atau memanfaatkan sumber daya industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas:

    1. kegiatan yang menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi; dan/ atau

    2. kegiatan yang menyediakan jasa industri.

  3. Perizinan Berusaha pada kegiatan usaha kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas kegiatan usaha kawasan industri.

  4. Kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diklasifikasikan menjadi:

    1. industri kecil;

    2. industri menengah; dan

    3. industri besar.

Pasal 61

Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada sektor perindustrian meliputi:

  1. rekomendasi, pertimbangan teknis, surat persetujuan, surat penetapan, tanda pendaftaran, tanda daftar, dan/atau surat keterangan dalam kegiatan operasional usaha industri tertentu;

  2. verifikasi teknis pemenuhan persyaratan Perizinan Berusaha industri; dan

  3. verifikasi teknis pemenuhan persyaratan Perizinan Berusaha kawasan industri.

Pasal 62

  1. Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, parameter Risiko, tingkat Risiko, Perizinan Berusaha, jangka waktu, masa berlaku, dan kewenangan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 tercantum dalam Lampiran I.

  2. Persyaratan dan/atau kewajiban Perizinan Berusaha pada sektor perindustrian yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 tercantum dalam Lampiran II.

Pasal 63

Perizinan Berusaha sektor perindustrian diberikan melalui Sistem OSS dan Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) secara terintegrasi.

Paragraf 2

Norma dan Kriteria

Pasal 64

Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a berlaku juga sebagai Perizinan Berusaha untuk tempat penyimpanan mesin/ peralatan, bahan baku, bahan penolong, dan/atau hasil produksi dengan ketentuan:

  1. tempat penyimpanan dimaksud terkait dengan kegiatan dan/atau kepentingan produksi Pelaku Usaha di sektor perindustrian bersangkutan yang tidak terpisahkan dari kegiatan industrinya dan berada dalam 1 (satu) lokasi usaha industri; dan

  2. tempat penyimpanan dimaksud tidak disewakan atau dikomersialkan.

Pasal 65

  1. Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a diperuntukan untuk kegiatan usaha industri yang wajib dilakukan di lokasi kawasan industri.

  2. Kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berlokasi di luar kawasan industri apabila:

    1. berlokasi di daerah kabupaten/kota yang belum memiliki kawasan industri atau telah memiliki kawasan industri tetapi seluruh kaveling industri dalam kawasan industrinya telah habis;

    2. berlokasi di zona industri dalam KEK;

    3. termasuk klasifikasi industri kecil dan industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas; atau

    4. industri yang menggunakan bahan baku khusus dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus.

  3. Kegiatan usaha industri yang berlokasi di luar kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan ketentuan:

    1. berlokasi di daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; dan/ atau

    2. termasuk klasifikasi industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, wajib berlokasi di kawasan peruntukan industri sesuai dengan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, atau rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

  4. Industri kecil dan industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan industri yang menggunakan bahan baku khusus dan/ atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.

Pasal 66

  1. Pelaku Usaha perseorangan dan Pelaku Usaha nonperseorangan di sektor perindustrian yang melakukan perubahan klasifikasi usaha industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4) wajib memenuhi ketentuan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65.

  2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Pelaku Usaha perseorangan dan Pelaku Usaha nonperseorangan di sektor perindustrian yang melakukan perubahan klasifikasi kegiatan usaha industri tanpa menambah lahan lokasi industri atau pindah lokasi industri.

Pasal 67 

  1. Dalam 1 (satu) Perizinan Berusaha hanya berlaku bagi 1 (satu) Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang:

    1. memiliki usaha industri dengan 1 (satu) kelompok usaha sesuai dengan KBLI 5 (lima) digit dan berada dalam 1 (satu) lokasi industri;

    2. memiliki beberapa usaha industri yang merupakan 1 (satu) unit produksi terpadu dengan KBLI 5 (lima) digit yang berbeda dalam 1 (satu) kawasan industri; atau

    3. memiliki beberapa usaha industri dengan 1 (satu) kelompok usaha sesuai dengan KBLI 5 (lima) digit yang sama dan berada di beberapa lokasi dalam 1 (satu) kawasan industri.

  2. Dalam hal Pelaku Usaha di sektor perindustrian memiliki usaha industri di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memiliki Perizinan Berusaha barn.

Pasal 68

  1. Pelaku Usaha di sektor perindustrian wajib:

    1. melaksanakan kegiatan usaha industri sesuai dengan Perizinan Berusaha yang dimiliki; dan

    2. menjamin keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan, serta pengangkutan.

  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai jaminan keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.

Pasal 69

Masa berlaku Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a berlaku selama Pelaku Usaha di sektor perindustrian melakukan kegiatan usaha industri.

Pasal 70

  1. Setiap Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang telah memiliki Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a dapat melakukan perluasan kegiatan usaha industri.

  2. Perluasan kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila Pelaku Usaha di sektor perindustrian melakukan penambahan kapasitas produksi terpasang.

  3. Dalam hal perluasan kegiatan usaha industri berpengaruh terhadap lingkungan hidup, Pelaku Usaha harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

Pasal 71

Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang melakukan perubahan:

  1. jumlah tenaga kerja;

  2. nilai investasi;

  3. kapasitas produksi terpasang;

  4. penambahan kelompok industri sesuai dengan KBLI 5 (lima) digit; dan

  5. penambahan/pemindahan lokasi usaha, wajib melakukan penyesuaian data Perizinan Berusaha.

    1. Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang melakukan perubahan jumlah tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau nilai investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang mengakibatkan perubahan klasifikasi usaha industri wajib memenuhi ketentuan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65.

    2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan bagi Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang melakukan perubahan klasifikasi usaha industri tanpa menambah lahan lokasi industri dan pindah lokasi industri.

    3. Penyesuaian data Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan permohonan melalui Sistem OSS.

Pasal 72

  1. Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b diberikan hanya kepada Pelaku Usaha nonperseorangan, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, dan perseroan terbatas, yang berlokasi di dalam kawasan peruntukan industri sesuai dengan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, atau rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

  2. Pelaku Usaha nonperseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah memperoleh Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha kawasan industri merupakan perusahaan kawasan industri.

  3. Perizinan Berusaha kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang kegiatan usaha kawasan industri.

Pasal 73

Pembangunan kawasan industri dilakukan dengan mengacu pada pedoman teknis pembangunan kawasan industri.

Pasal 74

  1. Perusahaan kawasan industri wajib memenuhi standar kawasan industri.

  2. Perusahaan kawasan industri yang telah memenuhi standar kawasan industri diberikan akreditasi.

Pasal 75

Masa berlaku Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b berlaku selama perusahaan kawasan industri melakukan kegiatan usaha kawasan industri.

Pasal 76

  1. Setiap perusahaan kawasan industri yang melakukan perluasan kawasan wajib memiliki Perizinan Berusaha.

  2. Sebelum mengajukan permohonan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perusahaan kawasan industri harus telah menguasai dan selesai menyiapkan lahan kawasan industri sampai dapat digunakan, menyusun perubahan analisis dampak lingkungan, perencanaan, dan pembangunan infrastruktur kawasan industri, serta kesiapan lain dalam rangka perluasan kawasan.

  3. Perluasan kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di dalam kawasan peruntukan industri.

  4. Perluasan kawasan industri hanya diberikan seluas lahan yang telah siap digunakan dan dikuasai yang dibuktikan dengan surat pelepasan hak atau sertifikat.

Bagian Kedelapan

Sektor Perdagangan

Pasal 77

  1. Perizinan Berusaha pada sektor perdagangan meliputi kegiatan usaha:

    1. perdagangan dalam negeri;

    2. pengembangan ekspor nasional; dan

    3. perdagangan berjangka komoditi, sistem resi gudang, dan pasar lelang komoditas.

  2. Perizinan Berusaha pada kegiatan usaha perdagangan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II.

  3. Perizinan Berusaha pada kegiatan usaha pengembangan ekspor nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis tingkat Risiko kegiatan usaha terdiri atas kegiatan usaha pameran dagang.

  4. Perizinan Berusaha pada kegiatan usaha perdagangan berjangka komoditi, sistem resi gudang, dan pasar lelang k