Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

menimbang

  1. bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi;

  2. bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

mengingat

  1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359);

  3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358);

Dengan Persetujuan Bersama:

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

menetapkan

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 12 Januari 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 3

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 24 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.

Undang-Undang ini adalah Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004. Perubahan dilakukan karena Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, khususnya yang menyangkut pengawasan, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Oleh karena itu, Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Akan tetapi, Mahkamah Agung bukan satu-satunya lembaga yang melakukan pengawasan karena ada pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial.

Berdasarkan Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Oleh karena itu, diperlukan kejelasan tentang pengawasan yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung dan pengawasan yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial. Pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung meliputi pelaksanaan tugas yudisial, administrasi, dan keuangan, sedangkan pengawasan yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial adalah pengawasan atas perilaku hakim, termasuk hakim agung. Dalam rangka pengawasan diperlukan adanya kerja sama yang harmonis antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Pasal I

Angka 1

Cukup jelas.

Pasal 6B

Ayat 1

Yang dimaksud dengan “calon hakim agung yang berasal dari hakim karier” adalah calon hakim agung yang berstatus aktif sebagai hakim pada badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang dicalonkan oleh Mahkamah Agung.

Ayat 2

Yang dimaksud dengan “calon hakim agung yang juga berasal dari nonkarier” adalah calon hakim agung yang berasal dari luar lingkungan badan peradilan.

Angka 2

Huruf a

angka 1

Cukup jelas. angka 2

Cukup jelas. angka 3

Pasal 7

Yang dimaksud dengan “magister di bidang hukum” adalah gelar akademis pada tingkat strata 2 dalam bidang ilmu hukum, termasuk magister ilmu syari’ah atau magister ilmu kepolisian.

angka 4

Cukup jelas. angka 5

Cukup jelas. angka 6

Cukup jelas. angka 7

Cukup jelas.

Huruf b

angka 1

Cukup jelas. angka 2

Yang dimaksud dengan “profesi hukum” adalah bidang pekerjaan seseorang yang dilandasi pendidikan keahlian di bidang hukum atau perundang-undangan, antara lain, advokat, penasihat hukum, notaris, penegak hukum, akademisi dalam bidang hukum, dan pegawai yang berkecimpung di bidang hukum atau peraturan perundang-undangan.

angka 3

Cukup jelas. angka 4

Cukup jelas.

Angka 3

Cukup jelas. angka 4

Cukup jelas.

Angka 3

Cukup jelas.

Angka 4

Huruf b

angka 1

Cukup jelas. angka 2

Yang dimaksud dengan “profesi hukum” adalah bidang pekerjaan seseorang yang dilandasi pendidikan keahlian di bidang hukum atau perundang-undangan, antara lain, advokat, penasihat hukum, notaris, penegak hukum, akademisi dalam bidang hukum, dan pegawai yang berkecimpung di bidang hukum atau peraturan perundang-undangan.

angka 3

Cukup jelas. angka 4

Cukup jelas.

Angka 3

Cukup jelas.

Angka 4

Cukup jelas.

Angka 5

Cukup jelas.

Angka 6

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Pasal 11A

Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" adalah apabila hakim agung yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalam maupun di luar pengadilan merendahkan martabat hakim agung.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Ayat 4

Cukup jelas.

Ayat 5

Cukup jelas.

Ayat 6

Cukup jelas.

Ayat 7

Pembentukan Majelis Kehormatan Hakim yang dimaksud dalam ketentuan ini bersifat ad hoc (kasus per kasus).

Ayat 8

Cukup jelas.

Ayat 9

Cukup jelas.

Ayat 10

Cukup jelas.

Ayat 11

Cukup jelas.

Ayat 12

Cukup jelas.

Ayat 13

Cukup jelas.

Angka 7

Cukup jelas.

Angka 8

Cukup jelas.

Angka 9

Cukup jelas.

Angka 10

Cukup jelas.

Pasal 20

Angka 11

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Huruf a

Pasal 31A

Yang dimaksud dengan “perorangan” adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Ayat 4

Cukup jelas.

Ayat 5

Cukup jelas.

Ayat 6

Cukup jelas.

Ayat 7

Cukup jelas.

Ayat 8

Cukup jelas.

Ayat 9

Cukup jelas.

Ayat 10

Cukup jelas.

Angka 12

Cukup jelas.

Angka 13

Pasal 32

Ayat 1

Pasal 32A

Pengawasan internal atas tingkah laku hakim agung masih diperlukan meskipun sudah ada pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Hal ini dimaksudkan agar pengawasan lebih komprehensif sehingga diharapkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim betul-betul dapat terjaga.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Ayat 4

Cukup jelas.

Pasal 32B

Akses kepada masyarakat dimaksudkan untuk mendapatkan putusan Mahkamah Agung diberikan melalui Sistem Informasi Mahkamah Agung Republik Indonesia (SIMARI).

Angka 14

Cukup jelas.

Angka 15

Cukup jelas.

Angka 16

Cukup jelas.

Angka 17

Ayat 1

Pasal 81A

Berdasarkan ketentuan ini Mahkamah Agung menyusun kegiatan dan anggaran tahunan, termasuk anggaran untuk penyelenggaraan tugas kepaniteraan.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Ayat 4

Cukup jelas.

Ayat 5

Cukup jelas.

Ayat 6

Cukup jelas.

Angka 18

Cukup jelas.

Pasal 81B

Cukup jelas.

Pasal 81C

Cukup jelas.


UNDANG-UNDANG
NOMOR 3 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

menimbang

  1. bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi;

  2. bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

mengingat

  1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359);

  3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358);

Dengan Persetujuan Bersama:

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

memperhatikan

memutuskan

menetapkan

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG




Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 12 Januari 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 3

PENJELASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

I UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 24 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.

Undang-Undang ini adalah Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004. Perubahan dilakukan karena Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, khususnya yang menyangkut pengawasan, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Oleh karena itu, Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Akan tetapi, Mahkamah Agung bukan satu-satunya lembaga yang melakukan pengawasan karena ada pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial.

Berdasarkan Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Oleh karena itu, diperlukan kejelasan tentang pengawasan yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung dan pengawasan yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial. Pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung meliputi pelaksanaan tugas yudisial, administrasi, dan keuangan, sedangkan pengawasan yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial adalah pengawasan atas perilaku hakim, termasuk hakim agung. Dalam rangka pengawasan diperlukan adanya kerja sama yang harmonis antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

II PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Angka 1

Cukup jelas.

Pasal 6A

Pasal 6B

Ayat 1

Yang dimaksud dengan “calon hakim agung yang berasal dari hakim karier” adalah calon hakim agung yang berstatus aktif sebagai hakim pada badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang dicalonkan oleh Mahkamah Agung.

Ayat 2

Yang dimaksud dengan “calon hakim agung yang juga berasal dari nonkarier” adalah calon hakim agung yang berasal dari luar lingkungan badan peradilan.

Angka 2

Huruf a

angka 1

Cukup jelas. angka 2

Cukup jelas. angka 3

Pasal 7

Yang dimaksud dengan “magister di bidang hukum” adalah gelar akademis pada tingkat strata 2 dalam bidang ilmu hukum, termasuk magister ilmu syari’ah atau magister ilmu kepolisian.

angka 4

Cukup jelas. angka 5

Cukup jelas. angka 6

Cukup jelas. angka 7

Cukup jelas.

Huruf b

angka 1

Cukup jelas. angka 2

Yang dimaksud dengan “profesi hukum” adalah bidang pekerjaan seseorang yang dilandasi pendidikan keahlian di bidang hukum atau perundang-undangan, antara lain, advokat, penasihat hukum, notaris, penegak hukum, akademisi dalam bidang hukum, dan pegawai yang berkecimpung di bidang hukum atau peraturan perundang-undangan.

angka 3

Cukup jelas. angka 4

Cukup jelas.

Angka 3

Cukup jelas. angka 4

Cukup jelas.

Angka 3

Cukup jelas.

Angka 4

Huruf b

angka 1

Cukup jelas. angka 2

Yang dimaksud dengan “profesi hukum” adalah bidang pekerjaan seseorang yang dilandasi pendidikan keahlian di bidang hukum atau perundang-undangan, antara lain, advokat, penasihat hukum, notaris, penegak hukum, akademisi dalam bidang hukum, dan pegawai yang berkecimpung di bidang hukum atau peraturan perundang-undangan.

angka 3

Cukup jelas. angka 4

Cukup jelas.

Angka 3

Cukup jelas.

Angka 4

Cukup jelas.

Angka 5

Cukup jelas.

Angka 6

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Pasal 8

Pasal 9

Pasal 11

Pasal 11A

Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" adalah apabila hakim agung yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalam maupun di luar pengadilan merendahkan martabat hakim agung.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Ayat 4

Cukup jelas.

Ayat 5

Cukup jelas.

Ayat 6

Cukup jelas.

Ayat 7

Pembentukan Majelis Kehormatan Hakim yang dimaksud dalam ketentuan ini bersifat ad hoc (kasus per kasus).

Ayat 8

Cukup jelas.

Ayat 9

Cukup jelas.

Ayat 10

Cukup jelas.

Ayat 11

Cukup jelas.

Ayat 12

Cukup jelas.

Ayat 13

Cukup jelas.

Angka 7

Cukup jelas.

Angka 8

Cukup jelas.

Angka 9

Cukup jelas.

Angka 10

Cukup jelas.

Pasal 12

Pasal 13

Pasal 20

Angka 11

Ayat 1

Cukup jelas.

Ayat 2

Huruf a

Pasal 31A

Yang dimaksud dengan “perorangan” adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Ayat 4

Cukup jelas.

Ayat 5

Cukup jelas.

Ayat 6

Cukup jelas.

Ayat 7

Cukup jelas.

Ayat 8

Cukup jelas.

Ayat 9

Cukup jelas.

Ayat 10

Cukup jelas.

Angka 12

Cukup jelas.

Angka 13

Pasal 32

Ayat 1

Pasal 32A

Pengawasan internal atas tingkah laku hakim agung masih diperlukan meskipun sudah ada pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Hal ini dimaksudkan agar pengawasan lebih komprehensif sehingga diharapkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim betul-betul dapat terjaga.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Ayat 4

Cukup jelas.

Pasal 32B

Akses kepada masyarakat dimaksudkan untuk mendapatkan putusan Mahkamah Agung diberikan melalui Sistem Informasi Mahkamah Agung Republik Indonesia (SIMARI).

Angka 14

Cukup jelas.

Angka 15

Cukup jelas.

Angka 16

Cukup jelas.

Angka 17

Ayat 1

Pasal 80C

Pasal 80D

Pasal 81A

Berdasarkan ketentuan ini Mahkamah Agung menyusun kegiatan dan anggaran tahunan, termasuk anggaran untuk penyelenggaraan tugas kepaniteraan.

Ayat 2

Cukup jelas.

Ayat 3

Cukup jelas.

Ayat 4

Cukup jelas.

Ayat 5

Cukup jelas.

Ayat 6

Cukup jelas.

Angka 18

Cukup jelas.

Pasal 81B

Cukup jelas.

Pasal 81C

Cukup jelas.

Pasal II


Meta Keterangan
Tipe Dokumen
Judul Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
T.E.U. Badan/Pengarang Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informatika
Nomor Peraturan 3
Jenis / Bentuk Peraturan Undang-undang
Singkatan Jenis/Bentuk Peraturan UU
Tempat Penetapan Jakarta
Tanggal-Bulan-Tahun Penetapan/Pengundangan 12-01-2009  /  12-01-2009
Sumber -
Subjek
Status Peraturan Berlaku

Bahasa Indonesia
Lokasi
Bidang Hukum -
Lampiran